"Berapa uang yang harus saya keluarkan untuk membeli satu malam mu?"
Erick Davidson, pria tajir dengan sejuta pesona, hendak menjebak seorang gadis yang bekerja sebagai personal assistan nya, untuk jatuh ke dalam pelukannya.
Elena cempaka, gadis biasa yang memiliki kehidupan flat tiba-tiba seperti di ajak ke roler coster yang membuat hidupnya jungkir balik setelah tuan Erick Davidson yang berkuasa ingin membayar satu malam bersama dirinya dengan alasan pria itu ingin memiliki anak tanpa pernikahan.
Bagaimana kisah cinta mereka? ikuti bersama!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Park alra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
GCTE | Bab 07
Akhir pekan tiba, tepat di mana orang-orang yang selalu di sibukkan oleh pekerjaan mereka bisa bersantai satu hari penuh.
Itupun yang kini di lakukan dua perempuan bersahabat lengket sejak SMA, Dea dan Elena memutuskan untuk menghabiskan hari libur mereka dengan menonton drama Korea di laptop, kebetulan yang sedang mereka tonton kali ini adalah tentang drama keluarga dengan bumbu-bumbu scene komedi di dalam nya, membuat perut mereka seakan di kocok hingga terus saja tertawa, di temani oleh berbagai macam makanan ringan yang sebelumnya mereka beli di minimarket terdekat.
"Hahaha lucu banget, gak kuat." seru Dea dengan ke bar-barannya, lihat saja posisi duduk gadis itu, kaki di tekuk satu layaknya preman dengan sebungkus ciki di tangan belum lagi suara tertawa nya yang membahana membuat suasana ramai meski hanya mereka berdua yang ada di sana.
Sementara lihatlah temannya. Elena seperti tak punya semangat hidup, meski melihat tawa Dea yang terbahak-bahak namun Elena masih tetap diam, seakan scene komedi yang di tunjukkan layar persegi itu tidak lah lucu sama sekali, padahal aktor yang sedang berperan di drama itu adalah aktor kesukaannya.
Dea menyadarinya, ia melirik ke arah sang sahabat lantas berdecak. "Oh ayolah Elen, sampai kapan kau akan diam terus? lihatlah dia akan oppa kesayangan mu, setidaknya tersenyum lah," ujar gadis itu berguyon.
Elena menengok kepadanya, memandang Dea dengan tatapan tak minat, lalu tertawa datar seperti di paksakan.
"Ha ... ha .. ha .. ha."
Krik! krik! suasana mendadak hening, Dea mengerjap beberapa kali lalu menepuk jidatnya sendiri. "Ya ampun, bahkan kuntilanak aja insecure dengar suara ketawa kamu."
"Aku gak bersemangat Dea." Elena mengurucutkan bibir. Hanya kepada Dea dia bisa mengungkapkan isi hatinya.
"Ck, ck kamu jelek banget kalau cemberut gitu."
Dea kemudian nampak berfikir serius lalu seperti ada sebuah lampu terang yang keluar dari kepalanya dia berseru gembira. "Aha, aku punya ide, mending kita ke mall aja yuk. Shoping shoping, sekali-kali manjain diri, hirup udara dia mall biar gak suntuk mulu."
Belum sempat Elena menyahut ucapnya, suara dering ponsel mengagetkan mereka, kedua nya menoleh bersamaan ke arah benda pipih di atas meja milik Dea yang ternyata bergetar.
"Ada telpon, aku angkat dulu ya." seru Dea dan Elena hanya mengangguk sebagai tanggapan.
Setelah itu tak dihiraukannya lagi suara bising- bising di kuping, Elena terpaku pada kenangan masa lalu nya bersama Vicky, hingga tak mendengar percakapan yang terjadi di drama yang sedang mereka tonton atau betapa riangnya Dea yang sedang mengobrol dengan seseorang di seberang telepon. Hanya hening, Elena memejamkan kelopak mata nya, berharap sesak di dada kini menghilang seluruhnya karena dia tak ingin merasakannya lagi.
"Elena." tepukan pelan menyapa punggungnya, gadis itu berbalik, tahu-tahu Dea sudah ada di hadapannya dengan ponsel yang masih berada di tangan.
"Ya?" Elena hanya menyahut pelan, Dea geleng-geleng kepala melihat betapa sahabatnya ini seperti tak punya gairah hidup. Katanya saja mau move on, tapi apa ini? haish! Dea di buat pusing sendiri.
"Reza mengajakku keluar, kau mau ikut?" ujar Dea menawarkan.
Sesaat diam, Elena menyahut. " Dan menjadi obat nyamuk di antara kalian?"
Reza, adalah rekan Dea di tempat kerja, sahabatnya itu sering kali bercerita tentang laki-laki ini dan Elena sudah menebak jika mereka sedang dalam masa fase pendekatan, terlihat dari betapa seringnya Reza mengajak jalan Dea bahkan sampai menjemputnya langsung ke drom mereka.
"Ya daripada kamu anyep di sini, kan gak apa-apa sekalian ikut." seru Dea yang sudah beranjak untuk bersiap.
"Gak deh, aku gak mau ngeganggu ngedate kalian nanti. Mending kau pergi sendiri."
"Ish, siapa juga yang ngedate cuma jalan biasa kok." terlihat Dea yang tersipu malu-malu, Elena geleng-geleng kepala, temannya itu masih saja mengelak.
"Gak apa-apa nih kamu sendiri?" tanya Dea lagi yang kini sudah rapi mengambil tas juga ponselnya. Elena kadang terkagum betapa cepatnya Dea bersolek diri, tidak seperti dirinya yang bahkan memerlukan banyak waktu di depan kaca.
"Iya tidak apa-apa. Titip salam aja sama Reza, jangan ngegantung anak gadis orang, cepat tembak kalau gak di gorong kucing."
"ELENA!" Dea misuh-misuh merasa tersindir dengan ucapan Elena, sementara gadis itu hanya tertawa- tawa seraya menghindari geplakan maut yang di hadiahi Dea untuknya.
"Ya udah sana pergi, Reza keburu jadi fosil nungguin kamu."
Dea mencebik menaruh kembali bantal di tangannya. "Ya udah, kamu hati-hati ya sendirian di sini."
"Ya, lagipula aku mau berkunjung ke panti, jadi tidak sendiri."
"Itu malah lebih bagus," ucap Dea tersenyum.
"Oke, aku pergi dulu ya bayy." pamit Dea melambaikan tangan sekilas.
"Bayy." sahut Elena melakukan hal sama, "Bilangin ke Reza apa yang tadi ku bilang ya." Elena masih sempat-sempatnya mengejek.
"LENA!" terdengar suara melengking Dea yang menyerukan namanya, Elena kontan terkikik.
Setelah langkah kaki Dea tak terdengar lagi, Elena lantas duduk kembali seraya menghela nafas panjang, membayangkan akan berkunjung ke panti dan melihat senyum anak-anak di sana sontak membuat hatinya menghangat, tanpa sadar ia menarik senyum.
"Aku harus beli banyak makanan ringan dan es krim untuk mereka nanti." gumamnya senang. Tak sabar rasanya melepas rindu setelah hampir sebulan tak berkunjung ke panti karena kesibukannya.
***
Erick menangkup tangan ke wajah lantas mengusapnya kasar, hari ini pun performa perusahaannya menurun, ia rasa harus memiliki ide dengan gebrakan besar untuk mengurangi penurunan ini.
Erick menghela nafas, ia merebahkan kepalanya di sandaran kursi. Akhir-akhir ini pikirannya kacau, ketidak hadiran Elena membuat hari- harinya nyaris buruk. Seperti setiap detak jantung yang memompa darah begitulah Elena untuk nya sangat penting hingga tidak bisa di gantikan.
Merasa perlu refreshing, Erick berjalan menuju walk in closet miliknya, memakai setelan santai berfikir untuk menghirup udara segar di luar sana.
Keluar dari kamarnya, satu dua pelayan yang lewat menunduk sambil menyapanya, Erick hanya mengangguk sekilas sebagai tanggapan, menuruni tangga, ia terhenyak ketika melihat keramaian di bawah sana.
"Aaaaa ... itu dia datang." seru seseorang.
Tuan Rey Davidson, pria asli keturunan negeri PamanSam itu menghampiri putranya dengan tersenyum lebar.
"Ada apa ini Dad?" Erick mengerut dahi menatap ayahnya juga dua orang berpakaian formal yang sama.
"Hei, apa kau tidak mengingat ku, bocah." seseorang berseru membuat Erick menoleh padanya.
"Uncle Ed." Erick nampak terkejut demi melihat siapa yang menyapanya.
"Iya ini aku. Apa kabar nak?" pria setengah baya yang di panggil uncle oleh Erick itu langsung memeluk nya, dan menepuk bahu pria itu beberapa saat.
"Aku baik. Uncle gimana?"
"Aku juga baik."
Lalu mereka terlibat obrolan ringan bersama.
"Sudah lama sejak aku pindah ke australi, kau sudah sebesar ini ternyata." Seloroh tuan Edward, salah satu sahabat ayah Erick tersebut, dia datang bersama asistennya.
"Tentu saja, sekarang dia sudah menggantikan ku di perusahaan." celetuk tuan Rey menanggapi, Ada nada bangga terselip di sana.
"Wow, fabulous. Kelak kau menjadi pemimpin besar seperti ayah mu." Tua. Edward lagi- lagi menepuk pundak Erick bangga.
Erick hanya tersenyum menunduk dengan semua pujian itu.
"Oh ya aku hampir lupa memperkenalkan mu dengan seseorang," kata Om Ed lagi.
Erick menatap kilat aneh di mata kedua pria tua itu, "Siapa?"
Om Ed tersenyum sementara ayahnya terkekeh membuat Erick di landa penasaran.
Lalu terasa ada sesuatu yang menepuk pundaknya dari belakang, sontak Erick menoleh.
"Kejutan!"
Mata pria itu membulat.