Seorang pemuda tampan yang katanya paling sempurna, berkharisma, unggul dalam segala bidang, dan yang tanpa celah, diam-diam menyimpan sebuah rahasia besar dibalik indahnya.
Sinan bingung. Entah sejak kapan ia mulai terbiasa akan mimpi aneh yang terus menerus hadir. Datang dan melekat pada dirinya. Tetapi lama-kelamaan pertanyaan yang mengudara juga semakin menumpuk. "Mengapa mimpi ini ada." "Mengapa mimpi ini selalu hadir." "Mengapa mimpi ini datang tanpa akhir."
Namun dari banyaknya pertanyaan, ada satu yang paling dominan. Dan yang terus tertanam di benak. "Gadis misterius itu.. siapa."
Suatu pertanyaan yang ia pikir hanya akan berakhir sama. Tetapi kenyataan berkata lain, karena rupanya gadis misterius itu benar-benar ada. Malahan seolah dengan sengaja melemparkan dirinya pada Sinan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yotwoattack., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
A M BAB 04 - lucu.
Sinan dan Dinya akhirnya berjalan beriringan menuju kantin setelah tadi pihak lelaki dengan gencar sok akrab memakai alasan tentang bagaimana pertemuan mereka tadi pagi, perasaan akrab yang familiar, Dinya yang adalah tipenya, sikap ramah dengan murid baru. Dan masih banyak lagi. Akhirnya mereka jadi sedikit lebih dekat atas ocehan itu.
"Makanan disini enak-enak, apalagi baksonya. Beuh~ mantap." Si pemuda tersenyum sembari mulutnya gencar memuntahkan yapinggan penuh semangat kendati hanya anggukan yang didapat. "Apalagi mie ayam sama es campurnya, beuh~ the best!"
Tap..
Tap..
Perjalanan menuju kantin hanya diisi oleh suara si pemuda yang tiada habisnya. Masing-masing tangannya berada di dalam saku dengan langkah yang sengaja ia perlambat sebisa mungkin agar gadis yang bahkan hanya sebatas dadanya itu tidak ketinggalan. Sebenarnya kalaupun si dia ketinggalan Sinan akan kembali untuk menjemput. Tentu saja.
"Ini kali pertama dan terakhir gue ke kantin sama lo." Kata si gadis mungil yang langsung menghentikan langkah pemuda jangkung di belakangnya. "Lain kali lo bisa pergi sendiri."
Sambil cemberut Sinan ingin membuka mulut. Berniat melayangkan protes tapi ketika gadis yang hampir saja akan menjadi sasaran rengekannya itu menunjukkan sebagaimana ricuh sekitaran. Seketika rengekan yang sudah sampai tenggorokan langsung pemuda itu telan mentah-mentah.
Si pangeran sekolah terkekeh lalu menyengir canggung. Ia melupakan fakta bahwa dirinya begitu famous sampai hampir memiliki hubungan baik dengan semua murid. Bisa-bisanya ia tidak mendengar segala kalimat sapaan yang melayang juga berbagai ujaran basa-basi yang dilayangkan pada sepanjang perjalanan keduanya. Atau mungkin hanya dia saja yang tidak mendengar sedangkan gadis yang sedang berjalan dengannya tidak begitu. Betapa merasa berdosanya ia sekarang.
Tap.. tap..
Mengambil langkah untuk mendekati Dinya sampai posisi menjadi mepet. Lantas sosok ramah yang begitu dipuja-puja itu membalas sapaan basa-basi mereka seperlunya sebelum menunduk dalam untuk membisikkan ujaran dengan nada tidak enak.
"Maaf kalau kamu risih. Kamu pasti gak nyaman banget, ya?" Katanya pelan. Lalu membawa gadis itu untuk lanjut melangkah. Memberinya arahan untuk berjalan lebih cepat. "Nanti di kantin kita cari meja yang paling pojok, kamu bilang aja mau pesan apa sama aku biar aku bawain, atau mau rekomendasi dari aku aja?"
Setibanya di kantin, mereka benar-benar menjalankan rencana yang barusan tercetus.
Pihak lelaki menuntun pihak lainnya agar duduk manis dan menunggu saja pada meja paling pojok yang telah dipilihkan. Setelah memastikan dan sedikit mewanti-wanti bahwa gadis itu harus tetap berada disana sampai saat ia kembali dengan membawa makanan, si pemuda baru bisa berjalan pergi untuk membuat pesanan itu sendiri.
Tap..
Tap..
Dengan langkah cepat ia berjalan dan tanpa membuang banyak waktu juga langsung membeli beberapa makanan beserta minum sebelum bersiap untuk kembali dan berkumpul dengan Dinya lagi. Jari kelingkingnya menenteng satu plastik berisi aneka camilan. Sebelah tangannya membawa nampan yang terdapat beberapa gelas minuman lengkap dengan cake. Lalu nampan ditangan yang sebelahnya lagi membawa berbagai makanan berat di atasnya.
Srek.
"Kemana?" Kata Bianca lalu mengangkat dagu pada gerombolan yang sedang berkumpul pada meja ditengah-tengah kantin. "Gak join? Noh, mereka nunggu."
Yang ditegur hanya menggeleng. Berniat ingin melanjutkan langkah namun rupanya Bianca masih tidak mengijinkannya untuk itu. Bianca menarik ujung seragamnya sambil melayangkan sorot penuh tanya.
"Banyak banget beli makanannya, mau buat siapa?" Katanya tampak kagum. Lalu dengan begitu santai memeluk lengan si pemuda untuk menghampiri gerombolan yang tadi ia maksud. "Kebetulan kita mager pesen. Lo harus gabung sih ini."
"Gak Bianca." Sinan menolak langsung. Masih dengan secara halus melepaskan pelukan Bianca dan kembali ingin berjalan. "Gue ada urusan."
"Mau kemana dah?! Jangan bilang ke si anak baru." Bianca langsung sewot. Ia hanya menebak sambil merentangkan tangan lalu mendongak untuk menatap Sinan kesal. "Gabung gak?!"
Tidak menjawab apalagi terpengaruh, pemuda yang ditatap sampai sedemikian rupa malahan dengan begitu ringan bergeser lalu merajut langkah. Meninggalkan Bianca yang alisnya terangkat tinggi.
"Lo makan aja, bilang sama yang lain habis ini gausah nyariin gue." Santai Sinan tanpa berbalik. Melenggang begitu saja. "Gue mau nganter Dinya ngambil seragam, oh sekalian mau nemenin dia buat ngeukur rompi."
Tap..
Tap..
Dalam waktu singkat, langkah ringan itu sudah membawanya berada di depan meja dimana gadis yang tampaknya sedang menanti itu duduk tegak. Meletakan nampan tersebut diatas meja lalu mengeluarkan apa yang ada, si pemuda lantas menggeser lebih banyak mangkok ke arah Dinya sebelum menyimpan nampan ke bawah meja dan akhirnya mendudukkan diri.
"Kurang banyak." Kata sambutan dari gadis itu yang langsung membuat Sinan terkekeh. "Tambahin lagi."
"Pfftt.. sengaja biar kamu cobain semuanya. Makanan-makanan ini yang best seller, haha." Sahut geli pemuda itu pada kalimat sarkas barusan. Menahan tawa ketika lirikan muak diwajah datar itu tercipta. "Hehe! Gih, cobain."
Tangan Sinan terangkat untuk menggeser sebuah mangkuk berisikan mie daging kepada Dinya. Mengamati bagaimana gadis itu menyendokkan mie daging lalu mengangguk puas membuat senyumnya tak ayal langsung mengembang. Ia bertopang dagu sambil terus menyerahkan berbagai hidangan untuk si gadis manis cicipi.
Makanan-makanan yang dibawanya memang adalah makanan yang menjadi favorit pemuda tampan itu. Termasuk dessert, minuman, juga camilan-camilan lainnya.
"Kenyang?"
"Masih nanya?"
Seketika tawa renyah miliknya menyembur ketika lagi-lagi sahutan dengan nada sarkas yang ia terima. Memang terbilang agak menyebalkan apabila bertanya suatu pertanyaan yang sudah jelas. Kendati gadis yang sedang menampilkan raut muak itu tak menghabiskan apa yang ada, tetap saja tak bisa dipungkiri bahwa pasti saja perut gadis mungil itu sedang begah saking banyaknya makanan yang telah ia coba.
Sinan bertopang dagu sambil berusaha meredam tawanya sendiri. Punggung lebarnya sampai bergoyang saking sekuat tenaganya ia berusaha.
"Lucu. Lucu banget.. lucunya." Bergumam pada diri sendiri sebelum mengangkat pandangan agar kembali menatap wajah datar itu. Lantas berkata dengan senyum. "Setelah ini aku ikut kamu ngambil seragam. Mau nemenin sekalian ngajak kamu keliling-keliling sekolah."
Lagi-lagi segalanya berjalan sesuai rencana. Setelah lika-liku yang cukup panjang akhirnya kedua orang itu kembali berjalan menyusuri lorong secara beriringan. Berniat untuk mengambil seragam sekalian membantu mengukur tubuh si gadis mungil untuk membuat rompi yang kebetulan pemuda jangkung di belakangnya juga ingin. Rompi milik Sinan yang beberapa tahun terakhir proses tumbuhnya berkembang begitu pesat itu kebetulan kekecilan sehingga tidak ada alasan lagi bagi Dinya untuk menolak.
Tap..
Tap..
Situasi yang menemani perjalanan mereka menuju lantai tiga masih kurang lebih sama. Si pemuda yang mengoceh dan si gadis yang mendengarkan sambil sesekali mendesah muak. Mungkin bedanya hanya pada Sinan yang sudah sadar bahwa dunia bukan hanya milik mereka berdua sehingga pemuda tampan kebanggaan seantero SMA Moranvva itu mulai sedikit memperhatikan apa yang ada di sekitarnya dengan membalas sapaan malu-malu dari para siswi.
"Hey.. you alright?" Bisiknya yang menunduk dalam. Mengamati raut apa yang ada di wajah datar itu dan setelah memastikan tidak ada kecemasan, ketidaknyamanan, kegelisahan, atau kecemburuan. Mungkin yang terakhir itu bisa di hilangkan saja. Baru si tampan bisa tersenyum lega. "Muka kamu kayak yang gak perduli, jauh beda sama yang pertama. Udah mulai beradaptasi ya kamu."
Sembari pemuda famous itu membalas banyaknya ujaran yang tertuju kepadanya sembari genggaman hangat itu memegangi Dinya. Seolah Sinan tidak ingin gadis itu mengambil jarak barang sedikit saja. Tidak ingin dia menghilang ditelan kerumunan seperti halnya yang tadi pagi terjadi didalam bus.
"Udah?"
Singkat cerita, sosok jangkung yang baru keluar dari suatu ruangan itu langsung menoleh ketika ujaran dari Diny melayang dan menyambutnya. Tanpa berpikir Sinan langsung mengangguk sembari kakinya melangkah menghampiri. Ngomong-ngomong pemuda tampan itu sedikit heran mengapa senyumnya tidak pernah luntur sejak tadi.
"Ini seragam-seragamnya, sengaja aku pilihin yang lumayan oversize gapapa?" Katanya sambil mengajukan tumpukan seragam yang tidak bisa dibilang sedikit karena yang ia belikan memang semua perlengkapan. Termasuk kaos ganti, sepatu-sepatu lengkap dengan kaos-kaosnya, seragam olahraga kedua, dan masih banyak lagi yang sebenarnya tidak diwajibkan. "Aku ngambil yang paket lengkap. Jadi semua seragam wajib udah pasti ada."
Dinya hanya mengangguk, awalnya gadis itu tampak kaget dengan banyaknya barang bawaan yang Sinan bawa tapi pada akhirnya ia hanya menggeleng maklum sembari menyambut satu pasang kaos kaki dengan motif kepala beruang kecil di ujungnya. Hanya benda kecil itu yang diperbolehkan Sinan untuk ia bawa.
Tap..
Tap..
"Itu kaos buat kelas sepuluh padahal, tapi karena lucu jadi sekalian aku beliin buat kamu. Btw itu kaos couple, liat nih kaki aku." Pihak lelaki masih merangkul peran mengoceh sembari keduanya berjalan. Lalu sedikit menghentikan langkah untuk memperlihatkan kaos yang membalut kakinya. "Lucu gak? Lucu dong."
Melihat Dinya menghembuskan nafas panjang sembari menggelengkan kepala dengan maklum untuk yang kesekian kalinya, hanya menciptakan kekehan dari mulut Sinan.
"Ngomong-ngomong, kenapa tadi gak berani masuk? Introvert ya kamu." Kembali membuka topik obrolan. "Dan pas di kelas juga, kamu gak banyak ngomong. Selain murid-murid yang pertanyaannya kamu jawab dengan males-malesan itu, aku orang pertama yang ngobrol sama kamu, kan?"
Mendapati Dinya mengangguk, Sinan lantas tersenyum sampai beberapa saat kemudian senyum di wajahnya memudar ketika gadis itu menghentikan langkah untuk menatap kearah jendela luar yang bersusun disepanjang lorong. Entah kenapa suasana jadi mendadak tidak enak.
"Kurang bisa bersosialisasi." Ulang gadis itu sambil memunggungi. Mendongak ia untuk menatap hamparan langit biru sementara pemuda dibelakang menatap punggungnya aneh. "Gak juga."
Sinan mengambil langkah mendekat. Ingin membuat gerakan berupa menjangkau si punggung yang tampak familiar namun perhatiannya buru-buru teralihkan.
"Nyari awan merah lagi?" Kata Sinan sambil menatap Dinya dan awan di langit biru bergantian. Tiba-tiba rasa penasaran menyeruak di diri pemuda itu. Bertanya-tanya tentang kalimat dari si gadis tadi pagi tentang apalah itu yang ia belum sepenuhnya mengerti. Bahkan bisa dibilang tidak mengerti sama sekali. "Maksud kamu tentang awan merah itu apa?"
Sampai beberapa puluh menit kemudian keduanya masih berada dalam posisi yang sama. Dan perasaan kepo Sinan juga sepenuhnya sudah tersapu oleh waktu.
"Oh iya, tadi kamu bilang gak bisa bersosialisasi, tapi kamu bisa aja nih akrab main sama aku." Kata Sinan. Ia berniat mencairkan segala kecanggungan yang ada dan nampaknya itu berhasil. Gadis yang awalnya hanya mematung sembari mendongak selama bermenit-menit mulai meliriknya. "Bahkan seharian ini kita hampir selalu bareng-bareng. Hehe."
Dinya sedikit melirikku sebelum sepenuhnya melepaskan sorot datar itu dari awan di atas sana, ia mendongak untuk menatapku lalu jari mungilnya parkir di depan dagu.
"Heum.. entah. Jujur gue agak ngerasa familiar sama lo." Sahut gadis itu akhirnya. Ia mendongak untuk menatap si pemuda sambil jari mungilnya parkir di depan dagu. Lalu ia mengukir senyum. "Mungkin apa kata lo bener. Bisa aja sebelumnya kita pernah ketemu, atau bahkan.. sempat saling mengenal."
Deg..
Sinan hanya terpaku. Hampir ia menjatuhkan barang bawaan yang tidak sedikit itu jika tidak mengingat bahwa gadis kecil di depannya akan penyek apabila tertimpa. Jika tidak mengingat keberadaan Dinya ia bersumpah akan benar-benar menjatuhkannya saking lemasnya pemuda itu sekarang.
"Dinya.." ujarnya hampir terdengar seperti rengekan, ia sedikit maju lalu menunduk untuk menopangkan dagu di pucak kepala gadis tersebut. "Aku barusan juga mikir hal yang sama, makanya tadi pagi aku nanya apa kita pernah ketemu atau enggak.."
Perasaan yang awalnya sempat dihinggapi rasa penasaran berubah. Bahkan berkecamuk. Mengenai mimpi dan segala kemungkinan. Pemuda yang mendadak menjadi begitu manja sembari menopangkan dagu lemah bahkan mengendus-endus leher Dinya meski harus menunduk lebih dalam itu sedang berperang dengan batinnya sendiri.
"Kalau sebelumnya kita beneran pernah ketemu, gimana?" Kata pemuda itu dileher sang gadis. Mengabaikan punggungnya yang akan sakit karena terlalu lama membungkuk dalam. "Tapi sebagai apa? Apa kita dulunya adalah teman masa kecil yang sengaja dipisahkan karena berpotensi akan menjadi bucin di masa dep-"
"Lo pikir drakor." Dinya memotong. Mendorong pemuda berat itu sambil merajut langkah tanpa sedikitpun menoleh kebelakang.
Tap..
Tap..
Kondisi lorong hanya terdapat beberapa murid saja yang berlalu lalang. Mungkin karena jam yang menunjukkan bahwa sekarang sudah bukan waktu istirahat lagi sehingga para murid segera masuk dan belajar pada kelasnya masing-masing. Meski tak semuanya memilih belajar sehingga beberapa di antara mereka masih keluyuran, intinya lorong terbilang cukup sepi bagi Dinya yang membawa siswa most wanted di belakangnya.
"Jadi dulu kita beneran udah pernah ketemu?" Sinan memastikan lagi. Ia hanya berjalan membuntuti gadis itu dengan banyaknya bawaan ditangan. Sama sekali tak terganggu. "Dinya.. kalau sebelumnya kita beneran udah ketemu, gimana? Kamu gak nyaut-nyahut dari tadi."
"Kenapa." Yang jadi sasaran merengek akhirnya menyahut meski tanpa menoleh. Terlihat begitu santai melenggang dengan kaki pendeknya. "Kalau pernah ketemu emangnya kenapa. Dunia sempit."
Mendengar itu membuat langkah Sinan sempat terhenti. Benar juga. Pikir pemuda itu sebelum kembali melanjutkan langkahnya.
Perjalanan mereka selanjutnya diisi oleh keheningan, pihak lelaki tidak lagi mengoceh seperti sebelum-sebelumnya karena sibuk memikirkan segala kemungkinan, dan Dinya yang memang tidak akan bicara apabila tidak diajak berbicara.