Nasib sial tak terhindarkan menimpa Faza Herlambang dan mahasiswinya, Caca Wijaya, saat mereka tengah melakukan penelitian di sebuah desa terasing. Tak disangka, sepeda motor yang menjadi tumpuan mereka mogok di tengah kesunyian.
Mereka pun terpaksa memilih bermalam di sebuah gubuk milik warga yang tampaknya kosong dan terlupakan. Namun, takdir malam itu punya rencana lain. Dengan cemas dan tak berdaya, Faza dan Caca terjebak dalam skenario yang lebih rumit daripada yang pernah mereka bayangkan.
Saat fajar menyingsing, gerombolan warga desa mendadak mengerumuni gubuk tempat mereka berlindung, membawa bara kemarahan yang membara. Faza dan Caca digrebek, dituduh telah melanggar aturan adat yang sakral.
Tanpa memberi ruang untuk penjelasan, warga desa bersama Tetuah adat menuntut imereka untuk menikah sebagai penebusan dosa yang dianggap telah mengotori kehormatan desa. Pertanyaan tergantung di benak keduanya; akankah mereka menerima paksaan ini, sebagai garis kehidupan baru mereka
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ZIZIPEDI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SEMBILAN
Rubicon hitam berhenti tepat di halaman rumah, Faza turun dan berjalan menuju pintu utama, Caca yang tengah fokus di depan laptop,tak menyadari kehadiran Faza.
Faza berdiri tepat di hadapan Caca, "Kamu nggak jadi ke kampus, Ca?" Caca tampak kaget, seolah tak menyangka Faza ada di hadapannya.
"Hah?" gumamnya dengan nada heran sambil mendongak menatap lekat. "Kamu nggak jadi ke kampus?" ulang Faza, memastikan.
"Oo, jadi Pak. Baru saja pulang," jawabnya cepat, nada suaranya biasa saja, seakan tak ada yang perlu dipersoalkan.
Faza lantas memperhatikan Caca sejenak, merasa ada sesuatu yang ingin Faza ketahui lebih dalam.
"Oo, ketemu Alfin?" tanya Faza dengan nada sedikit menyelidik.
"Ya, tadi sempat ketemu,Pak Alfin di perpustakaan. Kenapa ya, Pak?" Matanya menyiratkan penasaran, seperti mencoba mencari maksud di balik pertanyaan Faza.
Faza tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan pikiran-pikirannya.
"Tidak ada, nanya saja. Barangkali kamu ditembak Alfin," ucap Faza santai, meski di dalam hatinya sebenarnya ingin tahu reaksinya. Caca justru tertawa kecil, lalu menanggapi Faza dengan nada santai.
"Saya bukan tipe wanita yang dicari Pak Alfin. Beliau itu soleh banget. Mana mungkin nyari istri kayak saya, yang auratnya masih sering terbuka.Pastilah Pak Alfin nyari istri yang berhijab yang bisa mengimbangi beliau" Kata-katanya ringan, tapi ada sesuatu dalam cara dia mengucapkannya yang membuat Faza berpikir.
Faza menatap Caca sesaat lebih lama.
"Apa dia benar-benar tidak peka? Jelas-jelas Alfin mepetin dia terus.Atau... itu hanya cara dia menutupi sesuatu?Ah..entahlah. Tapi satu yang kupahami, ternyata dia lebih rumit daripada yang terlihat" batin Faza.
Faza mengerutkan keningnya, merasa heran pada mahasiswinya yang satu itu.
"Pak Faza, mau makan?" tanya Caca tiba tiba membuyarkan lamunan Faza.
"Haa...tidak, saya sudah makan di luar" ujar Faza lalu pergi meninggalkan Caca yang kembali asyik menggarap skripsinya.
Waktu berlalu, Malam mengurung pikiran Faza.
Di kamar yang cukup damai,Faza meregangkan otot pinggangnya di kursi baca, setelah melaksanakan salat isya, mencoba mencari ketenangan di tengah gelombang pikiran yang tak kunjung reda. Entak kenapa hatinya terasa gelisah, memikirkan Felin.
Faza sungguh merasa bersalah pada wanita yang setia menunggunya selama kurang lebih tujuh tahun itu. Sesekali tampak Faza memijat pelipisnya.
Ditengah asyik dengan pikirannya,dering ponsel yang nyaring membuat semua upaya Faza menenangkan diri sia-sia. Saat Faza melihat nama Felin muncul di layar ponselnya, Faza menarik napasnya panjang.
"Iya,. Ada apa?" tanya Faza dengan suara serak, mencoba terdengar biasa.
"Mas,kenapa gak ada hubungi aku,tiga hari ini?"Felin merasa ada yang salah dengan sikap Faza.
"Iya maaf,aku sibuk beberapa hari ini,"ujar Faza berusaha mencari alasan yang tepat.
"Oo...apa belum selesai dampingi mahasiswamu KKN?" tanya Felin ingin tahu.
"Em..sudah, cuman ada sedikit urusan yang harusku selesaikan"
"Ooo..."ujar Felin,"oya Mas,minggu depan aku pulang ke Indonesia, kamu jadikan temui Papa..? Aku nggak tahan terus dijodoh-jodohin sama anak teman Papa," keluhnya, suaranya mengandung desakan yang membuat Faza makin frustasi.
Faza terdiam,mendengar kabar kepulangan Felin, pria berhidung mancung itu, mencoba menyusun kata-kata di tengah kekacauan batin yang mengguncang dirinya. Faza meraup wajahnya kasar membuang rasa bersalahnya pada Felin.
"Hemm...aku kabari lagi nati," jawab Faza, mencoba menghindari pertanyaan yang lebih lanjut, karena saat ini Faza belum mempunyai jawaban untuk pertanyaan pertanyaan yang Felin tujukan padanya. Lalu Faza mematikan sambungan teleponnya.
"Bagaimana aku bisa menjelaskan ini padamu? Bagaimana aku bisa menghadapi tatapan kecewamu, yang sudah bisa aku bayangkan bahkan sebelum semua terucap,Fe..?" batin Faza.
Tiba-tiba Faza merasakan sesak di dadanya. Rasanya seperti terjebak dalam dua kehidupan yang bertolak belakang, tanpa satu pun jalan keluar yang terlihat.
Faza bersandar pada sandaran kursi, menatap langit langit kamar dengan nanar. Meskipun Felin dan Faza bukan pasangan kekasih, namun benih-benih cinta telah bertunas di antara mereka sejak masa kuliah.
Kedekatan mereka lebih dari sekadar teman seangkatan; ada tarikan batin yang tak terbendung yang mempertautkan hati mereka. Mereka berkomitmen, jika hubungan itu menuju keseriusan, mereka akan memperkenalkan satu sama lain kepada keluarga masing-masing. Tanpa melalui jalur pacaran.
Namun, sebelum janji itu sempat direalisasikan, tragedi mendadak menimpa Faza. Dalam suatu malam yang tak terduga, ia terjebak dalam situasi yang kompromis dengan Caca, mahasiswinya. Mereka tertangkap basah bermalam bersama, dan, tanpa pilihan, desakan masyarakat memaksa Faza menikahi Caca.
Faza lalu mengambil air wudu, Untuk mencari petunjuk lewat Al-Qur'an, Faza lantas melakukan salat sunah Istikharah dua rakaat. Untuk memohon petunjuk kepada Allah,lalu membuka mushaf Al-Quran. Karena petunjuk dalam al quran adalah solusi yang terbaik. Faza lantas memejamkan mata.
Sungguh terkadang apa yang direncana manusia belum tentu sesuai takdir Allah karena Allah Maha kuasa menentukan takdir hamba-Nya. Faza kembali merenung saat dia mengingat penggalan surah Ar-Ra'd ayat 39. Yang artinya: bahwa Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauhul Mahfuzh)." (QS Ar-Ra'd: 39).
Ya, segalanya sudah tertulis di Lauh Mahfuzh, bahkan pernikahannya dengan Caca, dan jalan cinta yang buntu bersama Felin adalah salah satu ketetap-Nya.
Faza mencoba berdamai dengan takdir yang telah Allah tentukan, seraya memahami bahwa segala misteri alam semesta, hanya Allah yang berkuasa atasnya.
Faza yakin, tidak ada daun yang jatuh, tidak ada butir pasir yang tersembunyi, dan tidak satu pun detik yang berlalu tanpa pengetahuan-Nya. Tidak ada apa pun, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, yang luput dari skenario Ilahi ini. Dalam hati yang bergetar, Faza berdoa agar dapat menerima ketetapan dengan keikhlasan yang mendalam.
Dengan suara lirih dan kepasrahan, Faza terus memohon"Ya Allah, aku berserah diri kepada-Mu, dan aku mengadukan urusanku kepada-Mu, sesungguhnya aku berlindung dengan kemuliaan-Mu –tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak disembah selain Engkau– dari segala hal yang bisa menyesatkanku" bisik Faza.
Puas mengadu pada Tuhannya, Faza bangkit, dari sujudnya, lalu keluar kamar tepat pukul sebelas malam.
Kening Faza terlipat, saat melihat layar laptop Caca masih menyala dan pemiliknya terlelap dengan bersandar di kursi. Faza menggelengkan kepalanya melihat cara Caca tidur, sungguh tak ada peminim peminimnya sama sekali.
Faza lantas mencoba membangunkan Caca tapi tak bergeming, Faza akhirnya berinisiatif menggendongnya untuk dipindahkan ke kamar.
Saat sampai di depan pintu kamar Caca, entah kenapa Faza berubah pikiran, pria berrahang tegas itu malah membawa Caca ke dalam kamar tidur miliknya.
Faza dengan hati-hati menggendong Caca yang masih terlelap dalam tidurnya. Tangan Caca yang lembut terkulai di samping tubuhnya, napasnya teratur menandakan tidur yang begitu pulas.
Lembut Faza meletakkan Caca di atas tempat tidur yang besar, menyelimuti tubuhnya dengan selimut tebal agar hangat. Cahaya lampu kamar yang redup menambah suasana tenang, hanya suara nafas Caca yang terdengar pelan di ruangan itu. Faza duduk di pinggir tempat tidur, memperhatikan wajah Caca yang tenang.
Sesekali, Faza menghela nafasnya, berharap bahwa keputusannya membawa Caca ke kamarnya adalah yang terbaik.
"Bismillah, semoga keputusanku ini tepat," batin Faza sebelum ikut membaringkan diri di sebelah Caca.
Saat adzan subuh berkumandang, Caca mengeliat meregangkan ototnya yang terasa kaku, saat Caca merentangkan tangan dan membuka mata, Caca sontak melompat kaget.
"Astagfirullah...Pak Faza..." pekik Caca terdengar begitu lantang, terkejut saat Caca mendapati pak dosennya itu tidur seranjang dengannya.