Namanya Elisa, dia terlahir sebagai putri kedua dari keluarga Hanggara, namun hal itu tak membuat nasibnya bagus seperti kakaknya.
Dia bahkan dikenal sebagai perempuan arogan dan sangat jahat di kalangannya, berbeda dengan kakaknya yang sangat lembut dan pandai menjaga sikap.
Marvin Wiratmadja, adalah putra dari Morgan Wiratmadja. Terlahir dengan kehidupan super mewah membuatnya tumbuh menjadi orang yang sedikit arogan dan tak mudah di dekati meski oleh lawan jenisnya.
Namun siapa sangka, ketertarikannya justru tertuju pada seorang gadis yang dikenal berhati busuk dan semena-mena bernama Elisa Hanggara.
Bagaimana takdir akan mempertemukan mereka?
Baca episodenya hanya disini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sujie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Nomor Tak Dikenal
Tapi rupanya mereka telah lupa, bahwa selain Stevi masih ada putri mereka yang lain, yang juga butuh kasih sayang yang sama.
"Lisa, tentu saja kau adalah putri kandung Mama juga. Tapi sayang, Mama mohon padamu, hormati dan sayangi kak Stevi. Jangan terus membuatnya menangis, Nak." Sebagai seorang ibu Maria pun tak sampai hati harus mengeraskan hatinya terus menerus. Bagaimanapun keduanya juga sama-sama adalah putri kandungnya.
Ia juga ingin sekali membina hubungan baik dengan Lisa, sama seperti kedekatannya dengan Stevi.
Tapi entahlah, rasanya setiap kali ia ingin memeluk Lisa, setiap kali itu juga seperti ada tembok pembatas yang begitu tinggi lantaran Lisa yang selalu nampak arogan di hadapan mereka.
"Lisa lelah, Ma. Harus berapa kali Lisa bilang, Lisa sekalipun tidak pernah walau hanya mencubitnya. Kenapa kalian selalu menganggapku menjahatinya?"
"Sayang, ayolah ... sampai kapan kau terus menolak dan tidak mau mengakui kenyataan? Kak Stevi bahkan sudah berulang kali memaafkan mu meski kau tidak pernah memintanya. Tidak bisakah kalian akur satu sama lain? Putri Mama hanya ada dua, tidak bisakah kau berbaik hati dan berhubungan baik dengan kakakmu?" Maria mengusap punggung Lisa yang sedang duduk di atas ranjangnya. Ia berharap Lisa akan luluh dengan ucapannya.
Sebagai orang tua ia juga sangat sedih melihat hubungan keluarga di dalam rumahnya tidak pernah bisa harmonis. Selalu ada saja yang membuat mereka berdebat.
"Jika saja kak Stevi tidak seperti itu padaku, tentu aku akan masih menyayanginya. Perlu Mama tahu, sekalipun kalian membedakan ku sejak kecil, aku tidak pernah sakit hati. Meski kak Stevi yang selalu menjadi nomor satu bagi kalian, aku juga tidak masalah karena memang kak Stevi dari dulu juga berprestasi. Tapi jika dia sudah kelewat batas menghancurkan kehidupanku, jelas aku tidak akan membuka lagi pintu persudaraan sedikitpun untuknya." Lisa berkata dengan nada dingin.
"Apa maksudmu? Menghancurkan yang seperti apa?" tanya Hanggara dengan serius.
"Memangnya Papa pikir semua masalah yang datang padaku itu sumbernya dari siapa? Tidak lain dan tidak bukan adalah kak Stevi, Pa!" ujar Lisa dengan penuh penekanan di akhir kalimatnya.
"Jangan suka menuduh sembarangan, Lisa! Semua bukti sudah didepan mata, kenapa kau justru melimpahkan semua kesalahan pada kakakmu?" Hanggara menampakkan raut wajah kecewanya.
Sementara Lisa tersenyum sumbang. Sudah berulang kali ia mendengar jawaban itu dari ayahnya.
"Jika memang begitu, untuk apa lagi kalian masih berusaha mencari tahu dariku? Jika semua yang ku katakan tidak bisa membuat kalian percaya." Lisa menatap mata ayah dan ibunya dengan penuh arti.
"Sudahlah, Papa lelah harus selalu berdebat denganmu. Jika kau ingin berubah, semuanya masih belum terlambat. Ayo, Ma! Biarkan saja dia dengan pendiriannya itu. Semoga saja suatu saat dia bisa lebih dewasa dan dengan lapang dada mengakui segala kesalahannya."
Hanggara langsung keluar dari kamar Lisa begitu saja setelah mengatakan hal itu. Begitu pun Maria, meskipun ia masih ingin berbicara banyak dengan putrinya, namun dia juga tidak bisa membantah suaminya.
Ia keluar dan menutup pintunya dengan pelan, ia masih sempat melihat wajah putrinya yang tertunduk ditempatnya.
Lisa menoleh ke samping saat ponselnya tiba-tiba berdering ketika dia sedang menatap kosong lantai kamarnya.
Nomor siapa ini? gumam Lisa heran.
Ia lalu menggeser layar ponselnya dan menempelkan ponsel itu di telinganya.
"Halo!" sapanya dengan suara serak.
"Lisa, ini aku, Marvin." Orang diujung telepon memperkenalkan diri dengan antusias.
"Marvin? Ada apa?" Lisa berusaha menetralkan suaranya agar tak se-serak tadi.
"Lisa, kau sakit?" tanya Marvin saat mendengar Lisa berdehem .
"Tidak Marvin, aku hanya sedikit tidak merasa nyaman di tenggorokan," jawab Lisa asal.
"Ku kira kau sakit. Oh ... ya, apa besok aku boleh menjemputmu?" tanya Marvin. Sungguh dia saat ini sedang salah tingkah di kamarnya. Kakinya bersandar di kepala ranjang sementara tubuhnya berguling ke kanan dan ke kiri saking senangnya bisa mendengar suara Lisa di telinganya.
"Tidak usah Marvin, nanti aku merepotkan mu," tolak Lisa halus. Bukannya apa-apa, jika Marvin menjemputnya ia justru khawatir kalau kakaknya akan memanfaatkan hal ini untuk membuat reputasinya semakin buruk.
Atau yang lebih buruk, Stevi akan membuat Marvin menjauhinya seperti yang dulu-dulu.
Banyak lelaki yang menyukai Lisa sejak gadis itu masih berumur belasan tahun. Hal itu karena paras Elisa yang cantik, juga karena kemolekan tubuhnya.
Namun pada akhirnya, mereka menjauhi Lisa perlahan-lahan. Bahkan tak sedikit juga yang memandang jijik padanya setelah mendengar rumor tentangnya.
"Tapi Lisa, aku tidak keberatan sama sekali meski jaraknya sejauh bumi dengan bulan." Marvin masih bersikukuh. Tapi perkataannya justru membuat Lisa terkekeh.
"Lisa kau tertawa? Kau meragukan ku?" tanyanya tak terima, tapi senang juga mendengar gadis itu terkekeh seperti itu.
"Tidak Marvin, tapi aku ingin berangkat sendiri saja."
"Baiklah, kita lihat saja besok. Apakah kau bisa menolak ku," ujar Marvin lalu menutup teleponnya begitu saja agar Lisa nya tidak bisa membantah ataupun menolak lagi.
hmm🤔, bisa jdi sih..atau mngkin kembaran stevi kh!!??