Demi melanjutkan pendidikannya, Anna memilih menjadi magang di sebuah perusahaan besar yang akhirnya mempertemukannya dengan Liam, Presiden Direktur perusahaan tempatnya magang. Tak ada cinta, bahkan Liam tidak tertarik dengan gadis biasa ini. Namun, suatu kejadian membuat jalan takdir mereka saling terikat. Apakah yang terjadi ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Black moonlight, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kembali
Anna hanya bertahan dua hari di kampung halamannya.
Dua hari yang seharusnya menjadi waktu untuk beristirahat, meredakan tekanan, dan merasakan kembali rasa aman di bawah atap orang tuanya. Namun dua hari itu justru berubah menjadi dua hari yang mengoyak habis tenang yang tersisa dalam hidupnya.
Dan kini, di depan pintu kontrakan kecilnya di kota, ia berdiri dengan ransel yang masih sama—namun hati yang jauh lebih berat daripada saat ia pergi.
Ia membuka pintu dengan pelan. Dalam rumah kontrakan itu, bau lembap sore hari menyambutnya, bercampur dengan aroma mie instan yang dimasak tetangga sebelah. Kontrakan itu terasa dingin, sepi, dan… kenyataannya, lebih jadi rumah dibanding rumah kampungnya sendiri.
Saat pintu kamar kosnya terbuka, suara Lusi langsung menyentak.
“Loh, An? Baru dua hari lo udah balik?”
Lusi meletakkan ponselnya dan berdiri, menatap Anna dari ujung rambut sampai ujung kaki. Ekspresinya bukan marah, bukan heran, tapi campuran cemas dan kaget.
Anna menurunkan tasnya, menutup pintu pelan seolah takut rumah itu ikut dihancurkan oleh beban ceritanya.
“Gue… nggak betah.” suara Anna pecah. “Bukannya ngilangin masalah, malah nambah masalah.”
Lusi langsung mendekat. “Ada apa?”
Hanya dua kata, tapi seolah membukakan pintu yang sejak dua hari terakhir ditahan Anna dengan seluruh kekuatannya.
Anna mencoba menahan napas, tapi gagal. Suaranya keluar putus-putus, lirih, namun penuh kemarahan yang ia tekan selama dua hari penuh. “Gue dijodohin, Lus.”
Lusi membeku. “Dijodohin? Sama siapa?”
“Sama putranya Pak Kades. Duda, anak dua. Temperamennya buruk…” Anna menelan ludah, suaranya bergetar, “…dan gue dikasih dua pilihan: nikah, atau cuti kuliah dan kerja di kampung sampai bisa bantu ekonomi keluarga.”
Lusi terbelalak. “Hah?! Gila kali keluarga lo!”
Anna menggeleng cepat, bukan membela orang tuanya, tapi karena dadanya terlalu sesak untuk mengurusi benar salah. “Ayah gue… dia bilang itu kesempatan. Katanya lebih baik gue nikah sama orang kaya daripada susah di kota sendirian…”
“Terus lo jawab apa?”
Anna tersenyum getir, air matanya menetes. “Gue bilang gue nggak mau jadi barang dagangan. Gue bilang ini bukan zaman Siti Nurbaya.”
Lusi langsung memeluknya. Anna membalas pelukan itu, tubuhnya gemetar seakan baru menahan badai yang terlalu lama.
Setelah beberapa menit, mereka duduk di lantai kamar, bersandar pada kasur tipis Anna.
“Terus… gimana lo bisa balik cepet banget?” tanya Lusi pelan, seolah takut pertanyaan itu membuka luka baru.
Anna menarik napas panjang. “Gue sama ayah bikin… semacam kesepakatan. Kalau semester ini gue nggak dapat kerja, gue harus pilih salah satu dari dua pilihan itu.” Tangannya mengusap wajahnya sendiri—gerakan orang yang sudah terlalu lelah menangis tetapi tidak bisa berhenti.
Lusi tercengang. “Kok bisa-bisanya ya…”
Anna menatap lantai yang kusam. “Gue pulang berharap bisa tenang… malah disuruh nyerah sama hidup gue sendiri.”
Di detik itu, Lusi tidak langsung menanggapi. Ia tahu Anna bukan butuh solusi. Ia butuh didengar. Didampingi. Disaksikan dalam keterpurukannya.
Malam itu, setelah Lusi kembali ke kamarnya, Anna duduk termenung di atas kasur. Kontrakan itu sepi. Lampu kamar temaram, menyorot dinding yang catnya mulai terkelupas. Di luar jendela, suara motor berlalu-lalang terdengar seperti denyut kehidupan yang terus bergerak maju.
Namun Anna merasa terjebak, tertinggal, dan mati rasa di tempat.
Dua hari di kampung seharusnya membawa ketenangan. Tapi yang ia dapatkan hanyalah ultimatum.
Ayahnya tidak jahat. Ibunya pun tidak kejam. Anna tahu itu. Mereka hanya… putus asa.
Dan putus asa sering kali membuat orang memaksa pilihan yang tidak manusiawi pada orang lain—bahkan pada anaknya sendiri.
Anna menunduk, memeluk lutut. Air matanya jatuh satu per satu, tanpa suara. “Kenapa hidup gue gini banget, Lus…” bisiknya yang hanya terdengar oleh dirinya sendiri.
Ia merogoh tasnya, mengeluarkan sebuah amplop kusam. Di dalamnya ada uang 300 ribu rupiah—tabungan ibunya yang disimpan diam-diam dari ayahnya.
“Itu buat Anna makan dua minggu,” kata ibunya sambil menyelipkan amplop itu ke tangan Anna pagi sebelum ia kembali ke kota. “Nanti kalau pesanan kue Ibu ada lagi, Ibu kirim lagi. Tapi jangan bilang Ayahmu.”
Wajah ibunya terbayang. Raut penuh cemas. Raut seorang ibu yang mencintai anaknya, namun juga terjepit kondisi hidup.
Anna mencengkram amplop itu erat-erat. Tangannya bergetar.
“Uang ini… bahkan nggak cukup buat bayar kuliah,” gumamnya lirih. “Bahkan buat ongkos hidup pun ngepas banget.”
Ia membuka aplikasi rekening di ponselnya.
Saldo: 42.000 rupiah.
Ditambah uang dari ibunya: 300.000 rupiah.
Total: 342.000 rupiah.
Untuk dua minggu.
Untuk hidup.
Untuk bertahan.
Untuk pikirannya yang hampir runtuh.
Dan tentu saja… tidak ada yang tersisa untuk membayar kuliah.
Anna menutup wajahnya. Tubuhnya membungkuk, suaranya pecah tertahan. “Gimana gue bisa lanjut hidup kayak gini…”
Yang paling menyakitkan bukan hanya masalah finansialnya.
Bukan hanya ancaman drop out.
Bukan hanya perjodohan.
Yang paling menghantam adalah kenyataan bahwa ia benar-benar tidak melihat masa depan yang jelas di hadapannya. Semua jalan tampak tertutup. Ia seperti berdiri di tepi jurang, dan dunia terus mendorongnya sedikit demi sedikit.
Ia menatap langit-langit kamar.
“Kalau gue gagal dapat kerja semester ini… gue beneran harus nikah sama orang itu atau balik kampung buat jadi buruh dan bantu orang tua…”
Ia menutup mata, menahan ketakutan yang merayap seperti kabut dingin.
“Gue harus apa…”
Tak ada jawaban.
Hanya keheningan kamar kontrakan kecil itu yang menegaskan bahwa hidupnya kini tidak mengenal pilihan yang mudah.
⸻
Lusi Masuk Tanpa Ketuk
Pintu kamar Anna terbuka tiba-tiba.
“Gue bawa makan,” kata Lusi sambil mengangkat dua bungkus nasi kucing. “Lo belum makan dari tadi kan?”
Anna memaksakan senyum. “Belum.”
Lusi duduk di sampingnya. “Nanti kita pikirin pelan-pelan, ya. Kalau kerja susah dicari sekarang, kita cari sampingan dulu. Lo bisa apa? Bisa ngetik cepat? Bisa desain? Bisa jaga toko? Apa pun.”
Anna menggeleng perlahan. “Semua orang butuh pengalaman, Lus. Gue… gue cuma punya semangat. Tapi semangat doang nggak bisa bayar kuliah.”
Lusi menatapnya, kali ini lebih serius. “Yang penting lo jangan mati semangat dulu. Jangan nyerah duluan. Hidup lo bukan cuma untuk semester ini. Bukan cuma untuk ayah lo. Dan bukan buat laki-laki yang bahkan belum pernah lo lihat mukanya.”
Anna tertawa kecil di tengah tangis. “Lo parah banget kalo ngehibur.”
“Tapi lo ketawa,” balas Lusi sambil menyenggol pundaknya.
Sekali lagi, Anna menangis—tapi kali ini lebih lembut, lebih lega. Karena setidaknya… ia tidak sendirian.
⸻
Anna Menatap Malam yang Panjang
Setelah makan, Lusi kembali ke kamarnya.
Anna berdiri di depan jendela. Kota itu tampak samar dari ketinggian lantai dua. Lampu-lampu jalan terlihat seperti titik-titik harapan yang jauh, tak terjangkau.
Ia menghembuskan napas, panjang sekali.
Pikirannya kacau.
Hatinya lelah.
Tapi di balik keputusasaan yang menjeratnya seperti tali yang semakin kencang, ada satu hal yang masih menyala kecil… sangat kecil… tapi tetap bertahan.
Keinginan untuk bertahan hidup.
Ia menatap amplop berisi uang 300 ribu itu.
“Ini… awal gue lagi,” bisiknya.
Kalimat itu rapuh. Namun ada tekad di sana.
Mungkin ia harus bekerja apa saja.
Mungkin ia harus bangun dari nol.
Mungkin dunia tidak akan memberinya belas kasihan.
Tapi Anna bersumpah pada dirinya sendiri:
Ia tidak akan menyerahkan hidupnya hanya karena keadaan memaksa.
Kalau harus bekerja sampai larut malam.
Kalau harus menghemat makan.
Kalau harus berjalan sendirian.
Ia akan lakukan.
Apa pun caranya… ia harus menang melawan nasib buruk yang mengejarnya.