“Lo cantik banget, sumpah,” bisiknya. “Gue gak bisa berhenti mikirin lo. Pingin banget lakuin ini sama lo. Padahal gue tahu, gue gak seharusnya kayak gini.”
Tangan gue masih main-main di perutnya yang berotot itu. “Kenapa lo merasa gak boleh lakuin itu sama gue?”
Dia kelihatan kayak lagi disiksa batin gara-gara pertanyaan itu. “Kayak yang udah gue bilang ... gue gak ngambil apa yang bukan milik gue.”
Tiba-tiba perutnya bunyi kencang di bawah tangan gue, dan kita berdua ketawa.
“Oke. Kita stop di sini dulu. Itu tadi cuma ciuman. Sekarang gue kasih makan lo, terus lo bisa kasih tahu gue alasan kenapa kita gak boleh ciuman lagi.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Malam Valentine
...Ailsa...
...────୨ৎ────જ⁀➴...
Gue datang ke gym setelah kerja, latihan bareng Pino Nagolai yang semua orang manggil Pingko. Katanya sih, punya nama belakang Nagolai itu menyusahkan banget buat dia sebagai petinju.
Gue paham sih, soalnya gue juga nggak bisa pakai julukan yang gue pingin. Nauru malah suruh Pingko panggil gue Beans, katanya itu nama ring gue.
Nauru datang ke kafe sehari setelah gue kasih dia shake buatan gue, terus bilang kalau dia makin mantab menuntaskan dua sesi latihan dengan memasukan minuman itu ke menu dietnya.
Senang juga, sih akhirnya gelar gue terpakai juga.
Gue sudah tahu dari lama kalau dia capek banget, kelihatan dari cara dia mengatur lari-larinya. Badannya bisa drop kalau dia nggak dapat asupan yang cukup.
"Jadi, cewek kayak lo ngapain tinju-tinjuan di gym pas Valentine begini?" tanya Pingko sambil lihat gue mutar-mutar melindungi diri, menunggu dia menyerang.
"Harusnya gue yang nanya, Casanova," jawab gue.
Tiba-tiba gue dengar ketawa pelan. Gue noleh, dan lihat Nauru lagi memperhatikan gue. Dia memang suka begitu. Sering banget malah. Gue juga gitu, sih. Suka memperhatikan dia lewat jendela kafe pas dia pulang lari.
Tapi gue nggak lupa bagaimana dia langsung melempar gue ke Pingko pas gue minta pelatih. Padahal gue tahu Nauru sendiri juga bisa latih orang, tapi dia jelas nggak pingin melatih gue.
"Gue udah bilang gue punya cewek. Lagi pula, sejam lagi gue ngajak dia makan malam," kata Pingko. Terus pas gue noleh lagi ke Nauru, dia langsung manfaatin momen buat nyenggol gue.
Gue sudah siap, jadi langsung maju buat menghindar. Tapi dia gerak cepat banget, satu tinju mendarat di muka gue, gue sampai jatuh ke tali ring. Dia taruh dua tangan di kanan kiri gue, menjebak gue di situ.
"Makanya lo gak boleh gampang ke-distract di ring, Beans. Gue udah jebak lo di sini, bisa aja gue hajar berkali-kali sampai lo nggak sempat lihat serangannya."
Terjebak.
Gak bisa apa-apa.
Gue nge-freeze. Gak bisa gerak, napas makin gak karuan, pandangan gue mulai gelap.
Pas gue buka mata, gue sudah rebahan di matras, tangan gue panik gerak sendiri, dan Pingko sama Nauru sudah di atas gue. Nauru kelihatan khawatir banget, terus sentuh bahu gue pelan banget. Tanya apa gue baik-baik saja. Gue mulai duduk dulu sebelum akhirnya berdiri, dan dia bantuin gue buat tetap seimbang.
"Tarik napas Ailsa! Lo aman. Tadi lo pingsan," katanya sambil memandang gue dengan tatapan yang anehnya bikin tenang.
Pingko berdiri di belakang dia, mukanya kayak orang habis nabrak kucing. "Gue benar-benar gak maksud nakutin atau nyakitin lo, Beans."
"Bukan salah lo. Tenang aja."
"Lo pernah pingsan kayak gini sebelumnya?" tanya Nauru sambil bantu gue turun dari ring.
"Belum. Kayaknya ini masalah baru."
Pingko buru-buru ke kulkas, terus kasih gue sebotol air. "Gue benar-benar minta maaf. Tadi gue cuma pingin kasi pelajaran lo sedikit. Gue cuma pingin lo ngerti bagaimana gampangnya kasih celah ke lawan."
"Next time jangan ngajarin filosofi hidup di atas ring," bisik Nauru ke dia, dan Pingko kelihatan menyesal.
"Bukan salah lo. Ini semua gara-gara gue. Sekarang mending lo jemput cewek lo dan ajak dia Valentine-an. Gue juga mau cabut." Gue minum air sedikit dan jalan mau ambil tas, tapi Nauru menahan gue. Dia sentuh bahu gue lembut banget, kayak gue ini rapuh banget buat disentuh.
Padahal biasanya dia selalu jaga jarak dan menghindari sentuhan sama gue.
"Duduk aja dulu, habisin airnya. Pingko, lo boleh cabut. Gue di sini nemenin dia." Dia antar gue ke bangku dan gue langsung ambruk kayak boneka. Gila sih, gue memang benar-benar panik tadi.
"Oke, bos. Sampai ketemu besok siang. Kita masih latihan besok kan, Beans?"
"Ya iyalah. Gue gak bakal bolos," jawab gue cepat.
Ini semua bukan salah Pingko. Ini semua tentang gue.Tentang alasan kenapa gue mulai belajar tinju.
Pingko mengangguk terus pergi dari gym, meninggalkan gue sendirian bareng Nauru. Biasanya gue memang yang terakhir bareng Pingko di sini, soalnya gue datangnya malam, setelah kerja.