Setelah kematian ayahnya, Risa Adelia Putri (17) harus kembali ke rumah tua warisan mendiang ibunya yang kosong selama sepuluh tahun. Rumah itu menyimpan kenangan kelam: kematian misterius sang ibu yang tak pernah terungkap. Sejak tinggal di sana, Risa dihantui kejadian aneh dan bisikan gaib. Ia merasa arwah ibunya mencoba berkomunikasi, namun ingatannya tentang malam tragis itu sangat kabur. Dibantu Kevin Pratama, teman sekolahnya yang cerdas namun skeptis, Risa mulai menelusuri jejak masa lalu yang sengaja dikubur dalam-dalam. Setiap petunjuk yang mereka temukan justru menyeret Risa pada konflik batin yang hebat dan bahaya yang tak terduga. Siapa sebenarnya dalang di balik semua misteri ini? Apakah Bibi Lastri, wali Risa yang tampak baik hati, menyimpan rahasia gelap? Bersiaplah untuk plot twist mencengangkan yang akan menguak kebenaran pahit di balik dinding-dinding usang rumah terkutuk ini, dan saksikan bagaimana Risa harus berjuang menghadapi trauma, dan Pengkhianatan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bangjoe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 19: Ancaman dan Bekas Luka
Risa merasakan napasnya tertahan di tenggorokan. Udara di sekitarnya terasa menipis, digantikan oleh aroma melati yang kini terasa seperti racun, menusuk indra penciumannya dan memutar isi perutnya. Mata Bibi Lastri, yang baru saja memancarkan ancaman dingin, kini menyorot tajam ke arah liontin kunci di leher Risa. Jari-jari lentik wanita itu, yang semula mengusap kakinya, kini terhenti, seolah siap menerkam.
“Kunci ini… kamu tahu sesuatu, Risa?” Suara Bibi Lastri berbisik, nadanya terdengar seperti desisan ular, sangat berbeda dari kelembutan palsu yang sering Risa dengar. Senyum tipisnya masih mengembang, namun hanya sampai di bibir, tidak mencapai matanya yang gelap, penuh selubung misteri yang mengerikan. Risa merasa jantungnya berpacu gila-gilaan, berdentum keras di dadanya seolah ingin menerobos keluar. Ia mencoba bicara, namun kerongkongannya tercekat, lidahnya kelu.
Bekas luka bakar samar di tangan kanan Bibi Lastri yang baru saja ia lihat, kini tampak lebih jelas, terpantul cahaya rembulan yang samar-samar masuk dari jendela. Bentuknya tak biasa, berliku-liku seperti jejak sesuatu yang terbakar hebat, mungkin bukan hanya oleh api. Sebuah kengerian baru merayapi Risa, bukan lagi sekadar bayangan atau bisikan, melainkan ancaman nyata, berdiri hanya sejengkal darinya, dengan tatapan mengintimidasi dan senyum yang mematikan.
“Jawab aku, Risa. Apa yang ibumu katakan padamu? Apa yang kamu lihat malam itu?” Bibi Lastri menekan, suaranya kini lebih tinggi, lebih mendesak. Tangannya yang memiliki bekas luka itu kini bergerak mendekat, seolah ingin meraih liontin di leher Risa. Risa refleks menarik napas dalam, tubuhnya menegang. Rasa sakit di kakinya seolah menghilang, digantikan oleh adrenalin murni. Ia tidak bisa membiarkan Bibi Lastri mengambil kunci itu. Itu satu-satunya pengingat ibunya, satu-satunya petunjuk yang ia punya.
“Aku… aku tidak tahu apa-apa, Bi!” Risa berhasil memaksakan suaranya keluar, serak dan gemetar. “Aku… aku tidak ingat apa pun tentang malam itu. Aku hanya… aku hanya takut.”
Bibi Lastri terkekeh pelan, tawa yang tak ada lucunya, justru terdengar merindingkan. “Takut? Oh, Risa. Ketakutanmu itu… manis sekali. Tapi kebohonganmu… itu tidak manis sama sekali.” Mata Bibi Lastri menyipit, menatap Risa dengan sorot yang menelanjangi. “Kamu pikir Bibi bodoh? Kamu pikir Bibi tidak tahu kamu mondar-mandir di kamar ibumu? Atau mungkin kamu lupa, siapa yang selalu membersihkan jejak-jejak kecilmu?”
Risa terkesiap. Jadi Bibi Lastri tahu? Selama ini? Napas Risa kembali tersendat. Perasaannya campur aduk antara takut, marah, dan sakit hati. Wanita yang selama ini ia anggap sebagai walinya, orang dewasa yang seharusnya melindunginya, kini berdiri di sana, mengintimidasinya, seolah menjadi monster yang ia cari selama ini.
“Liontin ini… ini hanya kunci biasa, Bi,” Risa mencoba bertahan, memegangi liontinnya erat-erat di bawah selimut. “Ini… ini hanya kenang-kenangan.”
“Kenang-kenangan?” Bibi Lastri tersenyum sinis. “Kunci sebuah kamar kosong? Kunci sebuah rahasia, mungkin? Jangan meremehkan Bibi, Risa. Bibi tahu semua yang terjadi di rumah ini. Bahkan saat kamu masih kecil, Bibi tahu. Bibi tahu segalanya.” Jari-jari Bibi Lastri semakin mendekat, dan Risa bisa merasakan ujung kukunya yang panjang dan dingin menyentuh kain selimut yang menutupi lehernya. Ia tahu, Bibi Lastri akan merebut liontin itu jika ia tidak segera bertindak.
Dengan sisa-sisa keberanian yang ia miliki, Risa tiba-tiba mendorong tangan Bibi Lastri menjauh dengan sedikit kekuatan yang ia miliki. Gerakannya refleks, tidak terencana, namun cukup membuat Bibi Lastri sedikit terhuyung ke belakang. Wajah Bibi Lastri langsung berubah. Senyumnya lenyap, digantikan oleh ekspresi kaget yang disusul amarah yang membara di matanya.
“Berani-beraninya kamu, Risa!” Bibi Lastri mendesis, suaranya kini penuh ancaman. “Kamu pikir kamu bisa melawan Bibi? Kamu tidak tahu apa-apa tentang Bibi, tentang rumah ini, tentang ibumu!” Ia kembali melangkah maju, sorot matanya yang gelap kini memancarkan sesuatu yang lebih dari sekadar amarah, seperti rasa haus yang tersembunyi, siap menelan Risa hidup-hidup. Aroma melati yang memuakkan itu semakin pekat, bercampur dengan bau aneh yang Risa yakini adalah bau cat minyak yang baru tercium jelas. Atau darah?
Risa merapatkan punggungnya ke sandaran ranjang, mencoba menjauh sejauh mungkin. Kakinya yang bengkak terasa nyeri hebat, namun ia tidak peduli. Ia hanya ingin menjauh dari tatapan mengerikan itu, dari wanita yang kini menjelma menjadi orang asing yang menakutkan. Ia melihat Bibi Lastri mengulurkan tangan kanannya lagi, yang memiliki bekas luka bakar itu, seolah ingin mencengkeram lehernya.
“Kamu akan menyesal, Risa,” suara Bibi Lastri terdengar di atas kepalanya, dekat sekali. “Sangat menyesal.”
Tiba-tiba, dari luar kamar, terdengar suara gedoran keras di pintu depan. *DUG! DUG! DUG!* Suara itu memecah keheningan mencekam, mengagetkan Risa dan, yang lebih mengejutkan, Bibi Lastri. Tubuh wanita itu menegang, matanya sedikit melebar, dan gerakan tangannya terhenti di udara, hanya beberapa sentimeter dari leher Risa. Tatapan amarahnya sedikit melunak, tergantikan oleh sedikit kekhawatiran yang samar.
“Siapa itu? Malam-malam begini?” gumam Bibi Lastri, lebih kepada dirinya sendiri. Gedoran itu berulang, lebih keras dan tidak sabar. *DUG! DUG! DUG!* Disusul oleh suara panggilan yang familiar, namun terdengar agak panik.
“Risa! Risa, kamu di dalam? Risa, ini Kevin!”
Jantung Risa serasa melompat ke tenggorokan. Kevin! Ia datang! Sebuah harapan kecil menyelinap masuk, merobek sedikit selubung ketakutan yang mencekiknya. Bibi Lastri menoleh ke arah pintu kamar, lalu kembali menatap Risa dengan tatapan tajam, namun kali ini ada sedikit kepanikan yang tersembunyi di baliknya. Senyumnya yang tadi mematikan kini menghilang sepenuhnya. Rahangnya mengeras.
“Dia datang lagi,” desis Bibi Lastri, suaranya rendah dan penuh ketidaksenangan. “Anak itu… selalu saja ikut campur. Kamu beruntung kali ini, Risa.” Ia menarik tangannya, menjauh dari Risa. “Tapi ingat, ini belum berakhir. Bibi akan mencari tahu apa yang kamu sembunyikan. Dan saat itu terjadi… tidak akan ada yang bisa menyelamatkanmu.”
Dengan ancaman terakhir itu, Bibi Lastri berbalik, melangkah cepat menuju pintu kamar. Ia membuka pintu dan melirik tajam ke belakang, memastikan Risa tidak mengikuti atau berteriak. Sorot matanya saat itu membuat Risa menggigil. Ia bergegas keluar, menutup pintu kamar Risa dengan suara *klik* yang memekakkan, seolah mengunci Risa di dalam sangkar kengeriannya sendiri.
Risa terdiam, napasnya tersengal-sengal. Tubuhnya gemetar hebat, sisa adrenalin membuat otot-ototnya tegang. Ia menarik selimut hingga menutupi lehernya, mencengkeram liontin kunci dengan sekuat tenaga. Kevin… Kevin menyelamatkannya. Entah bagaimana, Kevin selalu muncul tepat waktu. Tapi ancaman Bibi Lastri… itu bukan gertakan kosong. Risa merinding membayangkan apa yang akan terjadi jika Kevin tidak datang. Ia benar-benar dalam bahaya besar. Bibi Lastri tahu. Bibi Lastri tahu segalanya. Dan bekas luka bakar di tangan itu… apa artinya? Pertanyaan itu berputar-putar di benaknya, namun jawaban terasa semakin jauh, tersembunyi di balik kegelapan yang pekat.
Di luar, Risa mendengar suara Bibi Lastri yang tiba-tiba berubah ramah, menyapa Kevin dengan nada yang jauh berbeda dari yang ia gunakan padanya. “Kevin? Ya ampun, Nak. Ada apa malam-malam begini? Kok teriak-teriak gitu? Risa sudah tidur, mungkin kecapekan.”
Suara Kevin, terdengar sedikit lega namun masih sarat kecemasan, menembus dinding kamar. “Maaf, Bi. Aku cuma khawatir. Tadi siang Risa bilang kakinya sakit, aku takut kenapa-kenapa. Aku WA dia tidak dibalas, telepon juga tidak diangkat.”
Risa menutup matanya, menahan napas. Bibi Lastri berbohong, seperti biasa. Dan Kevin… dia datang karena khawatir. Hatinya menghangat, namun rasa takut masih menguasai. Ia tahu Bibi Lastri pasti sedang menyeringai di luar, memainkan perannya sebagai wali yang baik. Risa tidak bisa berteriak, tidak bisa meminta tolong. Ia terperangkap. Tapi setidaknya, ia punya Kevin. Kevin adalah satu-satunya harapan. Harapan yang rapuh di tengah cengkeraman monster yang kini menunjukkan wujud aslinya.