Di Desa Asri yang terpencil, Fajar Baskara, seorang pemuda multitalenta ahli pengobatan tradisional, harus menyaksikan keluarganya hancur—ayahnya lumpuh karena sabotase, dan adiknya difitnah mencuri—semuanya karena kemiskinan dan hinaan. Setiap hari, ia dihina, diremehkan oleh tetangga, dosen arogan, bahkan dokter lulusan luar negeri.
Namun, Fajar memegang satu janji membara: membuktikan bahwa orang yang paling direndahkan justru bisa melangit lebih tinggi dari siapapun.
Dari sepeda tua dan modal nekat, Fajar memulai perjuangan epik melawan pengkhianatan brutal dan diskriminasi kelas. Mampukah Fajar mengubah hinaan menjadi sayap, dan membuktikan pada dunia bahwa kerendahan hati sejati adalah kekuatan terbesar untuk meraih puncak kesuksesan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PENGUMUMAN BEASISWA & KERAGUAN
Tiga minggu sebelum keberangkatan, Fajar berdiri di depan papan pengumuman sekolah. Kertas putih tertempel dengan selotip coklat. Di sudut atas, logo Universitas Adidaya—emas dan biru.
Jarinya gemetar saat menelusuri daftar nama.
Fajar Baskara - Desa Asri - Beasiswa Penuh - Fakultas Ekonomi
Jantungnya berdegup keras.
"Keterima!" teriaknya tanpa sadar.
Beberapa teman sekolah menoleh. Ada yang tersenyum tulus, ada yang hanya menatap datar.
Pak Hadi, guru BK-nya, menepuk bahu Fajar. "Selamat, Jar. Kamu memang layak. Tiga tahun berturut-turut juara kelas, meski harus kerja sambil sekolah."
"Makasih, Pak."
"Tapi kamu sudah pikirin biaya hidup di sana? Beasiswa cuma cover kuliah, Nak. Kos, makan, transport, buku—itu semua di luar."
Senyum Fajar memudar sedikit. "Saya akan cari kerja sambilan, Pak."
Pak Hadi mengangguk perlahan, tatapannya khawatir. "Kota nggak seenak yang kamu bayangkan. Tapi aku percaya sama kamu. Kamu anak yang tangguh."
Sore itu, Fajar pulang dengan langkah ringan. Ia ingin cepat-cepat sampai rumah, bilang ke ayah dan ibu.
Tapi di depan warung Bu Sumi, suara-suara familiar menghentikan langkahnya.
"Dengar-dengar anak Pak Wira keterima kuliah."
"Iya, katanya Universitas Adidaya. Kampus orang kaya itu lho."
"Beasiswa sih beasiswa, tapi biaya hidup di kota gimana? Mana mungkin mereka sanggup. Rumahnya aja mau roboh."
Fajar berhenti. Jantungnya mencelos.
"Maksa banget. Udah tau miskin, masih aja kuliah. Mending kerja buruh pabrik kayak bapaknya dulu. Eh, tapi bapaknya sekarang cuma jadi beban ya?" Suara Pak Joko, tetangga sebelah.
Tawa meledak.
Fajar mengepalkan tangan. Kakinya bergerak otomatis menjauhi warung itu. Ia tidak tahu kenapa air matanya tiba-tiba panas.
"Fajar!" Bu Sumi memanggilnya. "Eh, denger-denger kamu keterima kampus. Selamat ya."
Fajar menoleh. Bu Sumi tersenyum, tapi matanya... dingin.
"Makasih, Bu."
"Tapi gimana nanti biaya hidupnya? Kasihan ibumu udah tua kerja begitu keras. Jangan sampai malah jadi beban lagi."
Fajar hanya mengangguk kaku, lalu berlalu.
Jadi beban lagi.
Kata-kata itu bergema di kepalanya sepanjang jalan pulang.
Di rumah, ibu sedang menjemur cucian. Wajahnya lelah. Rambutnya yang sudah setengah beruban basah oleh keringat.
"Bu!" Fajar berlari.
Ibu menoleh, langsung memasang senyum. "Kenapa? Ada apa?"
"Fajar... Fajar keterima, Bu! Beasiswa penuh!"
Ibu terdiam. Jemuran di tangannya jatuh ke tanah. Matanya melebar, lalu berkaca-kaca.
"Beneran, Jar?"
"Beneran, Bu. Ini suratnya." Fajar menunjukkan print-out dari sekolah.
Ibu memeluk Fajar erat. Sangat erat. Tubuhnya bergetar.
"Alhamdulillah... Alhamdulillah, ya Allah..." Suaranya tercekat. "Impian bapakmu terwujud, Nak. Kamu bakal kuliah..."
Rani keluar dari dalam rumah dengan mata berbinar. "Serius, Kak? Kakak mau kuliah?"
Fajar mengangguk sambil mengusap mata.
"Keren banget!" Rani melompat memeluk kakaknya.
Tapi kebahagiaan itu tidak bertahan lama.
Malam harinya, mereka berkumpul di ruang tengah yang sempit. Ayah di kursi roda, ibu dan Rani duduk di tikar. Fajar di tengah.
"Biaya hidup di kota itu mahal, Jar," kata ayah pelan. Suaranya serak. "Bapak dulu pernah kerja di kota sebelum kecelakaan. Kos termurah pun tiga ratus ribu sebulan. Belum makan, transport, buku."
Ibu menghitung dengan jari gemetar. "Kalau sebulan butuh sejuta, setahun berarti dua belas juta. Belum keperluan lain..."
Rani menunduk.
Hening melingkupi.
"Fajar akan kerja sambilan, Yah, Bu. Banyak mahasiswa yang begitu. Fajar bisa kok."
Ayah menatap Fajar dalam. "Bapak nggak ragu sama kemampuanmu, Nak. Bapak cuma... takut kamu terlalu memaksakan diri. Kuliah sambil kerja itu nggak gampang."
"Fajar kuat, Yah."
Ibu menghapus air mata. "Ibu akan tambah cucian. Bu Sumi tadi bilang ada yang cari jasa setrika juga. Ibu bisa ambil."
"Nggak, Bu. Ibu sudah capek—"
"Demi kamu, Ibu nggak akan capek." Suara ibu tegas. "Ini kesempatan yang nggak akan datang dua kali, Jar. Keluarga kakekmu dari dulu miskin. Nggak ada yang pernah kuliah. Kamu yang pertama. Kamu harus berangkat."
Rani menggenggam tangan kakaknya. "Nanti aku juga akan bantu. Aku bisa jualan es keliling."
"Rani masih kecil—"
"Aku nggak masih kecil!" Rani protes. "Aku sudah enam belas tahun. Aku bisa kerja."
Fajar menatap keluarganya satu per satu. Ayah yang lumpuh tapi tetap tegar. Ibu yang kurus kering tapi kuat luar biasa. Rani yang masih remaja tapi sudah dewasa sebelum waktunya.
"Maafin Fajar, yah..." bisiknya pelan. "Maafin Fajar yang bikin keluarga ini makin susah."
"Jangan bilang gitu!" Ayah membentak—untuk pertama kali dalam setahun terakhir. Matanya merah. "Kamu bukan beban, Jar. Kamu harapan kami. Satu-satunya harapan keluarga ini buat keluar dari kemiskinan ini. Jangan pernah bilang kamu jadi beban!"
Fajar menunduk. Air matanya jatuh ke lantai.
Ibu memeluknya dari samping. "Kamu pergi, Nak. Kamu sekolah yang bener. Kami akan kuat di sini. Yang penting kamu sukses."
Malam itu, Fajar tidak bisa tidur. Ia menatap langit-langit kayu yang lapuk. Suara tikus berlarian di loteng.
Ia mendengar ibu terisak pelan di kamar sebelah. Mendengar ayah bergumam berdoa.
"Ya Allah, kuatkan anak kami. Mudahkan jalannya. Jangan Engkau uji dia melebihi batas kemampuannya..."
Fajar menutup mata erat.
Ia harus sukses.
Bukan hanya untuk dirinya sendiri.
Tapi untuk keluarga yang sudah begitu banyak berkorban.
lama" ngeselin fajar.
kok demi hemat fajar ga bawa sepeda ke kampus?
kalaw jalan kaki bukan nya hemat malah lebih boros di waktu dan tenaga.