NovelToon NovelToon
When The Game Cross The World

When The Game Cross The World

Status: sedang berlangsung
Genre:Kehidupan di Sekolah/Kampus / Transmigrasi ke Dalam Novel / Kebangkitan pecundang / Action / Harem / Mengubah Takdir
Popularitas:454
Nilai: 5
Nama Author: Girenda Dafa Putra

Dunia pernah mengenalnya sebagai Theo Vkytor—penulis jenius di balik Last Prayer, karya horor yang menembus batas antara keimanan dan kegilaan. Tapi sejak kemunculan Flo Viva Mythology, game yang terinspirasi dari warisan kelam ciptaannya, batas antara fiksi dan kenyataan mulai runtuh satu per satu. Langit kehilangan warna. Kota-kota membusuk dalam piksel. Dan huruf-huruf dari naskah Theo menari bebas, menyusun ulang dunia tanpa izin penciptanya.

Di ambang kehancuran digital itu, Theo berdiri di garis tak kasat mata antara manusia dan karakter, penulis dan ciptaan. Ia menyaksikan bagaimana realitas menulis ulang dirinya—menghapus napasnya, mengganti jantungnya dengan denyut kode yang hidup. Dunia game bukan lagi hiburan; ia telah menjadi kelanjutan dari doa yang tidak pernah berhenti.

Kini, ketika Flo Viva Mythology menelan dunia manusia, hanya satu pertanyaan yang tersisa.

Apakah Theo masih menulis kisahnya sendiri… ataukah ia hanya karakter di bab yang belum selesai?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Girenda Dafa Putra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Menyangkal Tanggung Jawab

...Chapter 6...

Ia ingin membuktikan sesuatu.

Bukan untuk membalas dendam, tapi untuk menegaskan perbedaan antara makna kemurnian dan kebusukan dalam dunia yang sudah kehilangan batas antara realitas dan permainan.

Dan bagi Theo, setiap kali mendengar tawaran itu, ada rasa takut bercampur muak—bukan karena gentar menghadapi kekuatan Erietta, melainkan karena ia tahu itu berarti harus menatap ciptaan orang lain dalam wujud yang lebih murni dan lebih benar daripada dirinya sendiri.

Sebab itulah Theo membenci gadis ini.

Bukan karena Erietta kejam, bukan pula karena gadis itu terus menantangnya tanpa henti.

Ia membenci Erietta karena gadis itu adalah cermin.

Cermin nan memantulkan kebusukan yang dulu ia tulis untuk orang lain, namun mendadak berbalik, kini kembali menatapnya dengan jernih, tanpa cela, tanpa rasa iba.

Dari kedalaman tatapan Erietta yang beku, Theo menyaksikan bayangannya sendiri—seorang penulis yang hendak mengingkari tanggung jawab atas dunia yang diilhami oleh karyanya.

Dunia itu sekarang menagih hutang dari sang asal muasal, dari setiap kata yang dulu disematkan dalam novel, jauh sebelum dijadikan rujukan untuk menuliskan Flo Viva Mythology, semesta permainan nan begitu mempesona.

‘Baiklah, seharusnya aku berhenti berbicara sendiri seperti orang sinting.

Dunia ini tidak memerlukan kata-kataku, lebih-lebih ratapanku.’

“Erietta, maksudku hanya satu—Ilux, apakah dia—”

"Jangan sekali-kali menyebut nama Ilux.

Bukan untuk itu aku datang ke sini."

Wusssh!

“Kedatanganku hanyalah untuk memenuhi bagian perjanjian yang kita sepakati beberapa hari lalu.”

Kembali lagi ke masa kini, pada detik yang melarut di antara bau logam, debu, dan cahaya lembut nan menembus celah atap gudang tua,

Theo sempat membuka mulut.

Hanya sedikit, hanya untuk menanyakan satu hal sederhana.

‘Bagaimana keadaan Ilux Rediona, bocah yatim piatu yang dulunya ia pandang sebagai jantung kisah Flo Viva Mythology, kini menjadi figur yang hidup di dunia yang sama dengannya?’

Namun niat itu tak sempat menjadi suara.

Di hadapannya, Erietta Bathee telah berdiri tegak, diam seperti patung yang diciptakan bukan dari batu, melainkan dari tekad yang tak mengenal kompromi.

Hanya dengan satu gerakan tangan ringan dan tatapan dingin tanpa makna, gadis itu membungkam Theo sepenuhnya, membuat udara di antara mereka membeku bagai kaca yang siap retak oleh satu hembusan.

Theo menelan napas nan terasa lebih berat dari sebelumnya.

Dalam keheningan, waktu seperti menolak bergerak.

Erietta tidak berbicara banyak—iia tak pernah berbicara banyak—namun isyaratnya sudah cukup jelas.

‘Jangan menyinggung nama Ilux, jangan menyinggung masa lalu, jangan menyinggung apa pun nan menyangkut perasaan yang seharusnya sudah mati.’

Gadis itu, dengan tubuh langsingnya yang diselimuti cahaya samar, tampak seperti perwujudan dari dunia ini sendiri.

Keindahan tak tersentuh dan kekejaman yang tak bisa dinegosiasikan.

Theo, meski tahu bahwa kata-kata adalah satu-satunya senjata yang pernah dimiliki, kini dipaksa menyerah pada kesunyian, menelan rasa ingin tahu seakan racun nan menetes perlahan di dasar lidah.

Erietta kemudian bergerak.

Langkahnya nyaris tak terdengar, tak menapak di dunia yang sama dengan Theo.

Di tangannya terdapat sesuatu—bukan pedang, bukan senjata, melainkan benda kecil nan terbungkus dengan kain putih berlapis mantra.

Cahaya hijau lembut merembes keluar dari sela-sela kain, menari singkat di udara sebelum lenyap seperti debu cahaya.

Itu bukan hadiah, bukan pula hukuman.

Itu adalah hasil dari sebuah kesepakatan yang Theo bahkan hampir lupa pernah dibuat.

Dan kini, dengan mata yang memantulkan kehampaan abadi, Erietta menyerahkannya tanpa kata, tanpa emosi, seolah benda itu hanyalah bagian dari ritual yang harus diselesaikan agar dunia tidak terguncang lebih jauh lagi.

‘Ini lucu, bukan? Dunia yang dulu kutahu dan kanggap nyata, kini nyaris musnah.

Dan dari semua yang ikut binasa dalam kekacauan ini, cuma buku ini yang masih setia menemaniku.

Hanya kau yang masih mengaku, yang masih percaya aku ada?’

Fuuuuh!

‘Maka, aku pun mulai mencatat.

Segala kenangan yang masih melekat—bagian-bagian vital, tokoh-tokoh yang akan hadir, hingga momen genting nan akan dialami sang protagonis, Ilux Rediona.

Semua kutelaah untuk mencari pola dalam narasi dunia ini, berusaha mengubah jalan cerita agar aku dapat bertahan dari plot berdarah dan penuh kepedihan nan mungkin telah menanti

Dan menurut perkiraanku, kita sekarang sampai di penghujung episode ketiga, arc pertama.

Pada titik inilah Ilux ditakdirkan untuk mengalahkan sosok Ar’tushamth.’

Beberapa hari sebelum pertemuan itu, dunia yang Theo kenali sebagai rumah telah lenyap tanpa sisa.

Langit nan dahulu biru lembut kini berganti menjadi kubah berwarna zamrud, dan setiap hembusan angin terasa mengandung algoritma—bukan oksigen.

Gedung-gedung yang dulu berdiri megah di tengah kota kini runtuh, berganti menjadi menara-menara suci dari batu yang memancarkan aura tenaga Lu, sementara jalanan aspal berubah menjadi jalur tanah berlapis simbol kuno yang berdenyut seolah hidup.

Dunia nyata telah ditelan, direkonstruksi, dan dijahit ulang oleh tangan tak kasatmata milik dunia game Flo Viva Mythology.

Dan di tengah perubahan besar itu, Theo hanya bisa menjerit dalam hati.

Ia memanggil nama-nama yang tak lagi bisa menjawab, berdoa kepada Tuhan yang entah masih ada atau sudah terhapus dari kode realitas baru ini.

Namun tidak ada suara yang datang.

Tidak ada jawaban.

Hanya gema bisu nan menelannya bulat-bulat, mengonfirmasi bahwa ia benar-benar sendirian dalam dunia yang dulu dianggap sekadar permainan.

Di antara sisa-sisa ketakutan yang masih berusaha ia jinakkan, Theo mulai melakukan hal yang paling logis menurutnya.

Memetakan dunia.

Ia tahu alur game ini luar kepala, hafal setiap titik peristiwa besar yang membentuk jalannya cerita.

Dengan sisa-sisa naluri sebagai penulis dan pemain veteran, ia menggambar, mencatat, dan menandai lokasi-lokasi yang dianggap penting.

Ia tahu di mana Ilux Rediona seharusnya lahir, di mana pertempuran pertama terjadi, bahkan di mana tokoh pendukung seperti Erietta Bathee pertama kali muncul.

Tapi ada sesuatu yang janggal.

Dunia ini tidak sekadar meniru game-nya.

Ia hidup.

Ia bernafas.

Ia berkembang di luar batas narasi.

Dan itulah yang membuat Theo gemetar setiap kali menatap peta buatannya—peta yang kini terasa seperti catatan seorang nabi nan kehilangan kendali atas nubuatnya sendiri.

Namun kejutan terbesar datang saat Theo memperhitungkan kembali jalur peristiwa yang seharusnya terjadi di titik waktu ini.

Berdasarkan jadwal naratif yang ia tahu, dunia seharusnya sedang berada di akhir arc pertama, episode ketiga—saat Ilux Rediona, sang protagonis, menghadapi makhluk suci jatuh bernama Ar’tushamth.

Dalam game, adegan ini adalah salah satu momen paling ikonik, pertempuran brutal nan melambangkan kebangkitan sang anak yatim lemah menjadi pahlawan yang akan menandai awal sejarah.

Theo bahkan masih bisa mengingat animasi sinematiknya.

Cahaya merah berulang kali membelah langit, darah yang jatuh perlahan seperti hujan, dan wajah Ilux nan menatap kosong setelah pertarungan selesai.

'Jika ingatanku tidak keliru, alur setelah ini seharusnya berubah menjadi kacau.

Semuanya berawal dari sebuah kesalahan kecil—seorang siswa Akademi Bintang, anak dungu yang terlalu menginginkan pengetahuan terlarang, tanpa sengaja mendistribusikan benda najis bernamakan AY.

Benda itu beracun dan juga mengandung energi kosmik yang bisa dijadikan pintu—sebuah penghubung antarsemesta nan sepatutnya tak bisa disentuh oleh manusia.

Dan dari celah itulah, Ar’tushamth muncul.

Entitas yang dalam Flo Viva Mythology digambarkan sekadar sebagai "spiritual dan non-spiritual"—sebuah wujud yang mempertanyakan hakikat dirinya seraya menertawakan arti dari kedua sifat itu.

Bersambung….

1
Asri Handaya
semangat berkarya ya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!