NovelToon NovelToon
Ranjang Kosong Memanggil Istri Kedua

Ranjang Kosong Memanggil Istri Kedua

Status: sedang berlangsung
Genre:Kaya Raya / Beda Usia / Selingkuh / Cinta setelah menikah / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:3.5k
Nilai: 5
Nama Author: my name si phoo

Di balik kemewahan rumah Tiyas, tersembunyi kehampaan pernikahan yang telah lama retak. Rizal menjalani sepuluh tahun tanpa kehangatan, hingga kehadiran Hayu—sahabat lama Tiyas yang bekerja di rumah mereka—memberinya kembali rasa dimengerti. Saat Tiyas, yang sibuk dengan kehidupan sosial dan lelaki lain, menantang Rizal untuk menceraikannya, luka hati yang terabaikan pun pecah. Rizal memilih pergi dan menikahi Hayu, memulai hidup baru yang sederhana namun tulus. Berbulan-bulan kemudian, Tiyas kembali dengan penyesalan, hanya untuk menemukan bahwa kesempatan itu telah hilang; yang menunggunya hanyalah surat perceraian yang pernah ia minta sendiri. Keputusan yang mengubah hidup mereka selamanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 21

Pagi harinya, matahari di Bali memancarkan cahaya lembut menembus jendela kamar VVIP, menerangi ruangan dengan kehangatan.

Perlahan, Hayu membuka matanya. Ia mengerjap beberapa kali, pandangannya yang masih lemah menyapu seisi kamar mewah itu.

Ia melihat monitor medis, selang infus, dan perban di pelipisnya.

Semua terasa asing, namun tidak lagi menakutkan seperti kemarin.

Pandangannya kemudian tertuju pada kursi di samping ranjang.

Di sana, Rizal tertidur pulas. Pria itu bersandar kaku di kursi tunggu, tubuhnya membungkuk, dengan tangan Hayu berada dalam genggaman eratnya.

Wajah Rizal tampak lelah, dengan garis-garis kelelahan dan sedikit luka lebam yang belum sepenuhnya hilang akibat setruman.

Hayu menatapnya lama. Ia tidak ingat siapa pria ini, tetapi ada rasa familiar yang menenangkan dari wajahnya yang damai saat tidur.

“Kenapa dia masih di sini?” gumam Hayu lirih.

Meskipun ia tidak mengingatnya sebagai suami, ia tahu pria ini adalah orang yang paling cemas menunggunya sadar.

Kemarin, ia telah mendengarkan cerita panjang tentang Nasi Goreng Kampung dan Cumi Asam Manis yang diceritakan Rizal.

Cerita-cerita itu terasa seperti kisah dari buku, bukan dari hidupnya sendiri.

Hayu merasakan tenggorokannya kering. Ia ingin minum.

Ia mencoba menarik tangannya dari genggaman Rizal, tetapi genggaman itu begitu kuat.

Setelah beberapa kali mencoba, ia berhasil melepaskannya dengan hati-hati agar tidak membangunkan Rizal.

Di nakas samping ranjang, ada segelas air putih. Hayu merentangkan tangannya yang terasa lemah dan kaku. Ia berusaha keras meraih gelas itu.

Ting!

Jari-jari Hayu hanya menyentuh tepi gelas.

Karena tangannya masih terlalu lemah, gelas itu tergelincir, menghantam lantai keramik dengan keras, dan pecah berkeping-keping.

Suara pecahan gelas itu memecah keheningan pagi.

Rizal tersentak bangun, seketika melompat dari kursi.

Ia menoleh ke arah Hayu dengan wajah panik, lalu pandangannya jatuh pada pecahan gelas di lantai.

“Sayang! Kamu tidak apa-apa?” tanya Rizal, segera meraih tangan Hayu, memeriksanya, dan memastikan tidak ada luka.

Hayu hanya bisa menggelengkan kepalanya dengan wajah ketakutan dan rasa bersalah.

Rizal menghela napas lega, lalu tersenyum

lembut, meskipun matanya masih memancarkan kekhawatiran.

“Sstt, jangan takut. Tidak apa-apa, Sayang. Biar Mas bersihkan.”

Rizal menekan bel perawat. Ia kembali ke sisi ranjang, meraih tangan Hayu yang kini kembali gemetar.

“Kamu mau minum, ya? Kenapa tidak panggil Mas saja? Aku di sini untukmu,” ucap Rizal lembut, mencium punggung tangan Hayu.

Tak lama, Suster Ayu masuk dengan cepat, melihat pecahan gelas, dan segera mengambil alat pembersih.

Setelah Suster Ayu membersihkan lantai, Rizal mengambil gelas plastik tertutup, menyodorkannya pada Hayu.

“Minum pelan-pelan. Maaf, aku tertidur. Aku janji, aku tidak akan tidur lagi,” bisik Rizal.

Hayu menatap Rizal, memegang gelas itu dengan kedua tangan.

Ia tidak mengingat pria ini, tetapi ketulusan dan perhatiannya terasa begitu nyata.

“Terima kasih,” ucap Hayu pelan.

“Sama-sama, Ratu-ku,” balas Rizal, kembali menggenggam tangan Hayu erat-erat, bertekad untuk tidak melepaskannya lagi. “Istirahatlah lagi. Mas akan tetap di sini.”

Setelah selesai minum, Hayu merasa sedikit lebih tenang.

Pecahan gelas itu sudah dibersihkan, dan kehangatan tangan Rizal membuatnya merasa aman, meskipun memorinya masih kosong.

Ia memberanikan diri untuk kembali mengajukan pertanyaan.

“Mas Rizal,” panggil Hayu.

Rizal, yang sedang menatap istrinya dengan penuh perhatian, segera menyahut,

“Ya, Sayang?”

“Kemarin kamu banyak cerita soal masakan. Katanya aku sering membuat Nasi Goreng Kampung dan Cumi Asam Manis. Benarkah?”

Rizal tersenyum, matanya memancarkan kenangan indah.

Ia kembali duduk di kursi, tangannya masih menggenggam Hayu.

“Tentu saja benar, Sayang. Bahkan, Cumi Asam Manis itu adalah kode rahasia kita. Aku melamarmu, dan aku bilang, kalau kamu memasak Cumi Asam Manis saat aku pulang, itu artinya kamu menerima lamaranku.”

Wajah Hayu tampak penasaran. “Lalu?”

“Lalu? Tentu saja, saat aku pulang malam itu, seluruh rumahku dipenuhi aroma Cumi Asam Manis yang paling lezat di dunia. Aku tahu saat itu juga, kamu memilihku.”

Rizal mencium punggung tangan Hayu. “Jujur saja, Yu. Aku tergoda oleh ketulusanmu, dan aku tergoda oleh masakanmu. Siapa yang bisa menolak wanita yang memasak dengan cinta seperti itu?”

Pipi Hayu sedikit merona mendengar pujian itu.

Meskipun ia tidak ingat momennya, ia merasa terharu dengan cerita Rizal.

Hayu memandang wajah tampan suaminya, meneliti setiap lekuk dan garis wajah yang kini tampak tulus dan penuh kasih.

Rizal adalah pria yang berkarisma, wibawanya terlihat jelas meskipun sedang berada dalam balutan baju santai di rumah sakit.

“Apakah kamu benar suamiku?” tanya Hayu lagi, kali ini suaranya lebih mantap, mencoba meyakinkan hatinya.

“Maksudku, kamu terlihat seperti orang penting, dan aku bahkan tidak ingat siapa aku. Aku hanya ingat dari ceritamu, aku dulunya adalah pembantumu.”

Rizal menghela napas, menyadari bahwa keraguan Hayu masih kuat.

“Dengarkan aku, Sayang,” ucap Rizal, nada suaranya berubah serius.

“Dulu kamu memang bekerja untukku, tetapi itu semua di masa lalu. Kamu jauh lebih berharga dari sekadar status. Dan ya, aku adalah suamimu. Dan kamu, kamu adalah istriku, Ratu di rumah ini.”

Rizal menganggukkan kepalanya, lalu segera mengeluarkan ponselnya yang tergeletak di nakas.

Ia menggeser layar dan membuka sebuah folder khusus.

Ia menunjukkannya kepada Hayu. Layar ponsel itu menampilkan foto dan video pernikahan mereka yang baru terjadi dua hari lalu.

Hayu melihat foto dirinya yang mengenakan gaun dusty pink yang anggun, riasan tipis, tersenyum malu-malu di samping Rizal yang gagah mengenakan jas berwarna senada.

Ada juga foto saat Rizal memasangkan cincin emas putih di jari manisnya, serta video singkat saat Rizal mengucapkan ijab kabul dengan mantap.

Di salah satu klip video, terdengar Rizal berbisik setelah mencium keningnya:

“Terima kasih sudah memilihku, Sayang. Sekarang, kita resmi.”

Melihat semua bukti visual itu, air mata Hayu menetes.

Ia tidak ingat, tetapi ia melihatnya. Ia melihat kebahagiaan yang tulus terpancar dari mata mereka berdua dalam foto itu.

Kenyataan bahwa pria setampan dan sekaya Rizal berjuang keras untuk membuktikan pernikahan mereka membuat dinding keraguan Hayu perlahan runtuh.

“Aku tidak ingat senyum itu,” bisik Hayu, menunjuk ke arah foto pernikahannya.

Rizal mematikan ponselnya, kembali menggenggam tangan Hayu, dan menatapnya dengan tatapan lembut.

“Tidak apa-apa, Sayang. Kita akan membuat senyum itu lagi. Aku akan memastikan, saat kamu sembuh nanti, kamu akan punya lebih banyak senyum indah daripada kenangan yang hilang.”

Tak lama setelah Hayu dan Rizal mengobrol, Dokter Satya masuk ke ruangan VVIP didampingi seorang perawat untuk melakukan pemeriksaan rutin.

Dokter memeriksa kondisi perban di kepala Hayu, memeriksa refleks, dan menanyakan beberapa pertanyaan sederhana.

“Alhamdulillah, Ibu Hayu. Tanda vital Anda sangat stabil. Gegar otak ringan yang dialami sudah menunjukkan perbaikan yang signifikan, dan Anda tidak lagi menunjukkan gejala parah. Secara fisik, Anda sudah boleh meninggalkan rumah sakit hari ini juga,” ucap Dokter Satya sambil tersenyum meyakinkan.

Rizal menghela napas lega yang luar biasa.

“Syukurlah, Dok. Terima kasih banyak.”

Dokter Satya menoleh ke arah Rizal, raut

wajahnya kembali serius.

“Namun, Bapak Rizal, untuk memulihkan memori Ibu Hayu, kita tidak bisa hanya mengandalkan obat-obatan. Amnesia Retrograde sering kali bisa dipicu oleh trauma atau lingkungan yang familier. Saran saya, coba ajak Ibu Hayu ke tempat-tempat yang pernah kalian kunjungi bersama. Mungkin saja di sana Hayu bisa mengingat semuanya.”

Dokter Satya memberikan tatapan penuh arti.

“Bahkan, jika keberatan, Bapak bisa mencoba membawanya kembali ke lokasi sebelum insiden terjadi. Rekonstruksi singkat mungkin bisa membantu otak Ibu Hayu membuka kembali ingatan yang terkunci.”

Rizal terdiam sejenak, mencerna usulan yang berisiko itu. Ia menganggukkan kepalanya dengan mantap.

“Baik, Dokter. Saya akan melakukannya.”

Di luar kamar, Rizal segera menghubungi Riska.

“Riska, siapkan tim keamanan dan medis. Kita akan melakukan rekonstruksi,” perintah Rizal dengan nada dingin.

“Rekonstruksi, Pak? Maksud Bapak kembali ke tebing itu?” tanya Riska, suaranya terdengar cemas.

“Ya. Dokter menyarankan trauma trigger. Aku harus melakukannya, Riska. Tapi kali ini, tidak boleh ada yang salah. Aku ingin tim keamanan mensterilkan area, dan tim medis harus berjaga di dekat lokasi. Dan yang terpenting, jangan sampai Hayu tahu rencana ini,” tegas Rizal.

“Siap, Pak Rizal. Saya akan siapkan semuanya. Kita akan mulai dalam dua jam.”

Setelah perawat selesai melepas selang infus dan memberikan petunjuk obat-obatan yang harus diminum.

Rizal membantu Hayu mengenakan pakaian yang sudah disiapkan Riska.

Rizal terlihat protektif, tidak membiarkan Hayu melangkah sendiri.

“Kita mau ke mana, Mas?” tanya Hayu.

“Kita pulang, Sayang. Tapi sebelum itu, ada satu tempat indah di Bali yang ingin sekali aku tunjukkan padamu. Tempat itu sangat spesial untuk kita,” jawab Rizal, memaksakan senyum yang meyakinkan.

Mereka turun ke lobby rumah sakit, didampingi oleh dua petugas keamanan pribadi yang kini menyamar sebagai sopir.

Setelah memastikan Hayu meminum obatnya di mobil, Rizal mulai melajukan mobilnya dengan kecepatan yang stabil, menjauh dari keramaian kota Denpasar menuju jalanan tebing yang sepi, tempat insiden mengerikan itu terjadi.

Hayu melihat pemandangan tebing curam dan pepohonan rimbun.

Perasaan aneh mulai menyeruak, seperti ada déjà vu yang samar, namun disertai rasa dingin yang tidak menyenangkan.

Rizal menghentikan mobilnya di tempat yang sama, tepat di mana dua hari lalu ia diserang dan Hayu diculik.

Jalanan itu tampak sepi, namun di balik semak-semak, tim keamanan dan ambulans sudah bersiaga penuh, tanpa terlihat oleh Hayu.

Rizal mematikan mesin mobil dan menghela napas, memainkan perannya.

“Sial! Sepertinya mobilnya mogok, Sayang. Sebentar, Mas cek mesinnya dulu,” ucap Rizal, turun dari mobil dan berjalan ke kap depan.

Hayu melihat punggung Rizal yang kini terlihat rentan.

Ketakutan yang samar yang ia rasakan sepanjang perjalanan tiba-tiba memuncak.

Tiba-tiba, dari balik semak-semak, muncul dua sosok bertopeng.

Mereka mengenakan pakaian serba hitam, persis seperti deskripsi Rizal kepada polisi.

Kedua pria itu bergerak cepat, salah satunya membawa tongkat setrum.

Rizal, sesuai rencana, membalikkan badan dan

menunjukkan ekspresi terkejut yang meyakinkan.

“Mas Rizal, awas!!”

Hayu menjerit panik. Meskipun ia tidak mengingat apa pun, instingnya sebagai istri yang melihat suaminya dalam bahaya langsung bekerja.

Seluruh tubuhnya dipenuhi adrenalin.

Tanpa berpikir panjang, Hayu membuka sabuk pengaman dan melompat keluar dari mobil.

Ia berlari ke arah Rizal, dan menarik tubuh suaminya menjauh dari jangkauan pria bertopeng itu.

Ia memeluk tubuh suaminya erat-erat.

“Jangan lukai suamiku!” teriak Hayu, suaranya parau dan penuh ketakutan.

Pria bertopeng kedua, yang memegang kain, melangkah maju.

Hayu melihat gerakan itu, dan ingatan akan bau kimia yang mematikan, rasa sakit saat dicekik, dan gelapnya jurang tiba-tiba menyerang otaknya seperti ledakan.

“Jangan bius aku!!”

Hayu memejamkan mata, isakannya pecah. Ia kembali merangkul Rizal, gemetar hebat, namun kali ini ada yang berbeda, ada kilasan cepat tentang jatuh, ombak, dan wajah Tiyas yang sinis.

Rizal yang terkejut karena Hayu bergerak spontan melampaui rencana, segera membalas pelukan istrinya, memunggungi pria bertopeng (yang sebenarnya adalah tim keamanan yang disamarkan).

“Hayu! Sayang! Tenang!” Rizal memeluk kepala Hayu, mencoba menenangkan.

Melihat Hayu yang berteriak ‘Jangan bius aku’ dan memeluk Rizal, tim keamanan menyadari rencana itu sukses.

Mereka segera menjatuhkan peralatan mereka dan berpura-pura melarikan diri, bersembunyi di balik semak-semak.

Hayu masih menangis keras di pelukan Rizal.

“Aku ingat! Mereka membuangku! Aku jatuh, Mas! Dia melakukannya! Tiyas! Tiyas!” isak Hayu.

Rizal memegang kedua bahu Hayu, menatap matanya yang basah.

“Tiyas, Sayang? Kamu ingat Tiyas? Apa lagi yang kamu ingat?” tanya Rizal, suaranya bergetar antara rasa lega dan cemas.

Hayu menatap Rizal dengan air mata yang masih mengalir, tetapi kini, ada tatapan pengakuan di matanya.

“Aku ingat kalau aku istrimu, Mas. Aku ingat Cumi Asam Manis...”

Rizal tersenyum penuh haru. Trauma trigger itu berhasil. Hayu mengingat semuanya.

“Syukurlah, Sayang. Syukurlah!” Rizal memeluk Hayu lagi, mencium puncak kepalanya dengan penuh syukur.

Di balik semak-semak, Riska yang menyaksikan adegan itu, menghela napas lega.

Ia segera memberikan isyarat kepada tim medis yang siaga untuk bersiap.

Perjuangan panjang mereka akhirnya membuahkan hasil.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!