Jessy, 30th seorang wanita jenius ber-IQ tinggi, hidup dalam kemewahan meski jarang keluar rumah. Lima tahun lalu, ia menikah dengan Bram, pria sederhana yang awalnya terlihat baik, namun selalu membenarkan keluarganya. Selama lima tahun, Jessy mengabdi tanpa dihargai, terutama karena belum dikaruniai anak.
Hingga suatu hari, Bram membawa pulang seorang wanita, mengaku sebagai sepupu jauh. Namun, kenyataannya, wanita itu adalah gundiknya, dan keluarganya mengetahui semuanya. Pengkhianatan itu berujung tragis—Jessy kecelakaan hingga tewas.
Namun takdir memberinya kesempatan kedua. Ia terbangun beberapa bulan sebelum kematiannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lily Dekranasda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aku Tidak Akan Menunggu
Jessy menghela napas panjang setelah menutup pintu kamarnya. Ia meletakkan tas dan barang-barangnya di meja, lalu duduk di tepi tempat tidur. Pikirannya masih dipenuhi dengan kejadian di rumah sakit.
Baru saja ia ingin merebahkan diri, pintu kamar terbuka. Bram masuk tanpa mengetuk, wajahnya tampak serius.
"Kau kenapa?" tanyanya, matanya mengamati Jessy dengan seksama.
Jessy mengangkat alisnya. "Apa maksudmu?"
Bram berjalan mendekat, berdiri di depan tempat tidur. "Kau terlihat aneh sejak tadi. Ada yang mengganggumu?"
Jessy tersenyum kecil, berusaha bersikap wajar. "Aku hanya lelah. Tidak ada yang menggangguku."
Bram memperhatikan wajah istrinya dengan tatapan tajam, seolah ingin mencari tanda-tanda kebohongan. Tapi Jessy tidak memberinya celah sedikit pun.
"Kau yakin?" desaknya lagi.
Jessy mengangguk. "Tentu saja. Aku hanya ingin istirahat."
Bram mendesah pelan, lalu duduk di tepi tempat tidur. "Kamu sabar ya, aku sibuk untuk memenuhi kebutuhan kita."
Jessy menahan tawa sinisnya. "Sibuk dengan apa? Urusan kerja?" tanyanya dengan nada polos, meskipun hatinya ingin sekali menanyakan tentang Fina.
Bram tampak ragu sejenak, lalu mengangguk. "Ya. Banyak hal yang harus aku urus."
"Begitu ya…" Jessy berpura-pura percaya, meskipun hatinya mencemooh kebohongan itu.
Bram meraih tangan Jessy, menggenggamnya erat. "Aku tahu aku mungkin bukan suami yang sempurna, tapi aku tetap peduli padamu."
Jessy menatap tangan mereka yang bertaut, hatinya terasa begitu kosong. "Aku tahu."
"Aku janji akan lebih sering ada untukmu."
Jessy tersenyum tipis. Janji? Seberapa sering kau mengingkari janji-janji itu, Bram?
Namun, ia tidak berkata apa-apa. Ia hanya ingin melihat sampai kapan Bram akan terus berpura-pura seperti ini.
Bram akhirnya bangkit dari tempat tidur, menatap Jessy sejenak sebelum berkata, "Aku harus kembali ke kantor. Ada pekerjaan yang belum selesai."
Jessy mengangguk pelan, masih mempertahankan ekspresi datarnya. "Hati-hati di jalan."
Bram tampak sedikit terkejut dengan sikap Jessy yang begitu tenang. Seolah-olah istrinya sama sekali tidak merasa terganggu dengan semua yang terjadi. Tapi itu justru membuatnya lega.
"Aku mungkin pulang agak malam. Jangan tunggu aku," katanya lagi.
Jessy tersenyum tipis. "Aku tidak akan menunggu."
Bram mengangguk, lalu berjalan keluar kamar. Namun, sebelum benar-benar pergi, ia sempat melihat ke arah Jessy sekali lagi, seolah ingin memastikan sesuatu.
Jessy hanya diam, menatap punggung Bram yang perlahan menghilang di balik pintu. Begitu pintu tertutup, senyum yang sejak tadi ia tahan akhirnya memudar.
Ia menarik napas dalam, lalu menghembuskannya perlahan. "Ke kantor, huh?" bisiknya pada diri sendiri.
Tangannya mengepal.
Jessy melangkah keluar dari kamar dengan langkah ringan. Tenggorokannya terasa kering, ia hanya ingin mengambil segelas air di dapur. Namun, langkahnya terhenti saat mendengar suara riang dari ruang tamu.
"Benarkah, Fina? Kau benar-benar hamil anaknya Bram?" Suara Mama Ella terdengar penuh kegembiraan.
"Iya, Ma! Aku baru saja periksa ke dokter bersama mas Bram, dan aku benar-benar mengandung anak Mas Bram," jawab Fina dengan penuh semangat.
Jessy merasa tubuhnya membeku seketika. Ia berdiri di sudut koridor, dengan cepat mengeluarkan ponselnya dan mulai merekam diam-diam.
"Astaga! Ini kabar luar biasa! Akhirnya, Bram akan punya anak dari wanita yang benar-benar cocok untuknya!" seru Mama Ella penuh kebahagiaan.
"Iya, Ma! Kak Fina memang paling cocok jadi istri Mas Bram. Aku sudah lama berharap Kak Fina yang jadi kakak iparku, bukan orang lain," sahut Molly sambil tertawa kecil.
Jessy menggigit bibirnya, menahan rasa sakit yang menghantam dadanya bertubi-tubi. Jadi ini alasannya? Jadi ini kebenarannya? Mereka ternyata sudah tau semua.
"Tapi bagaimana dengan kak Jessy?" tanya Molly lagi, suaranya sedikit meragu.
"Aku tidak tahu, Mas Bram sudah menikah denganku secara diam-diam beberapa bulan lalu. Lagipula, mungkin mas Bram sudah tidak mencintainya lagi."
Jessy membekap mulutnya sendiri, menahan isakan yang hampir lolos. "Menikah? Mas Bram sudah menikahi Fina beberapa bulan yang lalu?"
"Bagus sekali! Sudah sejak awal aku tidak pernah menyukai si Jessy itu. Sekarang setelah kau hamil, Fina, Bram pasti akan segera menceraikannya," ujar Mama Ella penuh kepuasan.
Molly ikut mengangguk. "Iya, Ma. Kasihan Kak Fina kalau harus berbagi suami dengan kak Jessy. Sudah saatnya kak Jessy angkat kaki dari sini."
Jessy menekan ponselnya erat-erat. Tangannya gemetar, dadanya sesak.
Ternyata… semuanya sudah direncanakan.
"Jadi selama ini, mas Bram banyak berbohong kepadaku, dan akhir akhir ini juga tak peduli dengan ku, karena dia sudah memiliki Fina. Selama ini, mereka hanya menganggapku beban, menganggapku orang luar di dalam rumah yang seharusnya menjadi tempat ku berlindung." ucapnya lirih dengan suara kecil.
Lima tahun.
"Lima tahun aku bekerja keras di rumah ini. Lima tahun aku mempertahankan pernikahan ini, tetap setia meskipun perlahan-lahan aku mulai merasa tak dihargai. Lima tahun aku berusaha menjadi istri yang baik, menantu yang baik, bagian dari keluarga ini." ucapnya miris.
"Namun kenyataannya? aku hanya orang yang harus disingkirkan."
Air mata menggenang di matanya. Ia menggigit bibirnya lebih keras, menahan isakannya agar tidak terdengar. "Tidak, aku tidak boleh ketahuan."
Ia menatap layar ponselnya, melihat rekaman yang baru saja ia buat. Ini buktinya. Bukti bahwa mereka telah mengkhianatinya.
Jessy menarik napas panjang. Ia tidak akan menyerah. Tidak akan menangis di hadapan mereka.
"Jika mereka ingin menyingkirkanku, maka aku akan pergi dengan harga diriku. Tapi bukan sebagai wanita yang kalah." ucap Jessy penuh tekad.
"Aku akan membuat mereka semua menyesal."
Jessy menghela napas panjang dan menghapus air matanya yang hampir jatuh. "Tidak. aku tidak akan menangis. Tidak di rumah ini."
Ia menggenggam erat ponselnya dan berbalik. Langkahnya ringan tapi hatinya penuh amarah. Tidak ada gunanya mengambil air di dapur.
Jessy kembali ke kamar dan menutup pintunya perlahan. Ia bersandar di balik pintu, mencoba menenangkan detak jantungnya yang menggila.
Namun, tiba-tiba sesuatu terlintas di pikirannya. Matanya membelalak, lalu perlahan senyum sinis terukir di wajahnya.
"Bram kan mandul."
Tangannya mencengkeram ponsel lebih erat. Ia mengingat jelas hasil tes kesuburan yang baru saja ia terima dari rumah sakit. Dokter mengatakan kesuburannya sangat baik, tetapi… Bram?
Bram tidak bisa memiliki anak.
Jessy menutup mulutnya, menahan tawa sinis yang hampir lolos. "Jadi, anak yang dikandung Fina itu… anak siapa?"
Fina mengaku hamil anak Bram dengan penuh kebanggaan di hadapan Mama Ella dan Molly. Mereka semua bersorak kegirangan seolah-olah telah memenangkan sesuatu yang besar. Tapi kenyataannya?
Mereka semua telah dibohongi.
Jessy berjalan ke meja rias, menatap pantulan dirinya di cermin. Mata wanita di dalam cermin itu tampak berbeda. Bukan lagi Jessy yang lemah dan pasrah.
"Aku ingin melihat bagaimana wajah mereka saat tahu kebenarannya," gumamnya sambil menyeringai.
"Suami.. yang mengkhianatiku. Fina yang pura-pura suci. Mama Ella dan Molly yang membanggakan seorang wanita yang ternyata berbohong. Mereka semua akan mendapat balasan dariku." ucapnya penuh dengan kebencian.
Jessy menatap layar ponselnya. Ia punya dua bukti sekarang.
Rekaman pengakuan Fina tentang kehamilannya.
Dan hasil tes kesuburan Bram.
"Aku hanya perlu menunggu waktu yang tepat."
Jessy tersenyum puas. Jika mereka ingin mengusirnya, maka ia akan pergi dengan kepala tegak. Tapi tidak sebelum ia menghancurkan kebohongan mereka.
klau dah di cerai baru menyesal Bram,,,,,,
tetap semangat terus