Jika menurut banyak orang pernikahan yang sudah berjalan di atas lima tahun telah berhasil secara finansial, itu tidak berlaku untuk rumah tangga Rania Salsabila dan Alif Darmawangsa. Usia pernikahan mereka sudah 11 tahun, di karuniai seorang putri berusia 10 tahun dan seorang putra berusia 3 tahun. Dari luar hubungan mereka terlihat harmonis, kehidupan mereka juga terlihat cukup padahal kenyataannya hutang mereka menumpuk. Rania jarang sekali di beri nafkah suaminya dengan alasan uang gajinya sudah habis untuk cicilan motor dan kebutuhannya yang lain.
Rania bukanlah tipe gadis yang berpangku tangan, sejak awal menikah ia adalah wanita karier. Ia tidak pernah menganggur walaupun sudah memiliki anak, semua usaha rela ia lakoni untuk membantu suaminya walau kadang tidak pernah di hargai. Setiap kekecewaan ia telan sendiri, ia tidak ingin keluarganya bersedih jika tahu keadaannya. Keluarga suaminya juga tidak menyukainya karena dia anak orang miskin.
Akankah Rania dapat bertahan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sadewi Ravita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7 Ceraikan Aku
Astaga, begitu nyinyir mulut ibu mertuanya itu. Menurutnya statusnya tidak ada kata menyindir siapapun, tapi mengapa ibu suaminya itu meradang membacanya. Memang benar kata orang, sebaik apapun sikap seseorang jika dasarnya memang tidak di sukai selamanya akan di anggap salah. Pun begitu Rania di mata ibu mertuanya.
Mengapa dulu ia menyetujui pernikahann ini jika memang tidak menyukainya? Rania merasa sudah capek menghadapi keadaan rumah tangganya. Keadaan ekonomi yang sulit, suami yang tidak memberi nafkah layak dan tidak bisa bersikap tegas, di tambah mertua yang suka nyinyir, lengkaplah sudah penderitaannya.
[Maksud ibu apa? Status saya tidak ada menyindir siapa pun, mengapa ibu marah? Apa ibu merasa hidup saya susah karena menikah dengan putra ibu?]
[Saya memang terlahir dari keluarga kurang mampu, tapi saya punya harga diri. Tidak pernah mengemis kepada orang lain untuk bertahan hidup, jika ibu memang tidak suka dengan saya, silahkan suruh putra ibu menceraikan saya. Selama ini saya diam karena menghormati posisi ibu sebagai mertua saya, tapi ibu benar-benar sudah keterlaluan. Asal ibu tahu selama ini Mas Alif hanya memberi uang 500 ribu sebulan untuk semua keperluan, apa pernah saya mengeluh kepada ibu? Saya yang bekerja keras menutupi semua tapi ibu selalu menuduh saya yang menghabiskan uang putra ibu. Silahkan tanya putranya, keluarga saya tidak pernah mengajari untuk berbohong!]
Dua buah pesan segera ia kirim, ia menulisnya dengan deraian air mata. Segala rasa sakit hati yang selama ini menumpuk ia tumpahkan semua dengan bahasa yang masih sangat sopan, ya orang tuanya tidak pernah mengajarinya memaki untuk hal apapun. Jika ia bisa melontarkan kata-kata kotor itu dia pelajari dari suaminya, Alif sering mengeluarkan kata-kata kotor dan mengumpat jika sedang marah.
Saat tengah menangis meratapi jalan hidupnya, teleponnya berdering. Ternyata suaminya yang menghubungi. Rania segera mengangkat setelah berhasil menetralkan perasaannya.
"Nia, kamu mengadu apa saja kepada ibu ku? Berani ya kamu menceritakan aib suami mu? Sebenarnya apa mau mu?"
Belum mengucapkan apa-apa, Alif sudah berteriak memarahi istrinya.
'Apa lagi ini, belum selesai satu sudah muncul masalah lain' batin Rania.
"Kenapa kamu diam saja, jawab perempuan d*ngu!" hardik Alif.
Hati Rania begitu sakit, bukan karena suaminya memanggilnya d*ngu tetapi karena ia selalu menyalahkan Rania atas kesalahannya atau ibu mertuanya itu. Dia bagai manusia yang tidak pernah ada benarnya.
"Memang ibu mu mengadu apa pada mu, Mas? Coba liat status wa-nya dan coba liat status wa-ku, aku tidak pernah membalas sekalipun ia selalu menghina ku. Dia justru selalu menuduh ku menghabiskan uang mu, padahal berapa sih uang yang kamu berikan, kamu tahu sendiri bukan. Bahkan untuk makan sehari-hari saja tidak cukup, tapi kamu tidak pernah membela ku seolah membenarkan ucapannya. Aku capek Mas, 11 tahun aku berkorban sampai tidak mengurus penampilan ku, apa pernah kamu dan Ibu mu itu menghargai ku? Sekarang terserah pada mu, aku rela jika kamu ceraikan saat ini juga, toh selama ini sama saja aku berjuang sendiri untuk keluarga kita,"
Cukup sudah kesabaran Rania selama ini, selama bertahun-tahun hanya di anggap sebagai sampah. Luapan hatinya mengalir bersamaan derasnya air mata yang tumpah membasahi pipinya. Tidak semua unek-unek ia sampaikan, karena semua itu percuma. Berbicara dengan suaminya bagaikan bicara dengan tembok, jangan berharap mendapatkan balasan apalagi sesuai harapan. Hal yang sangat mustahil. Ia hanya ingin Alif sadar, bahwa dirinya sudah tidak mengharapkan apapun dari pernikahan mereka saat ini.
Alif menutup teleponnya begitu saja, begitulah suaminya yang selalu menghindar dari masalah dan ajaibnya nanti ia akan datang seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Begitulah selama ini.
"Bu... Ibu kenapa menangis? Apa karena ayah atau nenek lagi?" tanya Alisa yang baru saja datang.
Rania segera menghapus jejak kesedihannya, dengan penuh perasaan ia kecup kening kedua buah hatinya. Dapatkah ia membesarkan mereka sendiri tanpa kehadiran sosok ayah? Keraguan mulai memenuhi relung hati Rania.
"Tidak apa-apa, Sayang. Tadi sedang nonton sinetron yang sedih sekali sampai terbawa perasaan," jawab Rania berbohong.
"Ah Ibu ada-ada saja. Ibu jangan kuatir ya, apapun yang terjadi Alisa akan selalu bersama Ibu," ucap Alisa tulus, seolah mengerti kegelisahannya.
Rania sangat terharu mendengar kata-kata putrinya, tidak menyangka anak berusia 10 tahun sudah bisa memberinya semangat. Mungkin selama ini dia mengerti apa yang terjadi, namun tidak pernah bertanya.
☆☆☆
Malam hari, pukul 20.00.
Rania sedang menemani Alisa mengerjakan PR-nya sembari menjaga Bintang. Hari ini terlalu banyak yang terjadi sehingga ia tidak pergi ke pasar untuk membeli bahan dagangan besok. Sayup-sayup ia mendengar suara motor suaminya, namun ia tetap acuh. Ia kira suaminya akan pulang ke rumah orang tuanya, ternyata ia masih punya nyali untuk pulang ke kontrakan mereka.
"Assalamualaikum,"
Alif memberi salam dengan lembut, seolah tidak pernah terjadi apa-apa sebelumnya. Rania yang sudah muak tidak menjawabnya.
"Waalaikum salam, Ayah pulang," pekik Alisa.
"Ayah, Ayah," ucap Bintang sembari memeluk ayahnya.
Astaga, di saat hatinya sudah benar-benar mantap mengakhiri semua hubungan ini mengapa justru kedua anaknya terlihat begitu sayang kepada ayahnya. Apalagi Bintang, selama ini selalu menolak jika di dekati olehnya, tapi sekarang justru memeluk ayahnya dengan perasaan bahagia.
'Permainan apa yang ingin Engkau tunjukkan dalam hidup ku Ya Allah, Maha membolak balik hati manusia?' Rania hanya bisa bertanya dalam hati.
"Sayang, jika sudah selesai semua segera tidur ya. Ibu akan menemani Bintang, sepertinya dia sudah mulai mengantuk,"
"Iya, Bu. Hanya tinggal sedikit lagi maka akan selesai,"
Rania masuk ke dalam kamar, sengaja menghindar dari suaminya. Jika biasanya ia akan bertanya apakah suaminya mau makan atau minum kopi, kali ini ia benar-benar tidak ada niat bahkan sekedar menyapanya saja rasanya malas. Ia sudah tidak peduli akan dosa, toh suaminya juga tidak pernah peduli akan perasaannya.
"Dek, apa kamu masih marah pada ku?" tanya Alif lembut.
Kedua anak mereka sudah tidur, malam semakin larut, suasana begitu sunyi hanya menyisakan suara jangkrik yang entah dari mana datangnya. Rania tidak menyahut, pura-pura memejamkan mata walau tidak benar-benar tidur.
"Aku tahu kamu belum tidur, aku mohon maafkan aku,"
Alif berangsek mendekati istrinya, pria itu memeluknya namun secepat kilat Rania menepisnya. Alif mulai menciumi tengkuk istrinya namun Rania segera bangkit dan pindah menjauhinya.
"Aku mohon maafkan aku, maafkan juga ucapan Ibu ku ya. Aku sangat menyayangi mu, Nia," Rayu Alif.
Dengan penuh kemarahan Nia bangkit, di tatapnya manik suaminya seolah ingin menghujamnya.
"Sayang kamu bilang Mas? Di mana kamu saat ibu mu menginjak-injak harga diri ku? Di mana kamu saat dia mempermalukan aku di hadapan orang banyak?" teriak Rania.
"Maafkan aku yang tidak berdaya, sebaiknya kita mengalah Nia. Kita akan tetap salah jika bertengkar dengan orang tua. Aku tidak ingin menjadi anak durhaka, tolong mengertilah posisi ku, Nia,"
Rania menghela napas panjang, ia seka air mata yang turun dengan sudut lengan bajunya. Dengan tatapan datar namun penuh kesakitan di tatapnya dengan lekat pria yang pernah mengucapkan janji suci di hadapan penghulu itu atas namanya.
"Ceraikan aku, Mas,"