NovelToon NovelToon
Bukit Takdir

Bukit Takdir

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Berbaikan / Cinta Beda Dunia / Kehidupan di Kantor / Misteri Kasus yang Tak Terpecahkan / Trauma masa lalu / Cinta Karena Taruhan
Popularitas:1.7k
Nilai: 5
Nama Author: PGR

Kadang, hidup tak memberi pilihan. Ia hanya menaruhmu di satu persimpangan, lalu membiarkan waktu yang menyeretmu ke arah yang tak kau minta. Johan Suhadi adalah lelaki yang kehilangan arah setelah maut merenggut tunangannya. Tapi duka itu bukan akhir—melainkan pintu gerbang menuju rahasia besar yang selama ini terkubur di balik hutan lebat Bukit Barisan. Sebuah video tua. Sepucuk surat yang terlambat dibuka. Dan janji lama yang menuntut ditepati. Dalam pelariannya dari masa lalu, Johan justru menemukan jalannya. Ia membuka aib para pejabat, mengusik mafia yang berlindung di balik jubah kekuasaan, dan menciptakan gelombang kejujuran yang tak bisa dibendung. Bersama sahabat sejatinya dan seorang wanita yang diam-diam menyembuhkan luka jiwanya, Johan menghadapi dunia—bukan untuk menang, tapi untuk benar.

Dari Padang hingga Paris. Dari luka hingga cinta. Dari hidup hingga kematian.
Bukit Takdir bukan kisah tentang menjadi kuat,
tapi tentang memilih benar meski harus hancur.

Karena

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PGR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

"Awal Mula Janji "

Apa yang sebenarnya kurasakan ini? Rasa ini, yang tak pernah ingin pergi, bahkan setelah bertahun-tahun lamanya. Kehilangan yang terus-menerus menghantui, mengunci jiwaku dalam penjara yang tak berujung. Hatiku terasa sesak, seperti ada yang hilang, kepingan penting yang tak pernah kembali. Seperti bibit cinta yang tak mungkin tumbuh, karena tanahnya sudah kering, tandus oleh waktu dan rasa. Namun, hidup harus terus berlanjut, meski tanpa kebahagiaan yang pernah kuimpikan dengan seseorang.

"Habis ini mau ke mana, Pak Jo?" tanya Pak Dedi, sopir kantor, membuyarkan lamunan Johan dengan suara yang membumi.

Johan mengangguk pelan. "Kita langsung ke kantor saja, Pak. Sudah ada tamu penting yang menunggu."

Suaranya tenang. Terlalu tenang, seolah tak ada beban.

Namun saat ia melangkah masuk ke dalam mobil, hatinya tertinggal di luar—berat, enggan, tertambat pada sesuatu yang tak bisa dijelaskan.

Di balik jendela mobil yang melaju perlahan di bawah langit Padang yang sibuk, Johan menatap kosong.

Matanya mengikuti arus jalan, tapi pikirannya tertinggal pada satu ruang yang tak pernah benar-benar tertutup.

Langkahnya terasa berat meski tak tampak. Seolah ada medan tak terlihat yang selalu menahannya—setiap hari, setiap detik.

Hari ini adalah hari padat. Tiga seminar, tiga universitas.

Topiknya sama: Building a Business from Zero.

Ironis, pikirnya.

Karena ada satu materi penting yang tak pernah sanggup ia ajarkan:

How to heal from losing someone.

"Pak Jo, ini kita langsung jalan ke kantor, kan?" tanya Pak Dedi, sopir kantor yang selalu punya kebiasaan nyinyir—bukan karena tidak percaya, tapi lebih karena ingin memastikan, seperti orang tua yang cerewet tapi setia.

Johan menarik napas dalam, mencoba menyembunyikan lelah yang tak tampak. “Iya, Pak. Langsung ke kantor saja.”

Johan Suhadi. Nama yang dalam beberapa tahun terakhir mulai bergema di berbagai lingkaran—dari ruang seminar hingga meja makan para pengusaha mapan. Seorang pemuda yang meniti tangga kesuksesan dari titik paling dasar, dengan tangan kosong, tekad penuh, dan luka yang masih segar.

Perjalanannya dimulai dari bisnis sederhana sebagai distributor merek pakaian ternama, Lois Jeans. Bukan jalan yang mudah. Awalnya, setiap langkah terasa seperti menapaki batu tajam tanpa alas kaki. Kegagalan menghampirinya berkali-kali, hingga ia terbiasa berdialog dengan rasa kecewa.

Tapi Johan punya satu prinsip, satu mantra yang tak pernah lepas dari benaknya:

“Kita tak akan tahu seberapa jauh kita bisa melangkah, kalau kita tak pernah memaksa kaki kita untuk berjalan.”

Setiap kali jatuh, ia bangkit—bukan karena tak takut gagal, tapi karena ia tahu: dari kegagalanlah tumbuh kekuatan. Dari luka, terbentuk daya tahan. Dan dari keraguan, tumbuh keyakinan yang diuji waktu.

Ketika bisnisnya mulai menunjukkan hasil, Johan tidak berpuas diri. Justru di tengah euforia itu, ia mulai merancang sesuatu yang lebih besar—merek miliknya sendiri. Bukan sekadar label, tapi warisan, jejak hidup yang akan tetap bertahan bahkan ketika dirinya sudah tiada.

Maka lahirlah “Johan Style,” yang kemudian lebih dikenal dengan singkatan JoS.

JoS bukan sekadar pakaian. Ia adalah simbol—dari perjuangan, dari tekad yang tak pernah padam, dari peluh yang dibayar dengan keberanian. Dalam tiap jahitan produknya, ada cerita tentang seorang pemuda yang menolak menyerah. Produk JoS mulai menjamur, menjelajah ke berbagai daerah, menembus pasar dengan narasi yang jujur dan menyentuh.

Namanya pun melejit, semakin diperhitungkan. Undangan datang dari berbagai arah, salah satunya dari Bapak Mulyono—seorang pejabat sekaligus pengusaha ternama yang dikenal luas di negeri ini.

Namun di balik semua tepuk tangan dan lampu sorot, ada bagian dari diri Johan yang tetap hening. Luka lama itu tak pernah benar-benar sembuh. Ia tersembunyi di balik senyum profesional, rapat terbungkus dalam jas mahal dan suara tenang. Dan justru luka itulah—yang membuat semua keberhasilannya terasa hampa.

Di kantor, seorang tamu penting telah menanti—Pak Mulyono, pejabat sekaligus pengusaha ternama yang namanya sering muncul di berita ekonomi nasional. Pertemuan ini dirancang untuk membahas sebuah kerja sama besar. Kata orang, proyek ini bisa menguntungkan kedua belah pihak. Tapi bagi Johan, bahkan kesuksesan sebesar apa pun tak pernah sanggup menambal ruang kosong di hatinya.

"Maaf, sudah menunggu lama, Pak?" sapa Johan dengan senyum profesional saat memasuki ruang rapat.

Pak Mulyono tertawa hangat. "Ah, tidak lama kok, Jo. Lagipula, ditemani sekretarismu yang ramah dan cantik ini, waktu rasanya malah kurang. Dia cocok lho, jadi pendamping hidupmu!" godanya sambil melirik Wilda yang menunduk tersipu.

Johan membalas dengan senyum tipis. Sekilas, ia tampak baik-baik saja. Tapi hanya dia yang tahu, betapa kosongnya senyuman itu. Di balik wajah tenang itu, tersembunyi hati yang telah lama tertutup rapat oleh luka lama.

Sebuah trauma.

Bukan karena dia belum menemukan pengganti. Tapi karena hatinya terlalu rusak untuk dibuka lagi.

Tahun 2007 adalah tahun di mana hidup Johan pernah terasa utuh. Vinda Puti Keysha—nama yang masih terpatri dalam ingatannya. Wanita yang ia cintai sepenuh hati. Mereka telah melintasi badai bersama, saling menguatkan, saling percaya. Pernikahan mereka sudah di ambang pintu. Semua sudah siap—undangan, tanggal, gaun pengantin. Hanya tinggal menunggu waktu untuk mengucap janji.

Tapi takdir, dengan segala kejutannya, merampas semuanya.

Dua minggu sebelum hari bahagia itu, Vinda menaiki pesawat Garuda Indonesia menuju Yogyakarta. Pesawat itu tergelincir saat mendarat di Bandara Adisutjipto.

Dan Vinda... tidak pernah kembali.

Berita itu menghantam Johan seperti palu godam. Bukan hanya tubuh yang terhempas, tetapi seluruh hidupnya seolah ikut karam dalam tragedi itu. Di antara daftar nama korban tewas, nama Vinda tertera jelas. Harapan, mimpi, dan masa depan yang selama ini mereka bangun bersama ikut musnah.

Dunia Johan runtuh.

Hari-hari berlalu seperti kabut. Ia bernafas, berjalan, bekerja—tapi kosong. Setiap sudut kota seolah berbisikkan nama Vinda. Tawa di kafe, langit senja di pantai, bahkan bau hujan di aspal; semua mengingatkannya pada janji-janji yang kini tinggal abu.

Enam tahun berlalu. Tapi rasa itu tak benar-benar pergi.

Beberapa wanita sempat hadir, mencoba mengisi ruang hatinya yang dingin. Tapi tak satu pun yang mampu menyentuhnya. Cinta terasa seperti mitos—sesuatu yang pernah ada, tapi tak lagi mungkin kembali.

Setiap malam, Johan menatap langit-langit kamarnya dalam diam, tenggelam dalam pertanyaan yang tak pernah mendapat jawaban:

Seandainya jika Vinda masih di sini? Bagaimana jika takdir memilih arah yang lain?

Namun hidup terus mengajarkan Johan satu hal:

Tidak semua yang hilang bisa kembali. Tapi kita bisa belajar bertahan, bahkan dengan hati yang patah.

"Bisa saja, Pak Yono," sahut Johan, masih dengan senyum tipis yang sama. Senyum yang menyembunyikan luka.

“Mari, kita langsung ke ruang rapat, Pak,” lanjutnya sambil mengarahkan langkah ke ruang pertemuan. Wilda mengikuti dari belakang, tenang dan cekatan, seperti biasa.

Proyek ini memang menggoda—kerja sama di bidang ekspedisi internasional. Tawaran dari Pak Mulyono bisa menjadi gerbang emas untuk mengangkat JoS ke level dunia.

Meski hatinya masih menyimpan kehampaan, pikirannya tetap tajam. Ini adalah bagian dari impian yang sejak dulu ia rajut: membawa produknya menembus batas negara, menjelma menjadi ikon global.

Selama satu jam penuh, diskusi berlangsung. Ide-ide berseliweran, rencana dibedah, kemungkinan-kemungkinan disusun serapi mungkin. Johan tampak bersemangat, tapi juga penuh perhitungan.

"Saya perlu membahas ini dengan tim terlebih dahulu, Pak. Kita harus pastikan semua matang," ucap Johan mantap.

Pak Mulyono tersenyum puas. “Keputusan yang bijak. Kita tidak perlu terburu-buru.”

"Semoga satu bulan ke depan, kita bisa membuat keputusan yang mengguncang pasar internasional," ujar Johan, menjabat tangan Pak Mulyono dengan genggaman yang mantap dan penuh arti.

Dua senyum bertemu di ujung jabat tangan itu.

Di balik keduanya—ada mimpi besar yang siap dilahirkan.

Namun di balik sorot mata Johan, tetap tersimpan sebuah ruang sunyi…

yang tak pernah benar-benar bisa diisi siapa pun.

~

Di Kota Padang, sinar matahari mulai mengalah. Langit menggurat jingga. Senja datang, menyelimuti kota dalam balutan cahaya terakhir sebelum gelap benar-benar menguasai. Dari lantai enam gedung kantornya, Johan mematung di depan jendela. Matanya lekat memandangi lalu lalang manusia di bawah sana—kesibukan yang tak pernah usai.

Seorang polisi terlihat mengatur lalu lintas dengan isyarat tangannya yang tegas. Mobil-mobil berdesakan. Motor-motor saling menyalip, memanfaatkan celah sempit di antara kebisingan. Kota Padang tidak sedang istirahat. Tapi Johan? Ia justru sedang diam. Tenggelam dalam sepi yang hanya ia rasakan sendiri.

Hari ini, tubuhnya letih. Jiwanya payah. Kemarin, ia baru kembali dari Pontianak, setelah pertemuan panjang dengan pemilik tanah. Kota itu akan menjadi cabang ketiga belas perusahaannya. Johan turun langsung ke lapangan—mengecek lokasi, menilai peluang, menimbang angin. Ia tiba kembali di Padang pukul satu dini hari. Istirahat sebentar, lalu bergegas menghadiri seminar di tiga kampus dan rapat dengan Pak Mulyono siang harinya.

Tubuhnya lelah. Tapi hatinya lebih letih.

Tok tok tok.

Ketukan pintu memecah lamunan. Johan menoleh lambat. “Masuk,” jawabnya, pelan dan berat.

Pintu terbuka. Sosok yang berdiri di sana membuat napasnya tercekat. Seorang wanita, siluetnya lekat dalam ingatan. Terlalu akrab. Terlalu menyakitkan.

“Han, kamu udah lupa ya?” suara itu—suara lembut yang selama ini hanya hidup dalam kenangan—mengalir seperti angin yang menampar pelan pipinya.

Johan bergeming. “K-key...? Kamu... kamu masih... ternyata?” Tangannya refleks terulur. Tapi tubuh itu... tembus. Tak bisa disentuh. Tak ada rasa.

Hanya hampa.

Keysha sudah tiada.

Air mata Johan jatuh tanpa izin. Vinda Puti Keysha. Satu nama yang mengiris-iris setiap detik waktu setelah kepergiannya. Wanita yang semestinya ia nikahi. Yang semestinya duduk di sebelahnya sekarang, menertawakan hidup bersama. Tapi takdir berkata lain. Keysha pergi—meninggalkan rencana, cinta, dan luka yang tak sembuh.

"Han, kamu masih ingat janji kita?"

Johan menahan isak. “Aku ingat... setiap detiknya... Jadi jangan pergi dulu, ya. Temani aku sebentar. Aku mau cerita banyak... tentang kerjaan, tentang si Keti kucing malang yang makin kurus karena kehilangan kamu... tentang semuanya. Aku nggak peduli meski kita beda dunia. Yang penting... aku bisa lihat kamu. Dengar suara kamu.”

Keysha tersenyum. Lembut. Seolah menghapus perih yang sudah bertahun mengendap.

“Ingat nggak waktu kita di Puncak Gunung Marapi, Han? Kita lihat Bukit Barisan dari atas sana. Indah, seperti lukisan.”

Angin seolah ikut mengembuskan ingatan.

—Flashback—

Di puncak Merpati, Gunung Marapi, mereka berdiri berdampingan. Angin menari di antara rambut Keysha yang terurai. Matanya berbinar.

“Kamu tau nggak, Han? Bukit Barisan itu penuh misteri. Katanya ada manusia bunian di balik pohon-pohon tua. Ada harta karun yang tertimbun dalam perut bumi. Bahkan... bidadari yang konon hidup di sana.”

Johan tertawa. “Kalau aku lihat bidadari, pasti kamu colok mataku, ya?”

Keysha mencubit lengan Johan. “Iya! Karena kamu nakal!”

Johan tertawa makin keras. “Mana bisa kamu colok? Aku pakai kacamata hitam!”

Keysha tertawa. Tapi lalu ia menatap lurus ke cakrawala. Serius. “Tapi beneran, ya... misteri itu ada nggak, sih?”

“Entahlah. Tapi kalau kamu mau tahu... ayo kita cari tahu. Kita ekspedisi. Kita jelajahi Bukit Barisan sama-sama.”

Keysha mengangguk mantap. “Setuju! Kita harus dicatat sebagai penjelajah pertama yang membongkar misteri itu!”

“Mari kita janji di sini,” kata Johan, menatap matanya dalam.

“Siapa takut!” sahut Keysha, mengulurkan kelingking.

Johan menyambut. Jari kelingking mereka bersatu. Janji mengikat, tidak hanya di bumi. Tapi mungkin juga di langit.

“Saya Johan Suhadi.”

“Saya Vinda Puti Keysha.”

“Berjanji akan mengungkap misteri Bukit Barisan.”

—Kembali ke masa kini—

Keysha menatap Johan, dalam dan hangat.

“Han, aku khawatir kamu lupa janji itu. Aku tidak bisa tenang. Aku tahu kamu sibuk, tapi... kamu harus ingat.”

Johan menggenggam udara, seolah itu tangan Keysha. “Key... kita lakukan bersama, ya? Meski kita sudah beda dunia... aku nggak peduli dianggap gila. Kita tetap bisa pergi bareng, kan?”

Keysha menggeleng perlahan, matanya berkaca. “Maaf, Han... waktuku sudah habis. Aku harus pamit.”

“Jangan!” Johan panik. “Jangan pergi lagi! Aku belum siap ditinggal!”

Keysha menatapnya penuh kasih. “Aku akan menunggu. Tuhan mungkin tak mentakdirkan kita di dunia ini. Tapi aku yakin, di surga, kita akan bertemu. Tapi jangan cepat-cepat menyusul, ya…”

Dan dengan senyum terakhirnya, Keysha menghilang. Membawa separuh nyawa Johan bersamanya.

“Key! Jangan pergi! KEY!”

Tok tok tok.

Johan tersentak. Basah oleh keringat dingin. Nafasnya memburu. Mimpi itu... terlalu nyata.

Tok tok tok.

Ketukan itu lagi. Kali ini bukan mimpi.

“Iya, masuk!” Johan menjawab cepat.

Pintu terbuka perlahan. Keyla, satpam wanita, muncul. “Ada apa ya, Pak? Kenapa Bapak manggil saya?”

Johan bingung. “Eh? Kapan saya manggil Mbak Keyla?”

Keyla tertawa kecil. “Saya mau pulang, Pak. Tapi saya dengar Bapak teriak-teriak manggil ‘Key’. Kirain saya Bapak kangen saya.”

Johan berusaha tersenyum. “Salah dengar, kali, Mbak.”

Keyla mengedip nakal. “Pak Johan nggak usah malu. Bilang aja kangen. Tapi saya udah punya suami, loh. Tapi kalau Bapak mau... boleh jadi suami kedua saya.”

Johan tertawa. Tertawa yang getir. “Mbak Keyla ini ada-ada aja.”

Keyla, tetangganya, tahu segalanya. Tentang Keysha. Tentang rencana pernikahan yang gagal. Tentang luka yang belum sembuh.

“Oh ya, Mbak. Saya mau tanya sesuatu. Masih ada waktu, kan?”

“Untuk Pak Johan, semua waktu saya... saya berikan,” jawab Keyla, tulus.

Johan mengangguk. Memandang langit dari jendela. Senja sudah lewat. Malam datang. Tapi di dalam hatinya, sebuah janji mulai menyala kembali.

1
Like_you
/Whimper/
Like_you
/Brokenheart/
Lara12
❤️❤️
Mika
akhirnya janji dihutan dulu akhirnya terpenuhi /Chuckle/
Mika
Janji yang menyelamatkan johan/Heart/
Lara12
recommended banget sih, cerita nya penuh misteri, aku suka😆
Mika
ga sabar nunggu kelanjutannya, hehe
Pandu Gusti: Makasih ya, ditunggu ya setiap pukul 8 pagi 🙃
total 1 replies
Mika
sidang terepik yang pernah aku baca
Mika
mudah banget baikan nya/Tongue/
Mika
🤣🤣
Mika
kok yang nama nya Mulyono pada gitu ya orang nya/Curse/
Mika
jangan lapor polisi, lapor damkar aja/Smirk/
Mika
kemana ya keluarganya?/Brokenheart/
Mika
upss /Rose/
Mika
setelah searching, ternyata beneran ada tanaman mandragora, mana bentuk akar nya serem lagii/Toasted/
Mika
nangis aja Joo, ga usah ditahan/Cry/
Mika
anak mapala ternyata, mantan ku anak mapala juga/Chuckle/
Mika
kek hidup gua, ditinggal melulu/Sob/
Lara12
ditunggu updatenya nya/Grievance/
Mika: iyaa, padahal lagi seru serunya/Smirk/
total 1 replies
Lara12
waduhhhh/Cry/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!