Perjanjian Nenek Moyang 'Raga'' zaman dahulu telah membawa pemuda ' Koto Tuo ini ke alam dimensi ghaib. Ia ditakdirkan harus menikahi gadis turunan " alam roh, Bunian."
Apakah ia menerima pernikahan yang tidak lazim ini ? ataukah menolak ikatan leluhur yang akan membuat bala di keluarga besarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ddie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Firasat
Malam di Koto Tuo sunyi dalam makna yang sebenarnya. Bukan sunyi yang kosong, melainkan sunyi yang penuh—dipenuhi desis angin yang mengalir dari lereng gunung, gemerisik daun rimbun di pepohonan tua, dan bisik aliran sungai kecil di kejauhan.
Tidak ada suara mesin, tidak ada lampu neon, hanya kegelapan yang dipecah samar oleh cahaya bulan sesekali menyelinap dari balik awan.
Di dalam rumah kayu peninggalan nenek buyut itu, kegelapan terasa lebih pekat, lebih tua, seolah menyimpan napas waktu yang telah berhenti berdetak sejak lama.
Di tengah sunyi yang menekan itu, Raga terbangun mendadak. Napasnya patah-patah, tercekik di tenggorokan. Seluruh tubuhnya basah oleh keringat dingin yang membuatnya menggigil. Di luar jendela, angin gunung berdesir lebih kencang, seperti bisikan yang tak hanya menyentuh kulit, tapi merayap masuk sampai ke tulang.
Raga merasa seperti tidak bermimpi, tapi dalam khayalan nyata. Ia berdiri di jembatan tua—jembatan yang pernah ia lewati sebelum kejadian aneh menimpa. Kabut tebal menyelimuti sungai, membungkus segalanya dalam kabut putih keabuan.
Di tengah kabut itu, berdiri tegak sosok perempuan berkerudung kain putih kusam. Wajahnya samar, seperti ditutup bayangan yang lebih gelap dari malam.
Ia tidak mendekat, tidak bergerak. Hanya tangannya perlahan terangkat, jari telunjuknya menunjuk ke arah lain… seakan meminta seseorang untuk datang, atau memperingatkan akan kedatangannya.
Lalu Raga melihatnya:
Siluet seorang perempuan lain melekat dalam pikirannya, —tubuh ramping, rambut terikat rapi, berdiri kaku di ujung jembatan yang berseberangan. Sosok itu tampak asing, terasing, seperti benda yang tidak seharusnya ada di dalam lukisan lama. Hatinya langsung berdesis, tak dapat ia dijelaskan:
Nadira?
Raga terbangun tepat ketika suara perempuan berkerudung itu mengucapkan satu kata, terpotong namun jelas:
“Datang.”
Raga terduduk di tempat tidurnya, memegangi kepalanya yang berdenyut. Mimpi itu terasa bukan sekedar bunga tidur, terasa nyata, terlalu nyata. Lebih nyata dari kayu tempat ia duduk, lebih nyata dari dingin lantai di bawah kakinya.
Dan yang paling mengganggu…
Ia mendengar suara perempuan berkerudung putih tidak jauh darinya, sangat dekat, seolah tepat di belakang telinganya, di ruang yang sama, di udara yang ia hirup berbisik, "Dia datang tapi aku tidak mengundang siapa siapa."
Tiba-tiba, sebuah ketukan pelan terdengar di dari arah pintu kamar membuatnya terkejut “Ga… kamu ndak apa-apa? Ayah mendengar kamu berteriak gelagapan.”Suara ayahnya, berat dan mengantuk penuh kekhawatiran.
Ia membuka pintu, wajahnya pucat diterangi cahaya lampu minyak dari ruang tengah.
“Yah, Raga bermimpi bertemu dengan orang sepertinya bukan berasa dari kampung ini."
Ayahnya menatapnya lamat, sorot matanya berkerlip dalam cahaya redup, ada sesuatu yang ingin ia katakan, sebuah rahasia terpendam… tapi tertahan di ujung lidah.
Sebelum ayah menjawab, bayangan lain muncul di ambang pintu ruang tengah. Angku, dengan sorot mata tajam menembus kegelapan. Wajahnya pahatan kayu tua, penuh garis-garis kehidupan dalam, dan saat ini, penuh dengan kekhawatiran tua terpendam.
“Nak… itu bukan mimpi,” ucapnya lirih serak dan berat seperti gesekan akar, “Itu panggilan.”
Raga menelan ludah, tenggorokannya terasa kering. “Panggilan dari siapa,Ngku…? Dari Aru—”
“Jangan sebut namanya dulu,” potong Angku cepat, tajam. Tangannya terangkat sedikit, sebuah gestur larangan kuno penuh wibawa.
“Dan satu hal harus kamu ketahui:jalur itu tidak cuma memanggil kamu seorang… tapi ada juga orang lain.”
Raga mengerutkan keningnya, hawa dingin mulai menjalar menyelimuti tubuhnya.
“Siapa?”
Angku memejamkan mata menarik ingatan yang jauh dan menyakitkan. “Seorang gadis jauh dari kota besar. Ia belum tahu apa-apa… belum merasakan beratnya, belum melihat wajahnya… tapi sudah ditarik masuk ke lingkar perjanjian.”
Raga merasa darahnya seakan mengalir turun ke kaki, meninggalkan kepalanya yang kosong dan ringan.
“Kenapa dia? Apa hubungannya denganku?”
Angku menghela napas panjang, berat, napas yang seperti menanggung beban seratus tahun masa lalu, " Apakah kamu pernah dekat dengan seseorang?"
Raga mengernyit tajam, alisnya terangkat beberapa senti ingatannya langsung kepada gadis cantik berambut panjang yang selalu tersenyum penuh perhatian, tapi ia tidak yakin, " Hanya teman sekantor angku, tapi...
“Dalam tradisi lama," angku memotong cepat, Bila sang penerima pertama menolak takdirnya, menutup mata dari panggilan… perjanjian akan mencari pengganti. Jalan akan membelok, mencari tanah lunak untuk ditanami benih yang sama.”
Wajah raga semakin berkerut lingkaran peta buta, rasa penasaran semakin memuncak… "siapa nama gadis itu, Ngku?”
Angku membuka matanya perlahan. Raga melihat bukan seorang laki laki tua, kakeknya, tetapi bayangan dari semua tetuamenjaga rahasia kampung koto tuo.
Angin berdesir di luar jendela mendadak berhenti sepenuhnya, senyap total, seakan seluruh malam, pepohonan, dan roh-roh yang berdiam di Koto Tuo ikut menahan napas, mendengarkan saat Angku menyebut namanya.
\=\=\=
Pagi itu, mata Nadira terlihat bengkak. Bukan karena menangis—tapi karena tidak tidur. Setelah pesan misterius dari A.R masuk semalam, ia tidak bisa memejamkan mata lagi.
Di meja kos yang penuh sticky notes kerjaan, kini ada satu hal baru: print out koordinat yang ia copy dari pesan aneh itu. Angkanya panjang, tidak familiar. Tapi setelah ia tancapkan pada peta digital, titik itu jatuh ke sebuah daerah sunyi di Sumatra Barat… jauh dari kota.
"Raga beneran pulang ke kampung?" gumamnya. Tapi kenapa koordinat itu dikirim ke dia? Dan kenapa pesannya berisi larangan?
Ia akhirnya mengambil keputusan harus mencari tahu alamat Raga langsung dari HRD.
\=\=\=
Koridor kantor itu masih pagi dan sepi. Nadira berdiri di depan pintu HRD, jantungnya menggedor dada. Ia ragu sejenak—takut dianggap terlalu peduli, atau lebih buruk: dikira mencari perhatian Raga.
Tapi rasa penasarannya sudah melewati batas aman. Ia mengetuk.
Bu Rani, kepala HRD, mengangkat wajah tersenyum sopan. “Nadira? Ada yang bisa dibantu?”
“Saya… mau tanya soal Raga, Bu.” Ia berusaha menjaga nada suaranya netral.
Senyum Bu Rani langsung hilang. Seolah nama itu membawa angin dingin ke ruangan.
“Kamu juga?”
“Lho, maksud Ibu ‘juga’ apa?”
Bu Rani menelan ludah meraih map cokelat di sampingnya. Map itu sudah terbuka sebelumnya… seperti seseorang juga mencarinya.
“Kemarin Pak Bram datang bertanya soal Raga. Tadi malam dia bahkan telepon Ibu… suaranya panik. Katanya ada ‘yang’ ngikut ke rumah.”
“Bu… apa Ibu percaya begituan?”
“Ibu tidak percaya hal hal supranatural, Nadira, "Bu Rina mendekat, menurunkan suaranya. “Tapi sewaktu Pak Bram menelpon, Ibu seperti mendengar suara lain di belakangnya.”
“Suara apa?”
“Ibu tidak tahu, “seperti desahan lengkingan panjang."
Gadis itu terdiam kaku, bibirnya mengatup
“Ini alamat darurat keluarga Raga. Ibu sebenarnya tidak boleh memberikannya, tapi… situasi kalian berdua membuat Ibu semakin takut.”
Nadira membuka map itu perlahan. Tangannya gemetar saat membaca:
Nagari Koto Tuo, Kecamatan ——, Sumatra Barat.
Ibu Rani menatapnya lamat. "Nadira… sebenarnya ibu ingin mengatakan kemarin, tapi Ibu takut membuatmu khawatir.”
Nadira menahan napas yang tersangkut di kerongkongannya, “Ada apa, Bu?”
“Amplop itu…”Ibu Rani menunduk, suaranya pecah.“…itu bukan pertama kali muncul.”
Deg.
“Apa maksud ibu?”
“Dua minggu ini,” ujarnya, “ada tiga amplop dengan inisial A.R. Muncul di tiga tempat berbeda, diruang Ibu, di atas meja resepsionis, dan di pantry.”
“Isinya?”
“Sama.”Napas Ibu Rani memburu.“Hanya titik koordinat. Dan semuanya menunjuk ke daerah pedalaman Sumatra. Tapi yang paling aneh adalah—”Tatapannya berubah ketakutan.
Nadira menegang.“Maksud ibu…?”
“CCTV merekam lemari terbuka sendiri, amplop jatuh sendiri, meja resepsionis kosong saat amplop itu muncul.”
Dan kalimat terakhir Ibu Rani membuat tengkuk Nadira terasa seperti dipukul es:
“Setiap amplop itu muncul… tepat di pukul 02.15. Waktu yang sama saat kamu bilang mimpi datang.”
Nadira mundur selangkah, wajah nya berubah pucat .
“Bu… A.R. itu siapa sebenarnya?”
"Sekali lagi Ibu katakan tidak tahu. Tapi yang jelas… amplop itu bukan untuk perusahaan tapi untukmu…”
" Untuk saya ? "
Bu Rani terdiam lama. Sangat lama.