Hanya karena ingin membalas budi kepada Abram, lelaki yang telah menolongnya, Gisela memaksa menjadi istri lelaki itu meskipun ia harus mendapat perlakuan kasar dari Abram maupun mertuanya. Ia tetap bersabar.
Waktu terus berlalu, Gisela mengembuskan napas lega saat Abram mengajak tinggal di rumah berbeda dengan mertuanya. Gisela pikir kehidupan mereka akan lebih baik lagi. Namun, ternyata salah. Bak keluar dari kandang macan dan masuk ke kandang singa, Gisela justru harus tinggal seatap dengan kekasih suaminya. Yang membuat Gisela makin terluka adalah Abram yang justru tidur sekamar dengan sang kekasih, bukan dengannya.
Akankah Gisela akan tetap bertahan demi kata balas budi? Atau dia akan menyerah dan lebih memilih pergi? Apalagi ada sosok Dirga, masa lalu Gisela, yang selalu menjaga wanita itu meskipun secara diam-diam.
Simak kisahnya di sini 🤗 jangan lupa selalu dukung karya Othor Kalem Fenomenal ini 🤗
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rita Tatha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
AMM 07
Farah yang saat itu sedang sibuk dengan ponsel, terkejut saat mendengar bunyi barang pecah. Dengan langkah tergesa ia berjalan mendekati sumber suara itu. Farah langsung meradang saat melihat vas bunga besar jatuh berantakan di lantai dan terlihat Gisela sedang memunguti pecahan tersebut.
"Dasar menantu tidak tahu diri! Sudah ceroboh, bodoh pula! Aku sungguh bingung, kenapa bisa Abram menikah denganmu!" bentak Farah. Menatap Gisela penuh kebencian. Tangannya bahkan sudah mencengkeram rambut menantunya cukup kuat.
"Ampun, Nyonya. Tolong lepaskan, Nyonya. Ini sakit sekali." Gisela mencoba melepaskan jambakan Farah dari rambutnya. Wanita paruh baya itu seperti kesetanan. Menarik rambut Gisela sangat kencang seperti hendak mencabut sampai ke akarnya. Meskipun Gisela sudah memohon dengan sangat, tetapi Farah tidak melepaskan jambakan itu sama sekali.
"Aku benar-benar tidak sudi memiliki menantu sepertimu! Sudah kampungan, bodoh!" umpat Farah. Melepaskan jambakan tersebut secara kasar hingga kepala Gisela ikut terhuyung ke belakang.
"Saya tidak sengaja, Nyonya." Gisela mengusap bekas jambakan yang masih terasa panas.
"Tidak sengaja? Enteng sekali mulutmu berbicara tanpa dosa seperti itu. Apa kamu tidak bisa melihat berapa kerugian yang harus aku tanggung? Sudah dua vas bungaku yang pecah karena kebodohanmu!" bentak Farah. Hampir saja ia merem*s wajah Gisela. Namun, dengan gerakan cepat Gisela menghindar. Gisela tidak ingin terlalu lemah di depan mertuanya.
"Saya berjanji akan menggantinya, Nyonya." Gisela berbicara lirih. Suaranya terdengar serak karena menangis.
"Dengan apa kamu akan menggantinya? Menggunakan uang Abram! Cih! Sama saja!" hina Farah.
"Tidak, Nyonya. Saya masih memiliki tabungan pribadi. Saya akan menggunakan uang itu untuk mengganti semuanya, Nyonya," sahut Gisela cepat. Memang uang tabungan itu adalah milik Gisela ketika belum menikah. Bahkan, sampai sekarang Gisela belum pernah mendapatkan uang dari Abram. Wanita itu tidak pernah meminta, Abram pun tidak pernah memberi seperser pun uang untuk istrinya.
"Baiklah. Aku tunggu. Dua puluh juta total semuanya. Sekarang kamu pergilah! Aku muak melihat wajahmu!" Farah mendorong tubuh Gisela agar segera pergi. Senyum licik Farah pun terlihat ketika bayangan Gisela sudah tidak terlihat lagi.
"Sepertinya aku bisa memanfaatkanmu," gumamnya.
***
Apa yang diharapkan Gisela dari sebuah kisah cinta yang pahit. Suami yang tidak pernah bersikap baik juga ibu mertua yang kejam. Namun, selama masih bisa bertahan maka Gisela akan tetap bertahan. Terlihat sangat bodoh memang, tetapi itulah keputusan wanita itu. Ia lebih banyak menggunakan perasaan dari pada akal sehat.
Tatapan Gisela tampak nanar pada sebuah kartu ATM yang berada dalam genggamannya. Gisela sudah lama sekali menyimpan uang tersebut. Untuk berjaga jika ia memiliki kebutuhan yang membutuhkan dana besar. Hendrarto, papanya, bukanlah orang yang pelit, tetapi Gisela berusaha untuk bisa mandiri. Apalagi ia adalah anak sulung yang harus bisa menjadi anak yang tangguh. Bisa menjadi kuat untuk kedua adiknya.
Desah*n napas kasar terdengar memecah keheningan kamar. Uang dalam tabungannya sudah berkurang dua puluh juta. Menyesal, tentu saja. Namun, sekali lagi Gisela berusaha meyakinkan hatinya sendiri agar ikhlas karena semua rezeki sudah ada takarannya.
"Anggap saja aku mencicil utangku kepada Abram karena dia pernah menyelamatkan nyawaku."
Ketika masih sibuk memandangi kartu tersebut, Gisela terperanjat saat melihat Abram yang masuk ke kamar dengan langkah lebar. Wanita itu pun segera menyembunyikan kartu di belakang tubuh. Namun, Abram justru sudah merebut paksa.
"Kembalikan, Mas. Itu punyaku." Gisela hendak maju, tetapi ia langsung bergeming di tempat saat melihat sorot mata Abram yang menajam. Setelah memastikan istrinya itu hanya diam di tempat, Abram pun segera mengalihkan pandangan ke tangannya. Mengamati kartu tersebut secara lekat.
"Ini kartu milikmu?" tanya Abram tanpa mengalihkan pandangan.
"I-iya, Mas." Gisela menjawab gugup.
"Habis kamu gunakan untuk apa uang di dalamnya?"
Hening. Gisela tidak menjawab sama sekali karena ia takut akan salah dalam berbicara. Ia juga bimbang harus berbohong atau berbicara yang sejujurnya saja.
"Kenapa kamu diam saja? Katakan padaku uangmu habis digunakan untuk apa!" bentak Abram. Merasa marah karena tidak mendapat jawaban dari Gisela.
"A-aku kirim ke Nyonya Farah, Mas."
"Mama?" sela Abram. Menatap istrinya yang sedang berdiri. Tubuhnya terlihat gemetaran, Abram pun hanya bisa menghela napas panjang. "Kenapa kamu kirim uang ke mama?" tanyanya dengan nada bicara yang sudah menurun. Tidak sekeras tadi.
"Untuk mengganti rugi, Mas. Aku sudah memecahkan vas bunga milik Nyonya Farah," jelas Gisela. Tidak apa jika ia akan mendapat bentakan ataupun pukulan. Yang terpenting ia sudah berbicara jujur. Setidaknya itu lebih baik karena hatinya akan merasa nyaman.
"Berapa nomor rekeningmu?" Abram melemparkan kartu tersebut kepada Gisela yang langsung ditangkap cepat oleh wanita itu.
"Untuk apa?"
"Kenapa kamu menjawab pertanyaan dengan sebuah pertanyaan? Aku bertanya berapa nomor rekeningmu, bukan yang lain. Jangan bertanya untuk hal yang tidak penting!" omel Abram. Gisela pun tidak berani berbicara lagi. Ia mengambil sesuatu di laci lalu menyerahkan kepada Abram.
Tangan Abram dengan lincah bermain di atas keypad, mengetik sesuatu yang Gisela tidak pernah tahu itu. Selang beberapa saat, Abram menunjukkan layar ponsel tepat di depan wajah Gisela hingga membuat kening wanita itu mengerut dalam.
"Sudah aku kembalikan uangmu."
"Banyak sekali, Mas?" Bola mata Gisela membulat penuh melihat nominal yang tertera di layar. "Aku hanya mengirim dua puluh juta, Mas. Bukan seratus juta."
"Diamlah. Aku mau mandi. Segera siapkan air hangat." Abram menaruh ponselnya secara sembarang lalu melepas kemeja yang masih dikenakan, sedangkan Gisela berjalan cepat ke kamar mandi untuk menyiapkan air hangat untuk suaminya. Setelah semua siap, Abram pun bergegas membersihkan diri.
"Aku tidak menyangka kalau kamu juga bisa bersikap baik seperti itu, Mas. Mungkinkah hatimu perlahan luluh dan bisa mencintaiku. Semoga saja." Gisela tersenyum tipis sembari menatap kemeja Abram. Wangi parfum lelaki itu masih bisa tercium jelas meskipun kemejanya sudah dipakai seharian penuh. Namun, Gisela merasa ada yang aneh. Ia pun mencium wangi lain di bagian kerah kemeja. Wanginya berbeda dari milik Abram dan itu bahkan lebih cenderung ke parfum wanita.
Ketika Gisela melihat seluruh kemerja itu, tubuhnya menegang saat samar-samar melihat bekas lipstik yang menempel di sana. Tidak terlalu jelas, tetapi masih bisa terlihat dengan baik.
"Mungkinkah Mas Abram selingkuh?" gumam Gisela.