Cerita ini adalah kelanjutan dari Reinkarnasi Dewa Pedang Abadi.
Perjalanan seorang dewa pedang untuk mengembalikan kekuatannya yang telah mengguncang dua benua.
Di tengah upaya itu, Cang Yan juga memikul satu tujuan besar: menghentikan era kekacauan yang telah berlangsung sejak ratusan tahun lalu, sebuah era gelap yang pada awalnya diciptakan oleh perang besar yang menghancurkan keseimbangan dunia. Demi menebus kesalahan masa lalu dan mengubah nasib umat manusia, ia kembali melangkah ke medan takdir.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nugraha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2 : Selalu Diganggu
Tujuh hari telah berlalu sejak hilangnya Li Wei. Di puncak Langit Biru seorang wanita berdiri dalam kesunyian sedang merenung di bawah langit yang luas. Ia adalah Tian Qing, yang selama beberapa hari terakhir tidak mau meninggalkan kediaman Li Wei. Wajahnya yang biasanya cerah kini tampak pucat, dihiasi oleh lingkaran hitam di bawah matanya.
Kelelahan yang jelas terlihat, beberapa hari terakhir ia tanpa henti mencari Li Wei bersama beberapa anggota sekte.
Dari arah belakang tiba tiba suara langkah kaki memecah kesunyian. Seseorang mendekat dengan langkah yang sangat tenang menuju Tian Qing.
“Qing’er, sudah lima hari kamu tidak meninggalkan tempat ini. Ayo pulanglah,” suara lembut itu namun ada ketegasan yang terdengar.
Tian Qing akhirnya menoleh ke arah suara itu dengan perlahan, matanya memancarkan kelelahan yang sulit disembunyikan. “Ayah, apa ada kabar tentangnya?”
Ketua Sekte Tian Ling menghela napas panjang, ia menatap putrinya dengan tatapan penuh kasih. “Belum Qing’er, Ayah belum menemukan jejaknya. Namun Ayah sudah mengerahkan beberapa anggota sekte untuk terus mencarinya.”
Mendengar jawaban itu Tian Qing kembali menunduk, ia menggigit bibir merahnya yang gemetar. “Ayah, pulanglah dulu, Aku masih ingin tetap di sini,” jawabnya dengan singkat.
“Qing’er...” ketua sekte Tian Ling melangkah lagi dan mendekat, tangannya akhirnya menyentuh bahu putrinya dengan lembut.
“Kamu tidak bisa terus seperti ini. Ayah tahu betapa dalam perasaanmu terhadapnya, tapi kamu juga harus menjaga kondisimu. Jika tubuhmu jatuh sakit bagaimana kamu bisa membantu mencarinya?”
Air mata yang selama ini ditahannya akhirnya mengalir perlahan. Tian Qing memalingkan wajahnya menatap langit senja yang memerah. “Ayah, aku... Aku merasa dia masih hidup dan berada di suatu tempat.”
langit sore mulai perlahan berubah menjadi malam, tetapi semangat Tian Qing tidak pernah padam. Dalam hatinya ia bersumpah akan terus mencari Li Wei meski harus mengorbankan waktu, tenaga, bahkan dirinya sendiri.
Sementara itu di sebuah gunung yang menjulang tinggi di Wilayah Bintang Tengah, seseorang berdiri tegap di atas tebing yang curam. Rambut putihnya berkibar tertiup angin memancarkan cahaya keperakan yang mirip dengan sinar bulan.
Pedang berwarna emas yang tersarung tergantung di punggungnya. Matanya yang tajam menatap sekeliling lembah mencoba merasakan udara di sekitarnya dengan tenang.
“Akhirnya, aku bisa merasakan kembali udara segar seperti ini,” gumam Cang Yan.
Namun, saat ia mencoba menggali ingatan yang tersisa, ia menyadari sesuatu yang janggal. Tempat ini terasa asing baginya, bahkan dalam kenangan Li Wei sekalipun.
“Huang Long, sebenarnya di mana kita sekarang?” tanyanya pada jiwa yang ada di dalam pedang emas di belakangnya.
“Aura di sini sangat berbeda Tuan,” jawab Huang Long dengan nada ragu. “Ini sepertinya bukan di Sekte Pedang Langit.”
Dahi Cang Yan mengernyit, tangannya meraih gagang pedang di punggungnya. “Bagaimana kita bisa keluar dari dimensi simbol kuno itu dan berakhir di tempat yang sama sekali berbeda?”
“Apa Mungkin dimensi itu rusak, Atau mungkin caraku keluar dari dimensi itu salah. Apa aku ceroboh?”
“Kemungkinan besar dimensi itu belum sepenuhnya mengenali aura jiwa yang Tuan gunakan. Akibatnya ia mengacak lokasi tempat keluar kita.” jawab Huang Long
“Kalau begitu di mana kita sekarang?” Cang Yan bertanya lagi nadanya semakin tajam.
“Aku pun tidak tau Tuan. Aura di sini terlalu asing, dan aku tidak bisa menemukan petunjuk apa pun yang mengarah ke Sekte Pedang Langit.”
Cang Yan menghela napas panjang, lalu memandang ke arah lembah yang terhampar di bawahnya. “Kalau begitu, kita cari tempat terdekat dulu. Setelah itu kita kumpulkan informasi. Lagipula…” Ia tersenyum kecil, “Aku sudah lama tidak menikmati arak?”
Huang Long mengeluarkan suara tawa pelan. “Hahaha, jika itu yang Tuan inginkan, aku akan memastikan kita menemukan tempat yang tepat untuk menikmati arak terbaik.”
Dengan tawa kecil di antara mereka, Cang Yan mulai menuruni gunung, melangkah menuju tempat yang mereka cari yaitu kedai arak..
Cang Yan melangkah pelan menuruni lereng gunung yang berbatu, Udara malam di Wilayah Bintang Tengah terasa dingin.
Jalan setapak yang ia lalui membawa Cang Yan menuju sebuah lembah yang lebih ramai, dengan nyala api unggun dari kejauhan menandai keberadaan para kultivator yang sedang berkemah. Aura spiritual yang berbeda-beda dari yang lemah hingga yang cukup kuat cukup untuk menarik perhatian Cang Yan.
“Sepertinya tempat ini penuh dengan orang-orang yang tidak sabaran,” gumam Cang Yan, matanya menyipit memperhatikan kerumunan kecil di kejauhan.
“Tuan, mereka sepertinya sudah menyadari keberadaan Anda,” ujar Huang Long dengan suara pelan namun tajam. “Pakaian Anda terlalu rapi, dan pedang ini terlalu menarik perhatian.”
Cang Yan tersenyum kecil dan langsung memperbaiki posisi pedangnya di punggungnya. “Jika mereka mencari masalah biarkan mereka datang, lagi pula aku sudah lama tidak menggerakan otot otot ini.”
Benar saja, tidak lama kemudian datang tiga sosok dari balik pepohonan. Mereka adalah para kultivator dengan penampilan lusuh namun menunjukan ekspresi penuh percaya diri. Salah satu dari mereka dalah seorang pria bertubuh besar dengan kapak besar di tangannya.
“Hai, kau berhenti, serahkan semua barang barang yang kau bawa.” seru salah satu pria yang bertubuh besar dengan lantang..
Cang Yan menatap mereka dengan pandangan datar. “Apakah kalian tidak memiliki pekerjaan lain gitu selain menghadang orang di tengah malam?”
Pria itu tertawa kasar. “Sepertinya Pedang di punggungmu itu lebih berharga. Serahkan, dan kami akan membiarkanmu pergi tanpa terluka.”
Cang Yan menghela napas pelan, kemudian tersenyum tipis. “Kalau kalian menginginkannya cobalah ambil dariku.”
Pria itu menggeram dengan marah dan memberikan isyarat kepada kedua temannya untuk menyerang. Aura mereka meningkat dengan tajam menunjukan bahwa mereka berada di tahap awal Roh Pemula. Namun, aura yang mereka keluarkan itu bagi Cang Yan seperti menghadapi angin sepoi-sepoi.
Cang Yan melangkah kedepan dan ditangannya dikelilingi oleh cahaya keemasan dari pedangnya yang kini telah berada di tangannya. Dengan satu tebasan, angin pedang yang tajam melesat dan memotong pepohonan di sekitarnya menjadi beberapa bagian.
Ketiga kultivator itu terpental jauh ke belakang, mereka merasakan aura yang menekan mereka seperti gunung yang tak tertahankan.
“Hahaha, bagaimana kalian mau mengambil pedang ini dariku, bahkan satu tebasan dari pedang ini saja tidak bisa kalian tahan. kekuatan kalian saja terlalu lemah.” ucap Cang Yan dengan nada datar, lalu ia melangkah melewati mereka yang terdiam mematung.
Huang Long tertawa terbahak bahak. “Tuan, padahal anda bisa membiarkan mereka menyerang terlebih dahulu, supaya kita terlihat lebih lemah..”
“Itu membuang buang waktu saja Huang Long. Tidak perlu,” jawab Cang Yan singkat.
Setelah Cang Yan meninggalkan para kultivator itu dan melewati lembah, Cang Yan akhirnya tiba di sebuah desa kecil yang tampak tenang di bawah cahaya lentera. Ia berjalan menuju sebuah kedai yang sederhana namun terlihat hangat, disana sudah tercium aroma arak yang menggoda.
Di dalam kedai, suasana sangat ramai oleh para kultivator, mereka sedang menikmati malam dengan tawa keras dan percakapan penuh cerita. Begitu Cang Yan masuk kedalam kedai seketika semua mata tertuju padanya.
Sarung pedang di punggungnya yang sangat mencolok dan auranya yang berbeda membuat para kultivator terdiam. Namun, ia tidak memperdulikan tatapan para kultivator itu, Cang Yan langsung mencari tempat duduk dan dia menemukan salah satu meja kosong yang berada di sudut ruangan.
Ia langsung duduk disana dan memanggil pelayan untuk menghampirinya.
"Siapkan arak terbaik yang kalian miliki," ujar Cang Yan singkat kepada pelayan.
Pelayan langsung bergegas dan tidak berani menunda, tidak lama pelayan itu langsung kembali dengan membawa sebuah botol arak yang tampak mewah. Ia meletakkannya di meja Cang Yan dengan penuh hormat.
"Ini adalah arak terbaik di kedai kami Tuan. Silakan dicoba."
Cang Yan mengangguk ringan sebagai tanda terima kasih, tetapi matanya masih tetap waspada, karena ia masih merasakan beberapa tatapan yang masih tertuju padanya, sebagian penuh rasa ingin tahu, dan sebagian lagi diliputi oleh rasa iri yang kental.
Dari sudut ruangan, seorang pria muda dengan pakaian mewah melangkah mendekat. Sikapnya sangat sombong, dan dari belakangnya diikuti oleh beberapa pengikut setia yang memandang rendah orang-orang di sekitarnya. Pria itu berhenti tepat di depan meja Cang Yan menatapnya dengan sorot penuh kesombongan.
“Hei, Kau dari sekte mana?” tanya pria itu sambil menatap pedang di punggung Cang Yan.
Cang Yan tidak memperdulikan pria itu, ia hanya fokus menyesap arak yang baru saja dihidangkannya.
Pria itu menggeram dengan marah, tetapi sebelum ia sempat berbuat sesuatu, tekanan aura besar tiba-tiba mengelilingi seluruh kedai. Wajah pria itu langsung memucat dan ia kemudian jatuh berjongkok di lantai dengan seluruh tubuhnya gemetar.
Cang Yan kemudian berdiri perlahan dan meletakkan satu batu spiritual tingkat menengah di meja. “Terima kasih atas araknya.”
Ia kemudian keluar dari kedai dengan tenang, meninggalkan suasana yang kembali riuh setelah kepergiannya.
Di luar kedai, Cang Yan berhenti di bawah pohon besar menikmati hembusan angin malam. Namun, aura tajam mulai mendekat dari berbagai penjuru. Sepuluh orang muncul dari bayang-bayang dan masing-masing dari mereka memancarkan kekuatan yang lebih kuat dari kultivator sebelumnya.
“Kelihatannya setelah aku bangun dari tidur panjang, aku benar benar tidak di ijinkan untuk menikmati suasana baru ini dengan tenang.” gumam Cang Yan sambil tersenyum tipis, jemarinya perlahan lahan meraih gagang pedang cahaya emas di punggungnya.