NovelToon NovelToon
Silent Crack

Silent Crack

Status: sedang berlangsung
Genre:Selingkuh / Obsesi / Beda Usia / Romantis
Popularitas:454
Nilai: 5
Nama Author: Penulismalam4

Romance psychological, domestic tension, obsessive love, slow-burn gelap

Lauren Hermasyah hidup dalam pernikahan yang perlahan kehilangan hangatnya. Suaminya semakin jauh, hingga sebuah sore mengungkapkan kebenaran yang mematahkan hatinya: ia telah digantikan oleh wanita lain.

Di saat Lauren goyah, Asher—tetangganya yang jauh lebih muda—selalu muncul. Terlalu tepat. Terlalu sering. Terlalu memperhatikan. Apa yang awalnya tampak seperti kepedulian berubah menjadi sesuatu yang lebih gelap, lebih intens, lebih sulit dihindari.

Ketika rumah tangga Lauren runtuh, Asher menolak pergi.
Dan Lauren harus memilih: bertahan dalam kebohongan, atau menghadapi perhatian seseorang yang melihat semua retakan… dan ingin mengisinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Penulismalam4, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

05_Foto usang.

Sore turun perlahan seperti tirai tipis yang menutup hari. Cahaya jingga menembus sela pepohonan di halaman, menumpahkan warna hangat ke dinding rumah-rumah di kompleks itu. Angin membawa aroma hujan yang telah lama reda, bercampur wangi tanah yang lembap.

Pukul 16.00 WIB, suasana kompleks mulai tenang.

Lauren berdiri di balik tirai ruang tamunya, memandangi halaman rumahnya dengan jantung yang berdetak sedikit terlalu cepat.

Di tangan kirinya, sebuah rantang makanan berisi masakan yang ia buat tadi siang—ayam kecap kesukaannya dulu, yang sekarang jarang dimakan oleh Arga. Di atasnya ia letakkan sepotong kertas kecil berisi tulisan tangan:

Ia menatap tulisan itu lama, memastikan huruf-huruf kecilnya rapi sebelum akhirnya menarik napas panjang dan melangkah keluar rumah. Ia meletakkan rantang itu di depan pintu rumah tetangganya—rumah yang baru beberapa hari dihuni.

Rumah Asher.

Setelah menaruhnya, Lauren menatap sekeliling sebentar untuk memastikan tidak ada yang melihatnya. Ia tidak ingin terlihat mencurigakan. Atau… terlalu perhatian.

Lalu ia kembali ke rumah dengan langkah cepat namun hati-hati, seperti seseorang yang baru saja melakukan sesuatu yang tidak seharusnya ia pikirkan terlalu jauh.

Sementara itu, pada saat yang hampir bersamaan, langkah kaki terdengar di ujung jalan. Asher berjalan pulang dengan ransel hitam menggantung di bahu, earphone masih terpasang di telinganya. Rambut hitamnya sedikit basah oleh keringat dan lembap sore.

Ia menghentikan musik di earphonenya saat melewati gerbang rumahnya. Ada sesuatu yang membuatnya memperlambat langkah. Matanya menangkap sebuah benda kecil di depan pintu.

Rantang.

Dan secarik kertas kecil yang diletakkan di atasnya.

Asher berhenti. Tatapannya tertuju pada tulisan itu, seolah ia sedang mengurai pesan rahasia.

Ia jongkok perlahan, mengambil kertas kecil itu terlebih dahulu.

Tulisan tangan rapi itu menyapanya dengan lembut.

"Terima kasih untuk bantuan kemarin."

Lama ia menatapnya.

Tidak ada nama. Tidak ada tanda tangan. Tapi tidak butuh keduanya.

Ia tahu betul siapa yang menulis ini.

Lauren Hermasyah.

Tetangga barunya.

Wanita yang kemarin hampir menjatuhkan belanjaannya, yang ia bantu tanpa pikir panjang, dan yang pergi dengan senyum canggung tanpa sempat mengucapkan terima kasih dengan benar.

Sesaat, bibir Asher terangkat sedikit—bukan senyum lebar, namun gerakan kecil yang muncul tanpa ia sadari.

Ia mengalihkan tatapannya pada rantang itu. Membawanya ke dekat wajah dan mencium aromanya pelan.

Masakan rumahan.

Hangat.

Aroma yang tidak pernah ia dapatkan di kos atau tempat makan kampus.

Ia berdiri perlahan, mata masih tertahan pada pintu rumah Lauren di seberang. Tirai jendela rumah itu bergerak sedikit—nyaris tak terlihat. Tapi cukup bagi Asher untuk tahu seseorang sedang memperhatikan.

Ia tidak menegur. Tidak melambaikan tangan. Tidak bertanya apa pun.

Hanya berdiri tegak, memandangi rantang itu dengan ekspresi tenang yang sulit ditebak.

Lauren Mengintai dari Balik Tirai

Di balik tirai ruang tamu, Lauren memegang kain tipis itu dengan jari-jari gemetar. Ia tidak bisa melihat jelas wajah Asher, tapi cukup untuk melihat bagaimana pemuda itu memandangi tulisan tangannya.

Rasanya… memalukan.

Terlalu pribadi.

Terlalu canggung.

Namun ia tetap tidak bisa memalingkan pandangan.

Ketika Asher mengangkat rantang itu dan menatap ke arah rumahnya—walau hanya sekilas—Lauren tersentak dan menurunkan tirai seketika, kembali duduk di sofa dengan pipi yang terasa sedikit panas.

Astaga… aku terlihat seperti orang yang mengintai, kan?

Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan.

Sesuatu tentang memberi rantang itu membuat hatinya terasa ringan, seolah ia akhirnya menutup sesuatu yang kecil tapi penting. Utang terima kasih. Kebaikan sederhana. Perhatian sopan.

Itu saja. Tidak lebih.

Atau… setidaknya itulah yang ia yakinkan pada dirinya sendiri.

Sementara itu, Asher masuk ke dalam rumah barunya, meletakkan rantang itu di meja makan kosong yang belum benar-benar ia tata. Ia membuka lapisan atas rantang dan menatap isi masakan buatan rumah itu.

Tanpa sadar, matanya melirik ke arah jendela depan. Tirai rumah Lauren sudah tertutup rapat.

Pelan, ia menaruh kertas kecil itu di atas meja—tidak dibuang, tidak disobek—hanya diletakkan di sana, seolah itu sesuatu yang layak disimpan.

Lalu ia membuka tutup rantang sepenuhnya.

Aroma masakan langsung memenuhi ruangan.

Asher menarik kursi, duduk…

dan mulai makan.

Perlahan.

Seolah ia menghargai setiap gigitan.

Sore itu berlalu dengan tenang, tapi di udara terdapat sesuatu yang baru, sesuatu yang samar dan halus.

____

Malam turun perlahan di kawasan perumahan itu, membiarkan langit berubah menjadi ungu gelap sebelum benar-benar hitam. Lampu jalan memercikkan cahaya kuning pucat ke dinding luar rumah Asher, sementara dari dalam, suara tetesan air shower berhenti.

Asher keluar dari kamar mandi sambil mengusap rambutnya yang masih basah. Ia hanya mengenakan celana olahraga hitam, kulit pucatnya memantulkan sedikit cahaya lampu kamar. Punggungnya terlihat jelas—dilintasi guratan-guratan panjang, bekas luka lama yang terlihat seperti hasil dicambuk atau disabet sesuatu bertahun-tahun lalu. Warna keperakan di atas kulitnya tampak mencolok, meski ia sudah terbiasa melihatnya.

Ia tidak pernah suka membiarkan tubuhnya telanjang, bahkan ketika sendirian. Tapi malam ini ia terlalu lelah untuk peduli.

Asher menurunkan handuknya, lalu duduk di tepi tempat tidur. Kamarnya sederhana: lemari, meja belajar penuh buku teknik biomedis, rak berisi jurnal penelitian, dan sebuah nakas kecil di sisi kasur. Di sanalah ia mengulurkan tangan.

Laci itu terbuka dengan suara berderit kecil.

Asher mengambil sesuatu dari dalamnya—selembar kertas usang yang dilipat rapi.

Tangannya terhenti sejenak sebelum membuka lipatan itu. Entah mengapa, setiap kali ia menyentuhnya, ia merasa jantungnya seakan kembali menjadi anak kecil lagi—rapuh, takut, mudah retak.

Ia membuka lipatan terakhir.

Di kertas itu terdapat foto lama. Sudah menguning di tepinya, seperti disimpan terlalu lama di tempat yang sepi dari cahaya.

Dalam foto itu terlihat seorang anak laki-laki berumur sembilan tahun—kurus, pucat, dengan tangan kanan yang dibalut perban. Anak itu menatap kamera dengan senyum kecil yang kaku.

Di sampingnya, seorang gadis muda berusia 22 tahun tersenyum tulus sambil merapikan balutan perban di tangan anak itu. Rambut gadis itu tergerai, matanya lembut, dan tubuhnya sedikit condong, seolah memastikan anak itu baik-baik saja.

Asher menatap gambar itu lama sekali.

Dia mengenal keduanya. Sangat mengenal.

Ia menelusuri foto itu dengan ujung jarinya… berhenti tepat pada wajah anak laki-laki itu.

Wajah dirinya yang berusia sembilan tahun.

Napasnya terhenti sesaat.

Begitu banyak hal telah berubah. Begitu banyak luka, kenangan, dan keheningan yang mengikuti setelah foto itu diambil. Gadis mahasiswa itu—seseorang yang dulu menjadi satu-satunya tempat ia merasa aman—sudah lama menghilang dari hidupnya. Tidak ada kabar. Tidak ada pesan. Tidak ada penjelasan.

Hanya meninggalkan foto itu.

Asher meletakkan foto itu di paha, menunduk.

Lalu ia teringat sesuatu—surat kecil yang ditemukan sore tadi di atas rantang makanan.

"Terimakasih untuk bantuan kemarin."

Tulisan tangan rapi. Hangat. Lembut.

Lauren Hermasyah.

Wanita itu tidak tahu apa pun tentang dirinya, tentang masa lalunya, tentang alasan kenapa ia pindah ke rumah itu, tentang apa yang sebenarnya ia cari.

Namun ucapan terima kasih sederhana itu… terasa berbeda.

Asher memejamkan mata.

Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ada sesuatu yang terasa seperti… kehadiran. Sesuatu yang bukan ancaman, bukan tuntutan, bukan ketakutan.

Hanya… perhatian kecil.

Asher melipat kertas foto itu kembali dengan hati-hati, seolah kertas itu bisa hancur jika salah gerak sedikit saja. Ia memasukkannya kembali ke dalam laci dan menutupnya perlahan.

Kemudian ia bangkit, berjalan menuju meja belajar, duduk, dan menatap jendela luar yang memantulkan cahaya remang dari kamarnya.

Rantang makanan itu masih ada di dapur, sudah ia makan tanpa sisa. Ia tahu rasa itu, tidak berubah  sama sekali—ketika ia berdiri di depan pintu menatap tulisan Lauren—ada sesuatu yang berbeda mengalir dalam dirinya.

Sesuatu yang hangat, tapi asing.

Malam semakin lengang. Asher menyandarkan tubuhnya ke kursi, membiarkan bekas luka di punggungnya terasa dingin oleh udara.

Ia menatap kosong ke luar jendela dan berbisik lirih—suara yang hanya didengar dirinya sendiri.

“…apakah kali ini akan berbeda?”

Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia tidak tahu jawabannya.

1
Mao Sama
Apa aku yang nggak terbiasa baca deskripsi panjang ya?🤭. Bagus ini. Cuman—pembaca novel aksi macam aku nggak bisa terlalu menghayati keindahan diksimu.

Anyway, semangat Kak.👍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!