Guang Lian, jenius fraksi ortodoks, dikhianati keluarganya sendiri dan dibunuh sebelum mencapai puncaknya. Di tempat lain, Mo Long hidup sebagai “sampah klan”—dirundung, dipukul, dan diperlakukan seperti tak bernilai. Saat keduanya kehilangan hidup… nasib menyatukan mereka. Arwah Guang Lian bangkit dalam tubuh Mo Long, memadukan kecerdasan iblis dan luka batin yang tak terhitung. Dari dua tragedi, lahirlah satu sosok: Iblis Surgawi—makhluk yang tak lagi mengenal belas kasihan. Dengan tiga inti kekuatan langka dan tekad membalas semua yang telah merampas hidupnya, ia akan menulis kembali Jianghu dengan darah pengkhianat. Mereka menghancurkan dua kehidupan. Kini satu iblis akan membalas semuanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zen Feng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 6: MALAM TAWA DAN MALAM MISTERI
Kota Long Ya tidak pernah tidur, terutama di distrik hiburan "Paviliun Bunga Merah".
Lampion-lampion merah bergoyang genit ditiup angin malam, memancarkan cahaya remang yang memabukkan. Aroma arak mahal, bedak wanita, dan asap candu bercampur menjadi satu, menciptakan udara yang berat dan manis.
Di ruang VIP paling mewah di lantai atas, tawa riuh meledak.
"Habiskan! Malam ini tidak ada gelas yang boleh kering!"
Mo Feng, putra sulung sekaligus jenius kebanggaan Klan Mo, mengangkat cawan emasnya tinggi-tinggi. Wajah tampannya memerah karena mabuk, matanya sayu namun berkilat liar. Dua wanita cantik bergaun sutra transparan menggelayut manja di kiri kanannya, menuangkan arak langsung ke mulutnya.
"Hidup Tuan Muda Feng!" seru para penjilat di sekeliling meja bundar itu. Mereka adalah teman-teman seperguruannya dari Akademi Long Ya.
Meja itu berantakan. Tulang daging asap berserakan, kendi-kendi arak terguling. Suasana begitu hidup, penuh nafsu dan kesombongan masa muda.
Namun, di tengah hiruk pikuk itu, seorang pemuda dengan bekas luka di pipi meletakkan gelasnya dengan keras.
"Hei, bicara soal Klan Mo..." ujarnya dengan nada mengejek yang sengaja dikeraskan. "Kalian ingat si sampah itu? Siapa namanya? Mo Long?"
Seketika, tawa di meja itu berubah nada. Dari tawa pesta menjadi tawa cemoohan.
"Hahaha! Si cacat itu?" sahut yang lain sambil menggebrak meja. "Aku dengar dia berhenti di tahun ketiga karena Dantian-nya tidak bereaksi sama sekali. Benar-benar aib bagi keluarga kultivator!"
"Kudengar dia nekat ikut ujian kelayakan minggu depan?" timpal seorang gadis penghibur, mencoba ikut dalam pembicaraan.
Mo Feng perlahan menurunkan cawannya. Senyum di wajahnya berubah miring, kejam.
"Adikku yang malang itu..." Mo Feng mendengus, memainkan rambut wanita di pangkuannya. "Dia memang keras kepala. Harusnya dia sadar diri dan menjadi petani kotoran saja di desa."
"Lalu, Tuan Muda Feng..." pemuda bekas luka itu mencondongkan tubuh, matanya berkilat licik. "Jika saat ujian nanti kau bertemu dengannya di arena... apa yang akan kau lakukan?"
Ruangan itu hening sejenak. Musik kecapi seolah berhenti bernapas.
Mo Feng menyeringai. Gigi putihnya tampak kontras dengan suasana remang.
"Aku akan mematahkan kakinya," ucapnya santai, seolah sedang bicara soal mematahkan ranting kering. "Lebih baik dia lumpuh seumur hidup di tempat tidur daripada berkeliaran mempermalukan nama ayahku."
"Ganas sekali! Hahaha!"
Tawa mereka kembali meledak, lebih keras dari sebelumnya.
Namun, tawa itu terpotong oleh suara langkah kaki berat yang menaiki tangga.
"Tawa yang bagus, Mo Feng."
Semua kepala menoleh. Di ambang pintu, berdiri seorang pria berkimono hitam dengan lambang "Bangau Perak" di dadanya. Dua pengawal bertubuh raksasa berdiri di belakangnya seperti tembok daging.
"Jin Yu?" Mo Feng menyipitkan mata, tidak beranjak dari kursinya. "Kau mengganggu pestaku."
"Kau berhutang padaku, Bocah Tengik," ucap pria bernama Jin Yu itu dingin. "Tiga ribu keping emas untuk pil kultivasi yang kau beli bulan lalu. Jatuh temponya hari ini."
Mo Feng terkekeh. Ia melempar cawan emasnya hingga menggelinding di lantai. "Hutang? Kau pikir siapa yang kau tagih? Aku Mo Feng! Calon pewaris Klan Naga Bayangan!"
"Aku tidak peduli kau anak Kaisar sekalipun. Bayar atau mati!"
Jin Yu memberi isyarat. Kedua pengawal raksasa itu meraung, aura Qi merah menyala menyelimuti tubuh mereka. Hawa panas langsung memenuhi ruangan, membuat para wanita menjerit ketakutan dan lari berhamburan.
"Serang dia!"
Salah satu pengawal melompat, tinjunya yang sebesar gentong menghantam ke arah kepala Mo Feng. Meja kayu hancur berkeping-keping terkena gelombang kejutnya.
"Membosankan," gumam Mo Feng.
Tepat sebelum tinju itu mendarat, tubuh Mo Feng meledak menjadi asap hitam.
WUSH!
Pengawal itu meninju udara kosong. Ia bingung, menoleh ke kiri dan kanan.
"Di sini, Babi Bodoh."
Suara Mo Feng terdengar dari segala arah. Asap hitam itu berputar, membelah diri menjadi lima bayangan hitam yang bergerak liar di dinding dan langit-langit.
"Teknik Langkah Bayangan Hantu!" seru salah satu teman Mo Feng dengan kagum.
Jin Yu pucat pasi. "I-itu teknik tingkat tinggi..."
Tiba-tiba, kelima bayangan itu menyatu kembali di belakang punggung ketiga penagih hutang itu. Mo Feng sudah berdiri di sana, tangan kanannya diselimuti aura hitam pekat yang berputar seperti bor, membentuk kepala naga yang mengaum tanpa suara.
"Kau menagih hutang padaku?" bisik Mo Feng di telinga Jin Yu.
"Pukulan Naga Bayangan!"
BLARR!
Hantaman itu telak mengenai punggung ketiga orang itu sekaligus. Energi hitam menembus tubuh mereka, keluar dari dada dalam bentuk cakar bayangan.
Tidak ada teriakan. Tubuh mereka terpental laksana layang-layang putus tali, menjebol dinding kayu rumah bordil, dan jatuh bebas ke jalanan di bawah sana.
GEDEBUK!
Hening.
Di ruangan yang hancur itu, Mo Feng berdiri tegak. Aura hitam perlahan memudar dari tangannya. Ia menatap lubang besar di dinding dengan tatapan bosan.
"Hutang lunas," gumamnya datar. Lalu ia berbalik menatap teman-temannya yang gemetar kagum. "Hei! Kenapa musiknya berhenti? Pesta belum selesai!"
Malam itu di Long Ya, nama Mo Feng semakin ditakuti. Namun tak ada yang tahu, monster yang sesungguhnya sedang lahir di tempat lain.
Sementara itu, jauh di kedalaman tanah di bawah Paviliun Patriark.
Suasana di sini bertolak belakang dengan keriuhan rumah bordil. Di sini sunyi, dingin, dan berbau kematian.
Langkah kaki Mo Han dan Mo Long menggema di lorong batu sempit yang hanya diterangi obor redup. Bayangan mereka memanjang di dinding, menari-nari aneh seolah hidup.
"Untung kakakmu berbakat," suara Mo Han memecah keheningan. Nadanya datar, tanpa emosi. "Dia satu-satunya alasan Dewan Tetua belum mendesakku untuk membuangmu."
Mo Long tidak menjawab. Ia hanya terus berjalan di belakang punggung lebar ayahnya, menatap kegelapan di depan.
Akhirnya, lorong itu bermuara pada sebuah ruangan berbentuk lingkaran raksasa.
Napas Mo Long tertahan.
Ini bukan sekadar ruang rahasia. Ini adalah kuil pemujaan kekuatan.
Dinding ruangan itu dipahat menyerupai tubuh naga hitam raksasa yang melingkar. Sisik-sisiknya begitu detail hingga tampak nyata. Ekor naga itu melilit di lantai, sementara kepalanya menyembul di langit-langit, menatap ke bawah dengan mata batu delima yang menyala.
Mulut naga itu terbuka lebar.
Di antara taring-taringnya yang tajam, melayang sebuah bola hitam seukuran kepala manusia. Bola itu berdenyut pelan, memancarkan aura kegelapan yang begitu pekat dan murni hingga membuat udara di sekitarnya terdistorsi.
Di bawah bola itu, terdapat meja altar dari batu obsidian hitam. Di atasnya, sebuah peti kecil dan dua kitab kuno tergeletak.
Mo Han berjalan mendekati altar, lalu berbalik menatap putranya. Wajah sang Patriark tampak lebih tua dan lelah di bawah cahaya bola hitam itu.
"Katakan padaku, Mo Long. Apa kau benar-benar ingin menjadi pendekar Qi? Atau ini hanya bualan sesaat karena egomu terluka?"
"Saya serius, Ayah," jawab Mo Long mantap. Tatapannya tidak lepas dari bola hitam di atas sana.
Mo Han mengangguk pelan. "Kalau begitu... apa kau siap mengikuti Ujian Kelayakan minggu depan? Untuk yang keempat kalinya?"
"Saya siap. Dan kali ini, saya tidak akan keluar arena dengan ditandu."
"Dan setelah itu?" desak Mo Han, matanya memicing tajam. "Jika kau lulus, apa kau berniat mendaftar ke Akademi Kultus Iblis Pusat?"
Jantung Mo Long berdegup kencang.
Akademi Kultus Iblis. Tempat paling brutal di seluruh benua. Tempat di mana membunuh sesama murid dianggap sebagai 'latihan'. Tapi, itu juga tempat terbaik untuk mendapatkan kekuatan dengan cepat demi menghancurkan Fraksi Ortodoks.
"Iya. Saya akan masuk ke sana," jawab Mo Long dingin. "Saya akan mendaki sampai ke puncak, dan menyeret nama Klan Naga Bayangan kembali ke masa jayanya."
Mo Han terdiam. Ia menatap putranya lamat-lamat, mencari keraguan. Namun yang ia temukan hanyalah ambisi yang membara.
"Baiklah. Ambisimu lebih besar dari kemampuanmu. Tapi aku suka itu."
Mo Han meletakkan tangannya di atas peti kecil di meja altar.
"Klan kita didirikan oleh tangan kanan Chun Ma, Sang Iblis Surgawi. Darah kita adalah darah penakluk. Tapi lihat kita sekarang... terpuruk di kota pinggiran ini."
KLIK.
Mo Han membuka peti itu.
Cahaya ungu kehitaman memancar keluar. Di dalam peti, terbaring sebuah botol kecil berisi cairan hitam pekat yang bergejolak seperti air mendidih.
"Kau tahu teknik 'Ledakan Eliksir'?" tanya Mo Han.
Mata Mo Long membelalak. Ia tahu teknik gila itu. Teknik terlarang yang memaksa Dantian yang cacat atau tertutup untuk terbuka dengan cara meledakkan energi murni di dalamnya. Risikonya fatal: kematian atau kelumpuhan total.
"Saya tahu," jawab Mo Long pelan.
"Ini adalah Eliksir Hei Long. Dibuat dari darah Naga Bayangan dan racun seribu kaki," jelas Mo Han, menyodorkan botol itu beserta dua kitab kuno di sampingnya. "Dan ini adalah kitab teknik dasar 'Napas Naga Hitam'.
Mo Han menatap mata putranya dalam-dalam.
"Aku memberimu waktu lima hari. Minum ini, latih tekniknya. Jika dalam tiga hari kau tidak mati dan Dantianmu terbuka... temui aku. Aku akan mendaftarkanmu."
Tangan Mo Long terulur, mengambil botol dingin itu. Ia bisa merasakan getaran energi ganas di dalamnya.
"Tapi ingat, Mo Long," suara Mo Han memberat, penuh peringatan. "Jika kau gagal... jika kau mati... mayatmu akan kubuang ke hutan untuk makanan serigala. Klan Naga Bayangan tidak butuh mayat yang tidak berguna."
Mo Long menggenggam botol itu erat. "Saya mengerti. Saya tidak akan mengecewakan Ayah."
"Pergilah."
Mo Long membungkuk hormat, lalu berbalik pergi. Namun sebelum ia mencapai pintu lorong, suara ayahnya kembali terdengar, kali ini lebih pelan, hampir seperti gumaman pada diri sendiri.
"Lihat bola hitam itu?"
Mo Long berhenti, menoleh ke atas. Bola hitam di mulut patung naga itu masih berdenyut misterius.
"Itu adalah Intipati Hei Long," ujar Mo Han, matanya memancarkan kerinduan yang mendalam. "Separuhnya telah diserap leluhur pendiri kita. Sisanya... belum ada yang mampu menyentuhnya selama ratusan tahun. Termasuk aku."
Mo Han menunjuk senjata pusaka—sebilah pedang lengkung hitam legam—yang terpajang di dinding.
"Jika suatu hari kau bisa menguasai 'Manifestasi Qi Sempurna' dan menyerap bola itu... maka pedang itu, dan seluruh klan ini, akan menjadi milikmu."
Napas Mo Long memburu.
Intipati Hei Long. Intipati dari Roh binatang buas legendaris.
Dalam kehidupan sebelumnya sebagai Guang Lian, ia pernah membaca tentang benda ini di perpustakaan terlarang Fraksi Ortodoks. Benda yang dikatakan mampu memberikan kekuatan setara Dewa Iblis bagi siapa pun yang menyatukannya dengan jiwa.
Sebuah senyum tipis, penuh arti, terukir di bibir Mo Long.
'Ternyata benda ini ada di sini...' batinnya.
Matanya berkilat merah sesaat dalam kegelapan.
'Tunggu aku, Hei Long. Saat aku kembali nanti... kau akan menjadi makananku.'
Jangan lupa like dan subscribe apabila kalian menikmati novelku 😁😁