Davina memergoki pacarnya bercinta dengan sahabatnya. Untuk membalas dendam, Davina sengaja berpakaian seksi dan pergi ke bar. Di sana dia bertemu dengan seorang Om tampan dan memintanya berpura-pura menjadi pacar barunya.
Awalnya Davina mengira tidak akan bertemu lagi dengan Om tersebut, tidak sangka dia malah menjadi pamannya!
Saat Davina menyadari hal ini, keduanya ternyata sudah saling jatuh cinta.Namun, Dave tidak pernah mau mengakui Davina sebagai pacarnya.
Hingga suatu hari Davina melihat seorang wanita cantik turun dari mobil Dave, dan fakta mengejutkan terkuak ternyata Dave sudah memiliki tunangan!
Jadi, selama ini Dave sengaja membohongi Davina atau ada hal lain yang disembunyikannya?
Davina dan Dave akhirnya membangun rumah tangga, tetapi beberapa hari setelah menikah, ayahnya menyuruh Davina untuk bercerai. Dia lebih memilih putrinya menjadi janda dari pada harus menjadi istri Dave?!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Clarissa icha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
Davina Pov
Aku berdiri di depan mereka dengan penuh percaya diri karna berhasil membawa Om Dave ke hadapan mereka. Lihat bagaimana reaksi Bianca dan Arga, mereka seperti tak percaya.
Ku tarik lengan besar Om Dave agar semakin menempel denganku. Aku pastikan Bianca akan iri denganku jika Om Dave mengakui ku sebagai kekasihnya.
"Sayang, mereka nggak percaya kalau kita pacaran." Kataku pada Dave. Aku berbicara dengan nada manja padanya sembari bergelayut pada lengan besarnya yang sangat kokoh.
Dibalik sikap tenangku saat ini, sejujurnya aku sangat cemas dan takut. Aku harap Om Dave tak berubah pikiran dan tetap membantuku bersandiwara di depan mereka. Tak bisa ku bayangkan jika tiba-tiba Om Dave berkata jujur pada Bianca dan Arga. Mau di taruh dimana mukaku ini. Mereka pasti akan semakin menghina dan menertawakanku karna kedapatan membohongi mereka. Aku hanya akan terlihat semakin menyedihkan di mata dua pengkhianat itu.
"Apa aku perlu mencium kamu di sini agar mereka percaya.?" Om Dave bertanya santai padaku. Ucapan gilanya itu sontak membuat kedua mataku membulat sempurna.
"A,,aku,,,
"Kenapa Devina.? Kamu nggak berani di cium pacar barumu itu.?" Bianca beranjak dari duduknya. Tersenyum mengejek ke arahku. Sepertinya dia tetap curiga kalau Om Dave bukan pacarku sungguhan.
"Sudahlah, aku tau kamu itu bohong.!" Cibirnya senang.
"Siapa bilang aku nggak berani di cium. Justru aku yang akan menciumnya lebih dulu.!" Seruku tak mau kalah. Segera ku lepaskan lengan Om Dave dan kini mengalungkan tanganku di lehernya.
Aku menatap ragu pada Om Dave, sedangkan dia masih santai saja. Semua ini karna ucapan Om Dave yang membuatku harus berciuman dengannya di depan Arga dan Bianca.
Om Dave seperti mengambil kesempatan dalam kesempitan. Bisa-bisanya membahas soal ciuman di depan mereka.
"Davina.! Apa-apaan kamu.?!" Arga tiba-tiba berdiri dan menarik kedua tanganku. Dia bahkan mendorong bahu Om Dave agar menjauh.
Apa maksudnya bersikap seperti itu padaku.? Dia terlihat tidak suka melihatku sedekat itu dengan Om Dave dan akan menciumnya.
"Sayang, biarkan saja. Kenapa jadi kamu yang sewot lihat Davina mau berciuman.?!"
"Jangan bilang kamu cemburu.?" Ku lihat Bianca menatap Arga dengan tatapan tajam mengintimidasi.
"Benarkah Arga cemburu padaku.?" Tanyaku dengan penuh kebanggaan di depan Bianca. Biar saja dia semakin terbakar, biar sejak setelah ini mereka bertengkar.! Aku orang pertama yang akan menertawakan pertengkaran mereka.
Setelah ini Arga akan melihat bagaimana sifat asli Bianca. Dia tak jauh lebih baik dan sabar dariku.!
Dia murah tersulut emosi dan berani melawan. Ku pastikan Arga tak akan betah berlama-lama dengannya. Sekali Bianca terus menyodorkan tubuhnya di ranjang Arga.
"Wajar saja Bi, Arga tau kalau dia laki-laki pertama yang mendapatkan ciumanku. Mana mungkin dia bisa melihatku berciuman dengan laki-laki lain. Benar kan Arga sayang,,?"
"Oopss,, maaf kelepasan." Aku tersenyum mengejek ke arah Bianca. Wajah wanita itu sudah merah menahan amarahnya. Bahkan kedua tangannya mulai mengepal kuat.
"Davina kamu,,,,!!"
"Berani sekali kamu memanggil sayang pada laki-laki lain di dapan kekasihmu ini.!" Om Dave menyela ucapan Bianca. Tangannya lantas merangkul mesra pinggang rampingku dan menariknya mendekat.
"Bibirmu ini perlu diberi pelajaran agar tak sembarangan memanggil sayang pada orang lain." Katanya sambil mendekatkan wajah ke arahku. Aku dibuat gugup saat ini. Jantungku berdetak kencang tak karuan sampai terdengar jelas di telingaku sendiri.
Yang ku lakukan saat ini hanya diam dengan tubuh kaku dan memejamkan mata.
Sesaat kemudian aku merasakan benda kenyal itu menempel pada bibirku. Beberapa detik hanya saling menempel. Perlahan tapi pasti, bibir itu mulai me- lu- mat dengan gerakan lembut. Seketika darah di dalam tubuh terasa berdesir. Ada perasaan yang tak pernah aku rasakan sebelumnya saat berciuman dengan Arga.
Benar-benar berbeda, rasanya tak ingin berakhir.
Aku mulai hanyut saat kedua tangan Om Dave meraba punggungku. Kini aku membalas ciumannya. Ku lingkarkan tanganku di leher Om Dave dengan mesra.
Sejujurnya aku penasaran dengan reaksi Arga dan Bianca. Aku ingin melihat bagaimana wajah mereka saat melihatku sedang berciuman seperti ini. Tapi aku sudah terlanjur menikmati ciuman ini dan enggan menoleh untuk menatap mereka.
Pelukan tangan Om Dave di punggungku perlahan mulai mengendur. Begitu juga dengan gerakan bibirnya. Aku tau Om Dave akan mengakhiri ciuman kami. Tapi sebelum Om Dave melepaskan ciumannya, aku lebih dulu menahan dan semakin memperdalam ciuman. Peduli apa tentang tanggapan Om Dave nanti, yang terpenting aku bisa menyakinkan dua pengkhianat itu kalau Om Dave dan aku berpacaran.
"Cukup sayang,," Om Dave melepaskan paksa ciumanku sembari mendorong pelan bahuku menggunakan kedua tangannya.
"Lebih baik lanjut di kamar saja." Katanya dengan mengedipkan sebelah mata untuk menggoda. Aku menelan ludah dengan susah payah. Tak menyangka perkataan Om Dave semakin intim.
"Davina, kamu sudah melakukannya.?" Tanya Arga. Kedua matanya menatap tajam padaku dan Om Dave bergantian.
"Sudah atau belum, nggak ada urusannya sama kamu.!" Ku jawab ketus pertanyaan Arga. Dia membuatku jengkel karna sejak tadi sok peduli dan khawatir padaku.
"Tapi kamu selalu menolak denganku, kenapa sekarang kamu,,,
"Mungkin karna pacarku yang sekarang jauh lebih menarik. Lagipula kamu sudah puas dengan Bianca, tak perlu repot-repot mengetahui apa yang aku lakukan."
"Jangan sampai Bianca cemburu karna kamu terlihat sangat peduli padaku." Aku melempar senyum mengejek pada Bianca. Mantan sahabatku itu terlihat sangat geram. Soroti matanya di penuhi dengan amarah.
"Dasar jal- lang.!" Cibir Bianca. Aku tersenyum santai menanggapinya.
"Aku belajar dari kamu yang sudah senior, Bianca." Kataku penuh penekanan.
"Kau,,,!"
Aku reflek menghindar saat Bianca melayangkan tangannya ke arahku. Tapi rupanya tangan Bianca lebih dulu di tepis oleh Om Dave.
"Secuil saja kamu melukai kulitnya dengan tangan kotormu ini, aku akan mematahkan tanganmu.!" Ancam Om Dave. Dia terlihat sungguhan memberikan ancaman pada Bianca.
Suara dan tatapan matanya bahkan sangat menyeramkan. Bianca sampai ketakutan dan memberingsut mendekati Arga.
Ya ampun kenapa Om-Om yang satu ini gantleman dan romantis sekali. Kita berdua sedang sandiwara, tapi entah kenapa seperti nyata dan aku terbawa suasana.
Aku rasa laki-laki seperti Om Dave adalah tipe ideal ku. Aku membutuhkan laki-laki sepertinya, tak seperti Arga yang hanya bisa menumpahkan luka di balik secuil kebahagiaan yang pernah dia berikan padaku.
"Ingat baik-baik ucapanku.!" Tegas Om Dave. Dia lalu menggandeng tanganku.
"Ayo pergi." Ajaknya sembari membawaku pergi dari hadapan Arga dan Bianca.
Aku sempat menoleh untuk meledek Bianca dengan menjulurkan lidah. Biar tau rasa wanita mengerikan itu.
Kami keluar dari club. Om Dave melepaskan tanganku begitu saja.
"Jangan harap aku mau menolongmu lagi. Ini terakhir kalinya.!" Tegas Om Dave. Dia menatap tajam.
Aku hanya bisa menganggukkan kepala. Bantuan Om Dave kali ini sudah lebih dari cukup untuk membungkam mulut Arga dan Bianca. Aku sangat berterimakasih padanya atas apa yang baru saja Om Dave lakukan di depan mereka.
"Makasih Om, aku nggak tau apa jadinya kalau Om nggak bantuin aku." Ucapku tulus. Bantuan Om Dave sangat berarti untukku.
"Bagaimana kalau aku traktir makan malam,?" Tawarku antusias.
"Kalau sekedar makan malam, saya bisa beli sendiri." Jawabnya.
"Aku juga tau Om banyak uang, tapi kan ini beda Om."
"Ayolah Om,, pleaseee,,," Aku menarik tangannya sembari merengek dan memasang wajah menggemaskan.
"Ok, tapi jangan di restoran."
"Terus dimana.?" Tanyaku.
"Apartemenku."
Pikiranku diam sejenak, sulit untuk berfikir karna mendengar permintaan Om Dave.
Kenapa harus makan malam di apartemennya.?
Lalu siapa yang akan memasak atau menyiapkan makan malamnya.? Aku bahkan tidak bisa melakukan apapun.