NovelToon NovelToon
Mahar Satu Miliar Dari Pria Impoten

Mahar Satu Miliar Dari Pria Impoten

Status: tamat
Genre:Penyesalan Suami / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Pengantin Pengganti / Terpaksa Menikahi Suami Cacat / Tamat
Popularitas:391.9k
Nilai: 4.9
Nama Author: Aisyah Alfatih

Arum Mustika Ratu menikah bukan karena cinta, melainkan demi melunasi hutang budi.
Reghan Argantara, pewaris kaya yang dulu sempurna, kini duduk di kursi roda dan dicap impoten setelah kecelakaan. Baginya, Arum hanyalah wanita yang menjual diri demi uang. Bagi Arum, pernikahan ini adalah jalan untuk menebus masa lalu.

Reghan punya masa lalu yang buruk tentang cinta, akankah, dia bisa bertahan bersama Arum untuk menemukan cinta yang baru? Atau malah sebaliknya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

31. Aku saja yang menjadi anak, om!

Langit malam menggantung tenang di atas gedung rumah sakit. Cahaya lampu taman menyinari jalan setapak yang sepi, dan angin lembut berembus membawa aroma tanah basah. Di salah satu bangku taman, Arum duduk sendirian. Tangannya masih memegang gelang pasien kecil bertuliskan nama Revano Gavinata.

Matanya menatap kosong ke langit, air mata sesekali jatuh tanpa suara. Dari jauh, Gavin melangkah perlahan menghampiri. Ia membawa dua cangkir kopi hangat dari mesin otomatis rumah sakit. Langkahnya terhenti sejenak saat melihat punggung Arum yang tampak rapuh dalam balutan cardigan abu-abu.

“Masih belum tidur?” suaranya pelan, mencoba tidak mengusik.

Arum hanya menggeleng. “Aku takut kalau tidur, nanti aku kebangun dan Revano nggak ada di sana.”

Suaranya serak, dia tersenyum kecut tanpa menatap Gavin. “Kayak dulu.”

Gavin duduk di sampingnya, meletakkan satu cangkir di dekat tangan Arum. “Dia anak kuat, Arum. Dokter bilang malam ini kondisinya stabil.”

“Stabil…” Arum mengulang lirih, menatap ujung jarinya. “Padahal aku nggak pernah bisa stabil. Hati aku berantakan terus dari dulu.”

Ia menarik napas dalam-dalam, lalu memejamkan mata. “Gavin … aku capek banget harus kelihatan kuat.”

Gavin menatapnya lama, lalu berkata dengan lembut, “Kamu nggak harus pura-pura kuat di depan aku.”

Arum menoleh perlahan, mata mereka bertemu. Ada jarak yang penuh dengan kenangan tak terucap di antara keduanya.

“Empat tahun, Gavin…” katanya lirih, bibirnya bergetar. “Empat tahun aku bersembunyi, semua orang pikir aku mati. Padahal aku cuma berusaha hidup.”

Gavin menunduk, tangannya mengepal di pangkuan. “Aku masih ingat malam itu. Kamu berdarah parah, tubuh kamu penuh luka. Aku pikir kamu nggak bakal selamat.”

Ia menatapnya serius. “Kamu sempat bilang kalau nggak mau siapa pun tahu kamu masih hidup. Bahkan suamimu sendiri.”

Arum menarik napas pelan, menatap lurus ke depan. “Aku nggak kuat lihat wajahnya waktu itu, Gavin. Tatapan yang sama … yang dulu aku kira cinta, tapi ternyata ketakutan. Dia nggak percaya sama aku, bahkan saat aku butuh dia buat percaya satu kali aja.”

“Dan sekarang?” Gavin bertanya hati-hati.

Arum menatapnya lama. “Sekarang aku nggak tahu. Setiap kali aku lihat dia, bagian dari aku masih sakit. Tapi bagian lainnya…”

Ia berhenti, suaranya mengecil. “Bagian lainnya cuma pengen dia tahu kalau aku nggak pernah minta semua ini terjadi.”

Hening, hanya suara serangga malam yang terdengar. Gavin menatap wanita di sampingnya, seseorang yang dulu ia temukan dalam keadaan sekarat, yang kini kembali hancur di hadapan orang yang sama.

“Arum,” katanya perlahan, “aku tahu ini bukan tempatku buat bicara. Tapi aku lihat gimana dia tadi … Reghan, dia bukan cuma nyesel. Dia ketakutan kehilangan kalian berdua.”

Air mata Arum jatuh lagi, tapi kali ini ia tidak menyeka.

“Menyesal nggak bikin waktu empat tahun aku hilang, Gavin. Nggak bikin semua luka di tubuh ini sembuh.”

Dia menatap tangan sendiri, bekas sayatan halus masih terlihat samar di pergelangan. “Aku cuma pengen Revano selamat. Setelah itu … aku nggak peduli.”

Gavin menoleh menatapnya dalam-dalam.

“Kalau aku bilang kamu masih bisa bahagia, kamu percaya?”

Arum menatap Gavin sekilas, tersenyum tipis dengan mata yang sendu.

“Aku percaya, Gavin. Tapi bukan untuk aku.”

Lalu ia berdiri, menatap gedung rumah sakit dari kejauhan, di mana lampu kamar Revano masih menyala.

“Untuk Revano, cukup dia yang bahagia. Aku udah nggak perlu apa-apa lagi.”

Gavin menatap punggung Arum lama. Dalam diam, ia tahu perempuan itu bukan hanya sedang kehilangan cinta, tapi juga sedang belajar berdamai dengan luka yang terlalu dalam untuk disembuhkan oleh waktu. Ia berdiri, berjalan pelan di belakang Arum, menjaga jarak namun tetap siap jika wanita itu runtuh.

Malam itu, tak ada kata cinta yang diucapkan. Tapi di antara dua jiwa yang sama-sama lelah itu, ada janji yang tak terdengar bahwa Gavin akan tetap di sana, bahkan ketika dunia memilih melupakan Arum.

Suara kicau burung samar-samar terdengar dari balik jendela kamar rawat. Cahaya matahari menembus tirai tipis, menimpa wajah kecil Revano yang tengah duduk di ranjang sambil memainkan boneka beruang kesayangannya. Bocah tiga tahun itu tampak lebih segar pagi ini, pipinya mulai berwarna, meski jarum infus masih menempel di tangan mungilnya.

Pintu kamar terbuka perlahan dan dia perlahan menoleh. Reghan melangkah masuk dengan langkah pelan, mengenakan kemeja biru muda dan jas panjang. Tatapannya langsung tertuju pada bocah kecil itu. Sejenak waktu berhenti, ia masih teringat jelas pertemuan pertama mereka beberapa hari lalu, ketika Revano tanpa sengaja menabraknya di koridor rumah sakit. Sejak saat itu, wajah mungil itu terus menghantui pikirannya.

Revano begitu melihat siapa yang datang, wajahnya langsung bersinar.

“Om!” serunya senang, suaranya jernih dan polos.

Reghan tersenyum hangat, berjalan mendekat.

“Eh, Levan masih ingat sama Om, ya?”

“Iya! Om yang nolong aku waktu aku jatuh, kan? Rlevan, Om bukan Levan. ” Revano menatapnya dengan mata berbinar, lalu melanjutkan dengan polos, “Mama bilang Om baik. Papa Gavin juga bilang Om kerja di tempat keren banget.”

Reghan tertawa kecil, menahan emosi yang berputar di dadanya. Ia duduk di tepi ranjang, mengusap kepala bocah itu lembut. “Om senang kamu inget Om. Sekarang Revan harus sembuh cepat, ya. Mama pasti sedih kalau kamu sakit terus.”

Revano mengangguk cepat, lalu bertanya polos, “Om punya anak nggak?”

Pertanyaan sederhana itu membuat Reghan terdiam. Tenggorokannya terasa kering. Ia menatap mata Revano, mata yang sama persis seperti miliknya di masa kecil bentuknya, warnanya, bahkan sorotnya.

“Belum…” jawab Reghan lirih, hampir seperti bisikan. “Tapi kalau Om punya, Om mau anaknya kayak kamu.”

Revano tersenyum bangga, lalu menepuk tangan Reghan dengan polos. “Kalau gitu aku aja jadi anak Om. Tapi jangan bilang Mama, nanti Mama marah.”

Reghan menunduk, bahunya bergetar menahan senyum getir. Ia menatap bocah itu lama, lalu berbisik pelan,

“Om janji nggak akan bikin Mama kamu marah lagi.”

Saat itulah pintu kamar terbuka sedikit. Bu Nara muncul di ambang pintu, memberi isyarat hati-hati bahwa Arum dan Gavin akan segera kembali dari ruang dokter, Reghan segera berdiri.

“Om mau pergi?” tanya Revano lirih, seolah tak ingin pertemuan itu berakhir.

Reghan mengusap kepala bocah itu lembut. “Iya, tapi Om bakal datang lagi, Om janji.”

Revano tersenyum kecil, melambaikan tangan. “Dadah Om…”

Reghan keluar, tapi langkahnya berat. Di balik pintu, ia sempat menoleh sekali lagi. Dalam hati ia berjanji apapun yang terjadi, anak itu harus hidup.

Di sisi lain rumah sakit, Arum dan Gavin duduk di hadapan dokter, spesialis anak yang menangani Revano. Wajah Arum pucat pasi, matanya sembab, sementara Gavin duduk di sampingnya dengan wajah menegang.

Dokter menatap hasil pemeriksaan yang ada di tangannya. “Bu Arum, Dokter Gavin … kami sudah mencoba mencari pendonor yang cocok. Tapi sampai sekarang belum ada yang sesuai dengan sel sumsum tulang belakang Revano.”

Arum menggigit bibirnya, air mata hampir jatuh. “Jadi … tidak ada cara lain, Dok?”

Dokter itu menghela napas berat, lalu menatap keduanya dengan pandangan serius.

“Jika Tuan Reghan tidak memungkinkan menjadi pendonor karena kondisi fisiknya, maka satu-satunya alternatif medis adalah…” Ia berhenti sejenak, memberi jeda sebelum melanjutkan,

“Ibu harus kembali memiliki bayi dari ayah biologis Revano. Darah tali pusar saudara kandungnya berpotensi besar menjadi donor yang cocok.”

Kata-kata itu menghantam ruang hening. Arum mendongak perlahan, menatap dokter itu dengan mata membulat tak percaya.

“Dok … apa maksud Anda, saya harus…”

Suaranya tercekat, tidak sanggup melanjutkan kalimat itu. Dokter tersebut mengangguk kecil. “Secara medis, itu opsi paling aman. Saya tahu ini keputusan yang sulit, tapi jika dilakukan, peluang kesembuhan Revano meningkat drastis.”

Arum menatap kosong, jantungnya berdegup tak karuan. Tangannya meremas rok yang dikenakannya, tubuhnya gemetar hebat.

“Tidak … tidak mungkin. Saya tidak bisa kembali ke masa itu, saya tidak mau…”

Gavin menatap dokter itu tajam, nadanya menekan. “Dok, tolong … jangan paksa dia berpikir sejauh itu sekarang.”

Dokter hanya menghela napas. “Saya hanya menyampaikan fakta medis, Dok. Keputusan tetap ada pada pihak keluarga.”

Arum berdiri dengan langkah goyah, kursi di belakangnya tergeser keras. “Aku nggak bisa … aku nggak bisa melakukannya.”

Air matanya jatuh satu per satu, dadanya naik turun tak teratur. “Aku sudah mati sekali karena dia. Jangan suruh aku mati dua kali dengan luka yang sama.”

Gavin segera menahan pundaknya, menatapnya penuh khawatir. “Tenang dulu, Arum. Kita cari jalan lain, ya? Aku di sini, aku nggak akan ninggalin kamu.”

Namun di dalam hati, Gavin tahu, dokter itu tidak salah. Dan di balik setiap air mata Arum, ada rasa takut yang begitu dalam. Takut jika Reghan kembali masuk dalam hidupnya, dia tidak akan sanggup membencinya lagi.

1
Mama AldyNovi
kyaknya tiap malam hujan deh
Nidah Hanidah
dehhhh heran, emang disitu gak ada cctv ya, kok gak di cek dlu
Surati
Bagus ceritanya 👍🙏🏻
Sunny Sunny
bagus, gak bertele2 alurnya, tokoh Dr Gavin sgt mulia, mencintai tidak berarti memiliki 🙏, cuma sayang tokoh yg jahat kok gak bertobat ya, kyk si mantan
Aisyah Alfatih: buang mantan pada tempat nya 🙊
total 1 replies
Zila Kamsirah
Terima kasih saya suka jalan cerita ini
Nilovar Beik
novel ini AQ tamatkan bacanya dlm sehari...bagus banget
Aisyah Alfatih: terima kasih kak 💕
total 1 replies
Nilovar Beik
bagus Oma...gercep sekali
Nilovar Beik
kasiannya Arum...tega bener ya
Wonti Sudarmi
foto Arum Revano dan reghan mana auotor



foto Arum Revano dan reghan mana
ken darsihk
Arum masih ragu dngn semua nya
ken darsihk
Pelan2 Reaghan jangan memaksa semua nya akan baik2 sajah , klo kamu nya sabar
ken darsihk
Semoga sajah x ini tidak ada lagi prahara yng mengacaukan rumah tangga mereka
ken darsihk
Aq lanjut baca lg thor 🌹🌹👍
Shankara Senja
baru nemu,trus baca eh..pengen tutup buku..maaf saya ga suka wanita lemah dngn berbagai alasan..yg tdnya kabur dngn satu alasan ga masuk akal kembali lg..byeeeee
Shankara Senja
kan..gampang,simpel..udah bucin..mo berdarah darah jg balik lg..
Shankara Senja
ga usah pake kabur deh klo ujung ujung nya bersatu lg....cape cape in aja
ken darsihk
Syedih 😭😭😭😭
Rajo kaciak
/Sun//Sun//Sun/
Rahpuji Haningrum
Oma Hartati sadar diri, kamu dulu yang membiarkan hukum cambuk tanpa dengarkan siapa yang salah
Rahpuji Haningrum
rasakan reghan, cinta kok membiarkan istri dicambuk.
lihatlah dulu siapa yang salah.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!