Maya, seorang mualaf yang sedang mencari pegangan hidup dan mendambakan bimbingan, menemukan secercah harapan ketika sebuah tawaran mengejutkan datang: menikah sebagai istri kedua dari seorang pria yang terlihat paham akan ajarannya. Yang lebih mencengangkan, tawaran itu datang langsung dari istri pertama pria tersebut, yang membuatnya terkesima oleh "kebesaran hati" kakak madunya. Maya membayangkan sebuah kehidupan keluarga yang harmonis, penuh dukungan, dan kebersamaan.
Namun, begitu ia melangkah masuk ke dalam rumah tangga itu, realitas pahit mulai terkuak. Di balik fasad yang ditunjukkan, tersimpan dinamika rumit, rasa sakit, dan kekecewaan yang mendalam. Mimpi Maya akan kehidupan yang damai hancur berkeping-keping. Novel ini adalah kisah tentang harapan yang salah tempat, pengkhianatan emosional,Maya harus menghadapi kenyataan pahit bahwa hidup ini tidak semanis doanya, dan bimbingan yang ia harapkan justru berubah menjadi jerat penderitaan.
kisah ini diangkat dari kisah nyata.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadhira ohyver, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21
Keesokan harinya, sore menjelang. Maya sedang duduk termangu di kamar penginapan yang hampa, saat ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Riski masuk, memecah kesunyian yang sudah menjadi teman setianya.
[Dari Riski]:
Siap-siap ya, May. Nanti kita makan bersama. Masih di jalan pulang dari desa wisata.
Maya membaca pesan itu, bahunya merosot drastis. Rasanya seperti undangan yang tak bisa ditolak, sebuah hukuman emosional yang harus dijalani. Meskipun ada perasaan enggan yang memuncak di hati, Maya tetap beranjak untuk bersiap-siap, menuruti perintah tanpa daya.
Ia menunggu. Dua puluh menit terasa seperti keabadian. Akhirnya, suara klakson mobil Riski yang familier terdengar, sebuah panggilan yang terasa dingin. Dengan langkah yang terasa gontai dan berat, Maya berjalan keluar dari penginapan dan langsung naik ke mobil. Seperti biasa, Umma Fatimah sudah duduk manis di depan, di kursi kehormatan.
Kali ini rasanya lebih sakit lagi. Karena tidak ada anak-anak di antara mereka, tidak ada penyangga, tidak ada pengalih perhatian. Maya benar-benar seperti obat nyamuk di antara Riski dan Umma Fatimah.
Mereka tiba di sebuah rumah makan sederhana. Maya turun bersamaan dengan Umma Fatimah, namun secara naluriah memilih berjalan di belakang, memberikan ruang bagi Umma Fatimah untuk berdampingan mesra dengan Riski. Di dalam restoran, mereka memilih meja. Riski dan Umma Fatimah duduk berhadapan, tatapan mata mereka bertemu, penuh kehangatan. Maya mengambil tempat di samping Umma Fatimah, di kursi pinggir, seolah-olah ia hanya tamu tak diundang.
Ada sapaan singkat, basa-basi yang terasa seperti formalitas hampa. Kemudian, percakapan mengalir deras di antara Riski dan Umma Fatimah. Mereka bercerita tentang masa lalunya, masa-masa indah yang hanya mereka berdua tahu, tawa renyah mereka memenuhi ruangan, melupakan Maya yang juga ada di sana, di meja yang sama.
Maya makan dalam diam, setiap suapan terasa hambar, bagai menelan pasir. Ia mati-matian menahan air matanya agar tidak jatuh, mengepalkan tangan di bawah meja. Tau begini, diriku menolak untuk ikut makan bersama. Benar-benar menyakitkan."
Sore itu adalah siksaan nyata, sebuah pengingat brutal bahwa di mata dunia, ia hanyalah pelengkap yang tak terlihat, sementara Umma Fatimah adalah pusat dari semesta Riski.
.....
Setelah selesai makan bersama, suasana di mobil terasa kembali dingin dan hampa bagi Maya. Obrolan yang hangat tadi terhenti di tengah jalan. Mereka bertiga pun pulang, dan seperti skenario yang sudah tertulis, Maya diantarkan kembali ke penginapan. Riski tidak berkata apa-apa, hanya menurunkan Maya di depan pintu masuk, lalu mobilnya melaju pergi, meninggalkan Maya sendirian lagi.
Malam pun tiba. Keheningan mencekam penginapan. Namun, sekitar pukul sepuluh malam, Riski datang. Ia masuk ke kamar penginapan Maya, bersikap seperti biasanya—seolah adegan makan malam tadi tidak pernah terjadi, seolah ketiadaan keadilan itu adalah hal yang wajar. Malam itu, Riski tidur di sana, di sisi Maya, menjalankan gilirannya yang pincang.
............
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali setelah subuh, Riski pulang sejenak ke rumahnya dan Umma Fatimah. Namun, tidak lama kemudian, ia datang lagi ke penginapan Maya.
"Siap-siap, May," ujar Riski, ada nada berbeda dalam suaranya. "Kita akan berkunjung ke rumah keluarga kita sore ini. Mereka ingin bertemu dengan kamu, ingin mengenal kamu."
Hati Maya sedikit terkejut, namun ia menurut. Mereka pun akhirnya sampai di rumah keluarga Riski tersebut. Saat masuk, Maya disambut dengan pemandangan yang mengherankan. Beberapa anggota keluarga Riski, seperti sepupu dan juga tante dari Riski, menyambut Maya dengan antusias dan hangat, seolah ia adalah anggota keluarga yang sudah lama dinantikan.
Mereka sama sekali tidak membedakan Maya dan Umma Fatimah. Saat mereka memeluk Umma Fatimah, Maya pun dipeluk dengan hangat. Mereka bukan hanya mengajak bercerita Umma Fatimah, Maya pun sama, diajak bicara dan berinteraksi. Maya merasakan kehangatan yang tulus di tengah mereka, kehangatan yang sudah lama ia rindukan.
Bahkan ada salah satu tante Riski yang menurutnya bersikap terlalu berlebihan kepada Maya, saking ramahnya. Pertama kali Maya bersalaman dengannya, ia menarik lembut tangan Maya untuk duduk di sebelahnya, seolah Maya adalah kerabat lama yang sudah lama hilang. Maya yang canggung, tapi hatinya menghangat, tetap menurut dan duduk di sebelah tante Riski tersebut, merasakan secercah harapan di tengah dinginnya takdir yang ia jalani.
Setelah obrolan singkat yang terasa hangat itu, tibalah sesi foto bersama. Kamera disiapkan, dan suasana riang tiba-tiba berubah tegang bagi Maya, bagai pisau yang siap mengiris hati.
Tangan Maya ditarik paksa, namun lembut, oleh tante Riski yang antusias. Tindakan tak terduga itu menuntunnya duduk tepat di sebelah Riski, di kursi kehormatan di ruang tamu yang penuh sesak. Riski hanya tersenyum canggung. Umma Fatimah diapit oleh dua sepupu Riski yang lain, sedikit jauh dari pusat perhatian. Tangan Maya ditahan kuat-kuat di posisi itu, memastikan ia tidak bergerak menghindar dari posisi terlarang itu. Sesi foto bersama pun selesai dalam beberapa jepretan kamera, tapi meninggalkan bekas luka yang menganga di hati Maya.
Saat sesi usai, perasaan tidak enak langsung menjalari hati Maya. Ia merasakan aura dingin saat berpapasan dengan Umma Fatimah. Meskipun tertutup cadar, Maya bisa melihat gestur tubuh Umma Fatimah yang kaku, penuh ketegangan, seperti gunung es yang siap runtuh, matanya memancarkan amarah yang tersembunyi.
Maya yakin, setelah ini pasti akan ada teguran. Dan firasatnya benar.
Di tengah tawa keluarga yang ramai, ponsel Maya bergetar, notifikasi pesan masuk. Sebuah pesan singkat dari Umma Fatimah, kata-katanya setajam belati, menusuk tepat di jantung:
[Dari Ummu Fatimah]:
Maya, saya tidak suka perlakuan kamu tadi. Kamu tidak bisa menjaga perasaan saya. Harusnya kamu tahu posisi.
Hati Maya berdebar-debar, amarah dan rasa sakit bercampur aduk menjadi badai yang siap meluap. Ingin sekali ia menjeritkan ketidakadilan, menumpahkan semua yang dirasakannya, tapi ia berusaha sekuat tenaga menahannya, mengepalkan jari-jarinya di balik gamis, kukunya menancap di telapak tangan. Ia tidak ingin merusak kehangatan keluarga yang baru ia rasakan.
Di dalam hati, monolog pilu membanjiri benaknya. "Jadi benar? Umma Fatimah tidak sepenuh hati rela dimadu." Hanya karena melihat Maya duduk di samping suaminya, tepat di depan matanya, Umma Fatimah sudah seperti orang yang kehilangan kewarasannya, menunjukkan egoismenya yang nyata, kekuasaannya yang absolut.
Lalu bagaimana dengan Maya? Yang setiap hari melihat interaksi Riski dan Umma Fatimah di mobil, tawa renyah mereka, sentuhan kecil, seolah dunia hanya milik berdua? Mereka yang selalu melekat, berdampingan atau berhadapan, tanpa memikirkan perasaan Maya.
Maya menahan gejolak emosinya, memilih untuk tidak membalas pesan tersebut. Ia memaksakan senyum, melanjutkan obrolan dengan anggota keluarga Riski yang lain, pura-pura tuli akan pesan itu. Ia tidak peduli dengan Umma Fatimah yang melihatnya dari sudut mata, hatinya kini sudah terlalu penuh dengan rasa sakit, kekecewaan, dan tekad untuk tidak lagi diam dalam ketidakadilan yang membara ini.
Bersambung...