NovelToon NovelToon
THE VEIL OF AEDHIRA

THE VEIL OF AEDHIRA

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Wanita / Cinta Istana/Kuno
Popularitas:360
Nilai: 5
Nama Author: Aisyah fahra

Di dunia Aedhira yang terpisah oleh kabut kegelapan, seorang gadis muda bernama Lyra menemukan takdirnya terjalin dengan rahasia kuno darah kabut, sihir yang bisa menyelamatkan atau menghancurkan dunia. Ketika kekuatan gelap yang dikenal sebagai Raja Kelam mulai bangkit kembali, Lyra bergabung dengan Kaelen, seorang ksatria pemberani yang terikat pada takdirnya, untuk mencegah kehancuran dunia mereka.

Namun, semakin dalam mereka menggali sejarah dan rahasia darah kabut, semakin mereka menyadari bahwa takdir mereka lebih rumit dari yang mereka bayangkan. Terperangkap dalam permainan takdir yang tidak mereka pilih, Lyra harus menghadapi pilihan tak terhindarkan: menyelamatkan Kaelen dan dunia, atau mengorbankan keduanya demi sebuah masa depan baru yang tak diketahui.

Dalam pertempuran akhir yang melibatkan pengkhianatan, pengorbanan, dan cinta yang tak terbalas, Lyra menemukan bahwa tidak ada pahlawan tanpa luka, dan setiap kemenangan datang dengan harga yang sangat mahal. Ketika dunia

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah fahra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 2 : bayangan di balik api

 Bayangan di Balik Api

Lyra bangun karena suara... dengkuran?

Ia membuka matanya perlahan, menyipitkan pandangan ke sekeliling gua. Api sudah padam, tapi masih menyisakan bara yang cukup hangat. Di pojokan, Kaelen tidur bersandar ke dinding batu, jubahnya setengah terbuka, rambutnya acak-acakan kayak model iklan sampo yang udah kehilangan sponsor.

Dengkuran itu... ternyata bukan dia.

“Eh?” Lyra duduk, waspada.

Suara dengkuran datang dari luar gua. Bukan manusia. Lebih seperti gabungan antara sapi mendengkur dan suara blender rusak. Pelan-pelan, ia melangkah ke luar, mengintip dari balik air terjun.

Dan di sanalah mereka.

Makhluk-makhluk aneh—berukuran sekitar dua meter, kulit mereka mengilap seperti logam gelap, bertanduk, dan bersenjata. Mereka duduk mengelilingi api unggun kecil, tertawa rendah, dan... bakar sesuatu yang kelihatan kayak kaki kijang raksasa.

Lyra mundur pelan-pelan, tapi batu kecil di kakinya terpeleset.

Krakk.

Salah satu makhluk itu menoleh.

Mata mereka... ungu. Dan langsung bersinar terang begitu melihatnya.

"ALARM!" teriak Lyra panik, sambil berlari ke dalam gua. “KAELEN, BRO, BANGUN, KITA DISERBU!!”

Kaelen membuka mata seperti ninja—dan langsung berdiri. “Berapa banyak?”

“Lima. Enam. Sepuluh? Gue panik, gak sempet ngitung! Mereka punya senjata, api unggun, dan kaki kijang sebagai sarapan. Mereka bukan turis!”

Kaelen menggeram pelan dan mengangkat tongkat kayunya. “Itu pasukan Karuun. Pemburu darah. Mereka mencium kekuatanmu.”

“GREAT. Jadi jadiin gue umpan lagi, ya?”

“Tidak,” jawab Kaelen, matanya menyala perak. “Kali ini, kita lawan balik.”

 

Pertempuran di luar gua berlangsung cepat dan brutal.

Kaelen seperti berubah jadi orang lain—atau makhluk lain. Setiap ayunan tongkatnya menghasilkan gelombang cahaya putih yang memukul mundur pasukan Karuun. Tapi jumlah mereka terlalu banyak. Dan mereka cepat belajar.

Salah satu dari mereka berhasil menyelinap ke samping dan melempar tombak ke arah Lyra.

Lyra menjerit. “OH SIAL—”

Tombak itu tak pernah sampai. Tiba-tiba, cahaya merah meledak dari tubuhnya, membentuk semacam pelindung tak kasatmata.

Pasukan Karuun mundur, menggeram marah. Salah satu dari mereka menunjuk Lyra dan berteriak dalam bahasa yang terdengar seperti... belatung marah-marah.

“Dia sadar. Darah kabutnya bangkit!”

Kaelen menoleh, napasnya terengah. “Kau... bisa mengendalikan kekuatan itu?”

Lyra melirik tangannya yang masih berpendar merah. “Enggak tahu. Gue cuma panik.”

Kaelen nyaris tersenyum. “Panikmu... berguna.”

 

Setelah pasukan Karuun mundur, mereka kembali masuk ke gua. Lyra terduduk, mencoba menenangkan napasnya.

“Oke, ini mulai kayak mimpi buruk edisi dua. Bisa gak gue bangun dan kembali ke dunia yang cuma ada tugas sekolah dan kopi basi?”

Kaelen duduk di seberangnya. “Dunia lamamu sudah jauh. Dan kekuatanmu tak bisa ditinggalkan.”

“Yah, terima kasih udah mengingatkan. Gue udah curiga sejak pertama kali masuk portal.”

“Mulai sekarang, kita harus bergerak. Aedhira terbagi dalam empat wilayah. Dan satu-satunya tempat aman untukmu... adalah Benteng Caelora.”

Lyra memutar bola mata. “Tentu. Selalu ada benteng. Dan pastinya penuh dengan orang-orang sok misterius yang tahu masa depanku, ya?”

Kaelen mengangkat alis. “Persis begitu.”

“Ugh. Stereotip.”

 

Perjalanan ke Caelora dimulai keesokan harinya.

Selama mereka menuruni lembah dan menyusuri jalan berbatu yang dipenuhi bunga yang bisa bernyanyi (serius, bunga-bunga itu menyanyikan lagu sedih setiap kali Kaelen lewat — seakan mereka punya drama personal), Lyra mulai belajar sedikit-sedikit tentang Aedhira.

Kaelen menjelaskan bahwa dunia ini dulunya damai — sampai Sang Raja Kelam bangkit seratus tahun lalu, menghancurkan tujuh kerajaan dan menguasai sebagian besar wilayah utara. Darah kabut adalah satu-satunya kekuatan yang bisa menandingi sihir kegelapan milik raja itu.

Masalahnya? Pewaris darah kabut... udah punah.

Sampai Lyra datang.

“Jadi gue kayak—anak hilang yang tiba-tiba punya warisan kekuatan magis, dikejar pembunuh, dan harus menyelamatkan dunia?”

“Ya. Kalau kau mau pakai kata-kata dramatis seperti itu,” jawab Kaelen datar.

“Dramatis? Itu plot film fantasy Netflix, bro.”

Kaelen menoleh ke arahnya. “Apa itu... net-fleeks?”

“Lupakan. Dunia lo belum sampai situ.”

 

Malam itu, mereka bermalam di pinggir sungai yang airnya bisa menyembuhkan luka kecil. (Lyra baru tahu setelah mencuci luka lecetnya, dan jari-jarinya langsung sembuh.)

Kaelen duduk sambil memandangi langit. “Ada sesuatu yang harus kau tahu, Lyra.”

“Hm?”

“Kaum bangsawan Caelora... tidak semua akan menerimamu. Darah kabut ditakuti. Kau mungkin dianggap ancaman.”

“Jadi, selain dikejar monster, gue juga bakal dibenci sama orang-orang yang seharusnya nolong gue?”

Kaelen mengangguk.

Lyra menatap api unggun. “Yap. Ini resmi jadi musim hidup paling absurd dalam sejarah hidup gue.”

Hari keempat perjalanan, Lyra mulai mempertanyakan keputusan hidupnya—khususnya keputusan impulsif menyentuh batu bersinar misterius di reruntuhan waktu itu. Punggungnya pegal, rambutnya kaku karena kebanyakan debu, dan Kaelen... masih dingin kayak kulkas rusak.

“Berapa jauh lagi, oh penunjuk jalan suci?” tanya Lyra sambil nyengir sarkas.

Kaelen menunjuk ke depan. “Lihatlah.”

Di kejauhan, berdiri sebuah benteng besar berwarna perak kebiruan, puncaknya menembus kabut tipis yang menyelimuti hutan. Caelora. Dindingnya berduri cahaya sihir, dan di sekelilingnya, sungai mengalir melingkar seolah benteng itu dijaga oleh pelindung alami.

“Dramatik banget ya. Tinggal kasih latar lagu ‘epic battle trailer’ dan slow motion masuk, beres,” gumam Lyra.

Kaelen tidak tertawa. (Seperti biasa.)

Gerbang Caelora terbuka pelan ketika mereka mendekat. Dua penjaga berbaju zirah hitam dengan lambang burung phoenix saling pandang. Begitu mata mereka menatap Lyra, satu dari mereka langsung meraih pedangnya.

“Darah kabut…” desisnya. “Perempuan itu—bercahaya.”

Lyra otomatis melangkah mundur. “Eh, gue nggak bercahaya! Ini... efek matahari. Sunblock abis.”

Kaelen mengangkat tangan. “Dia tamuku. Lindungi, atau bersiap melawan kekuatan kuno yang kau tak akan mengerti.”

Penjaga tampak ragu. Tapi akhirnya mereka membuka jalan.

“Dramatis banget, Kael. Gue suka,” bisik Lyra.

 

Caelora ternyata lebih megah dari luar.

Di dalamnya, taman bergantung, air mancur mengalir tanpa gravitasi, dan langit-langitnya dihiasi mozaik langit malam yang terus berubah sesuai waktu asli. Istana di pusatnya menjulang seperti kristal biru.

Tapi semua keindahan itu tak mampu menutupi satu hal: suasana tegang.

Bangsawan-bangsawan yang mereka temui di jalan berbisik-bisik, mata mereka mencurigai Lyra. Beberapa bahkan mundur seolah Lyra bawa penyakit menular.

“Ini bukan sambutan hangat ya,” komentar Lyra sambil melirik seorang wanita tua bermahkota bunga es yang melotot padanya seperti sedang disuruh bayar utang.

“Bersiaplah,” bisik Kaelen. “Dewan sihir menunggumu.”

 

Ruang dewan berada di puncak menara tertinggi. Di sana, sepuluh kursi batu melingkar, masing-masing diduduki penyihir tertua dan paling kuat di Aedhira. Di tengah lingkaran itu: altar kuno, tempat pengujian.

Seorang pria tua berambut putih berdiri. Jubahnya bergoyang ringan, dan suara yang keluar begitu berat seolah berasal dari dalam bumi.

“Namamu?”

“Lyra... Caellum. Tapi teman-teman manggil gue Lyra aja.”

Salah satu penyihir—wanita berkulit gelap dan mata emas—menaikkan alis. “Teman? Kau pikir kami... temanmu?”

Lyra menahan senyum kecut. “Gue pikir, mungkin bisa mulai dari situ?”

Kaelen melangkah maju. “Dia memiliki darah kabut. Aku menyaksikannya sendiri.”

“Buktikan.”

Tentu saja.

Selalu ada ‘buktikan’.

Mereka memaksa Lyra berdiri di tengah altar, lalu mengaktifkan lingkaran sihir di bawah kakinya. Cahaya merah langsung menyala, membentuk lambang kuno yang melayang di udara.

“Darah kabut... yang belum stabil,” gumam salah satu dewan.

“Bahaya,” komentar lainnya.

“Dia bisa menjadi ancaman, atau penyelamat,” ucap sang tetua utama.

“Gue milih jadi penyelamat deh, kalau bisa request,” sahut Lyra cepat.

Beberapa dari mereka tersenyum tipis. Tapi mayoritas tetap kaku. Salah satu pria muda dengan rambut keemasan bahkan berdiri dan menunjuk.

“Kita tidak butuh penyelamat dari dunia lain! Aedhira butuh stabilitas, bukan harapan buta!”

“Nama lo siapa?” tanya Lyra.

“Lord Ravian.”

“Catat: gak gue follow balik.”

Kaelen nyaris tersedak air minum.

 

Setelah pertemuan, Lyra diberi kamar di menara utara. Kamar itu luas, indah, dan... dingin. Secara harfiah dan emosional.

Kaelen akan tinggal di ruang penjaga. Sementara Lyra mulai dilatih mengendalikan darah kabut oleh seorang mentor misterius bernama Elreth—wanita muda dengan mata hitam pekat dan rambut seputih salju, yang kalau ngomong seperti pembaca puisi yang kelamaan nyepi.

“Elreth,” kata Lyra di pelajaran hari pertama. “Apa gue bisa... ngendaliin kekuatan ini kayak superhero Marvel?”

Elreth menatapnya datar. “Aku tidak tahu apa itu Marvel. Tapi kalau maksudmu bisa meledakkan batu dengan tatapan—ya. Bisa.”

“Cool.”

“Tidak. Bahaya. Sekali kau hilang kendali, seluruh Caelora bisa hancur.”

“Okay. Noted. Jangan ngamuk pas PMS.”

 

Malam harinya, Lyra bermimpi.

Ia berdiri di tengah hutan merah. Di depannya, sesosok pria bertopeng hitam berdiri sambil memegang pedang yang memancarkan aura gelap.

“Sang pengkhianat akan datang dari bayangan,” suara pria itu menggema.

“Siapa elo?” tanya Lyra.

“Tugasmu bukan bertanya. Tugasmu... memilih.”

Saat ia terbangun, Lyra mendapati telapak tangannya terbakar pelan—bukan api, tapi cahaya.

Dan di dinding kamarnya, ukiran yang tak ada sebelumnya tiba-tiba muncul.

Ukiran... wajahnya sendiri.

Lyra menatap dinding dengan mata nyaris melotot. Itu... itu jelas-jelas wajahnya. Terukir dalam batu dengan detail luar biasa, mulai dari bentuk alis sampai bekas luka kecil di pelipis kirinya—luka yang ia dapat saat jatuh dari pohon waktu umur tujuh tahun karena nekat sok jadi ninja.

“Gue sih suka kalau ada mural wajah sendiri, tapi ini creepy,” gumamnya.

Ia mendekat, menyentuh batu itu perlahan. Begitu jarinya menyentuh permukaannya, seberkas cahaya ungu samar muncul, dan suara dalam kepalanya berbisik.

"Lyra... kau harus ingat siapa dirimu..."

Oke, ini makin serem.

“Gue siapa, emangnya? Anak keturunan peri yang nyasar? Bangsawan tersesat? Siluman lontong?” keluhnya.

Tapi suara itu menghilang, dan cahaya padam. Yang tersisa hanya dinding batu biasa.

 

Keesokan harinya, pelatihan dilanjutkan. Tapi suasana makin tegang karena munculnya rumor: Gadis darah kabut bisa membuka Segel Tertua.

Elreth tidak membantah.

“Segel itu menyimpan sesuatu yang seharusnya tak pernah dibangkitkan,” ucapnya sambil berjalan pelan mengitari lingkaran sihir. “Jika kau membukanya—baik sengaja atau tidak—dunia bisa kembali pada era kelam.”

“Yah, bagus. Dunia kelam, aku belum punya pakaian khusus buat itu,” jawab Lyra sambil duduk di lantai. “Terus... kenapa gue bisa bikin ukiran wajah muncul semalam?”

Elreth menatapnya lama. “Karena Aedhira mengenalmu. Mungkin lebih daripada kau mengenal dirimu sendiri.”

“Cryptic banget sih, Bu. Nggak ada versi ringkasnya gitu?”

 

Malam itu, Lyra diajak menghadiri pesta kecil di aula utama Caelora. Acara ini untuk menyambut "tamu dari dunia lain", katanya.

Tapi vibe-nya? Jelas bukan pesta yang hangat. Lebih mirip sidang pergunjingan dengan dress code mewah.

Lady Elaris, bangsawan wanita yang bajunya lebih berat dari niat hidup Lyra, datang menyapa dengan senyum sinis.

“Jadi... ini gadis yang katanya punya darah kabut?” ucapnya sambil menatap dari atas ke bawah.

“Iya. Lagi promo, mau beli?” balas Lyra dengan senyum.

Di belakangnya, Kaelen batuk pelan. “Sopan sedikit...”

“Aku sopan, kok. Itu tadi udah versi edit.”

Tiba-tiba Ravian muncul—lagi. Kali ini dengan jubah emas menyilaukan.

“Kau tidak tahu apa yang kau bawa, gadis dari dunia lain,” ucapnya sambil menatap Lyra seperti mau ngusir setan.

Lyra menghela napas. “Oke, gue tahu gue bawa masalah. Tapi lo bisa nggak, sekali aja, nggak drama?”

Kaelen nyaris tertawa. Lagi-lagi.

Namun sebelum Ravian sempat membalas, lantai aula bergetar. Semua orang terdiam.

Lalu... dinding timur retak. Dari balik retakan itu, cahaya ungu menyala—mirip cahaya dari ukiran di kamar Lyra.

“Apa itu?” tanya Elreth, berlari ke depan.

Tiba-tiba, angin besar menghantam aula. Angin itu... seperti hidup. Seperti sedang mencari seseorang.

Lyra tak sempat menghindar. Angin itu menyerbu ke arahnya, dan dalam hitungan detik, simbol kuno muncul di dahinya.

Semua mata tertuju padanya.

Ravian menghunus pedang. “Dia membuka Segel!”

“Enggak! Gue nggak ngapa-ngapain!” teriak Lyra, panik.

Kaelen berdiri di hadapannya, melindungi. “Turunkan senjatamu, Ravian. Sekarang!”

Tapi terlambat.

Cahaya dari retakan menyebar, dan sesosok makhluk berbalut bayangan muncul dari sana—tinggi, matanya merah menyala, dan suaranya... mirip suara dalam mimpi Lyra.

“Putri kabut... akhirnya kau membuka jalanku.”

Lyra hanya bisa menatap dengan jantung berdentum cepat.

Putri kabut?

Putri?

Kaelen langsung menarik Lyra. “Kita harus pergi!”

“Tunggu, apa maksud dia ‘putri’? Gue? Bukannya gue cuma cewek biasa dari dunia...”

Bayangan itu mendekat. Tapi sebelum bisa menjangkau mereka, Elreth melemparkan mantra pelindung yang meledak terang, memecahkan kaca-kaca aula.

Saat semua orang terlempar mundur, suara sang makhluk bergema sekali lagi.

“Pilihanmu... akan mengubah segalanya.”

 

Setelah kejadian itu, Lyra dikurung di menara utara. Dewan menganggapnya terlalu berbahaya untuk dibiarkan bebas. Tapi Kaelen, Elreth, dan satu anggota dewan bernama Tharen percaya ada sesuatu yang lebih besar sedang dimainkan.

Sementara itu, di tempat lain... sang Raja Kelam perlahan mulai terbangun dari tidurnya.

Dan darah kabut di dalam diri Lyra... mulai berdenyut kuat.

1
🍭ͪ ͩ💜⃞⃟𝓛 S҇ᗩᑎGGITᗩ🍒⃞⃟🦅
kau terasing di dunia nyata
tapi kau di harapkan di dunia edheira
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!