NovelToon NovelToon
DRAGUNOV SAGA : Love That Defies The Death

DRAGUNOV SAGA : Love That Defies The Death

Status: sedang berlangsung
Genre:Identitas Tersembunyi / CEO / Mafia / Romansa / Enemy to Lovers / Roman-Angst Mafia
Popularitas:413
Nilai: 5
Nama Author: Aruna Kim

Apollo Axelion Dragunov, seorang mafia berhati batu dan kejam, tak pernah percaya pada cinta apalagi pernikahan. Namun hidupnya jungkir balik ketika neneknya memperkenalkan Lyora Alexandra Dimitriv, gadis polos yang tampak ceroboh, bodoh, dan sama sekali bukan tipe wanita mafia.
Pernikahan mereka berjalan dingin. Apollo menganggap Lyora hanya beban, istri idiot yang tak bisa apa-apa. Tapi di balik senyum lugu dan tingkah konyolnya, Lyora menyimpan rahasia kelam. Identitas yang tak seorang pun tahu.
Ketika musuh menyerang keluarga Dragunov, Apollo menyaksikan sendiri bagaimana istrinya berdiri di garis depan, memegang senjata dengan tatapan tajam seorang pemimpin.
Istri yang dulu ia hina… kini menjadi ratu mafia yang ditakuti sekaligus dicintai.
❝ Apakah Apollo mampu menerima kenyataan bahwa istrinya bukan sekadar boneka polos, melainkan pewaris singgasana gelap? Atau justru cinta mereka akan hancur oleh rahasia yang terungkap? ❞

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aruna Kim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 6

Setelah upacara selesai, denting piano berganti menjadi alunan jazz lembut. Para tamu mulai berbaur, menyentuh gelas kristal, dan berbicara tentang betapa “uniknya” pasangan itu dengan nada basa-basi yang dibuat-buat.

Namun di antara keramaian itu, suasana di balik panggung justru terasa menegang.

Apollo berdiri di depan cermin tinggi di ruang rias belakang panggung, melepaskan sarung tangannya perlahan.

Cermin itu memantulkan sosoknya yang tegap, gagah, tapi matanya menyala dengan kemarahan dingin yang berusaha ia sembunyikan.

Tak lama, pintu terbuka pelan. Lyora masuk dengan langkah ringan, seperti tak menyadari badai di ruangan itu. Ia masih mengenakan gaun biru lautnya, tapi mahkota kecil di kepalanya miring, seperti baru saja disentuh angin.

“Kenapa kau lakukan itu?” suara Apollo terdengar berat, datar, namun penuh tekanan.

Lyora menoleh.

“Melakukan apa?” tanyanya polos, seperti anak kecil yang benar-benar tidak tahu.Apollo berbalik sepenuhnya, mendekat satu langkah.

“Kau tahu apa yang baru saja kau buat di depan tamu, di depan nenekku, di depan seluruh keluarga Dragunov?”

Lyora hanya diam, lalu menunduk menatap dua cincin di jarinya. “Aku hanya tak ingin memberikannya padamu.”

Keheningan menggantung.Apollo sempat terpaku. Kalimat sederhana itu justru memukulnya lebih keras daripada teriakan.

“Dan kenapa begitu?” tanyanya akhirnya, suaranya turun satu oktaf, nyaris seperti bisikan ancaman.

Lyora mendongak, menatap matanya kali ini tak ada senyum.“Karena aku tidak ingin cincin ini berakhir di tangan yang tak percaya pada cinta,” jawabnya tenang.

“Kau bisa memiliki janji di depan publik, tapi tidak hatiku.”Kata-katanya menggantung di udara, menembus keheningan seperti pisau tipis.

Apollo menatapnya lama. Di matanya ada kilatan antara kemarahan dan sesuatu yang lebih dalam , luka lama yang kembali diusik.

Ia tertawa pelan, sarkastik. “Kau benar-benar tak tahu tempatmu, Lyora.” Lyora menatapnya dengan tatapan sayu tapi tegas. “Mungkin. Tapi setidaknya aku tahu siapa aku.”

Sebelum Apollo sempat membalas, Eliot masuk tergesa dengan wajah cemas.

“Bos, kita punya masalah,”.

katanya cepat. “Seseorang baru saja mencoba menerobos keamanan belakang. Kamera menangkap sosok pria bertopeng perak, berbentuk rubah.”

Lyora menegang seketika. Apollo menatap Eliot, lalu kembali pada Lyora yang kini pucat. “Kau kenal dia?” .Lyora tak menjawab. Tapi tatapannya saja sudah cukup memberi jawaban.

Apollo menarik napas panjang, lalu melepas kan dasinya dengan gerakan kasar.“Amankan Lyora. Tutup semua pintu keluar. Aku akan menangani sisanya.”

Dan tanpa menunggu, ia melangkah keluar dari ruang rias, meninggalkan Lyora yang kini di jaga Johan dan Eliot.

Lampu taman berpendar lembut di halaman luar gedung pertunangan itu. Udara malam terasa dingin, lembap, dan berbau tanah basah setelah hujan sore tadi.

Apollo berdiri di depan pintu utama, dasinya longgar, langkahnya berat namun sigap. Matanya menatap lurus ke satu arah ke sosok pria bertopeng perak yang baru saja menyeberang halaman.

Pria itu tampak santai, langkahnya ringan seperti bayangan, membawa map kulit hitam di tangannya. Tapi begitu ia menyadari tatapan Apollo… langkahnya terhenti.

Keduanya saling menatap dalam diam selama beberapa detik yang terasa panjang.

Angin malam meniup halus jas hitam Apollo dan ujung mantel pria bertopeng itu.

Lalu tiba-tiba, pria bertopeng itu berbalik arah.

Tanpa suara, tanpa penjelasan. Ia lari.

Apollo mengumpat pelan, lalu berlari mengejarnya. Sepatunya menghantam bebatuan jalanan dengan keras. “Berhenti!” teriaknya tajam, suara yang cukup untuk membuat dua pengawal di gerbang tersentak.

Namun pria itu tidak melambat. Ia berlari melewati taman, membawa map itu erat-erat di dadanya. Apollo semakin dekat jaraknya tinggal beberapa meter saja. Dan tepat saat Apollo akan meraih bahunya—

Sebuah truk logistik melintas cepat dari arah kanan, membelah jalan dengan suara klakson yang memekakkan. Apollo terpaksa mundur selangkah cepat; hembusan angin dari laju truk itu hampir menghantamnya. Ia menutup wajahnya, dan saat pandangannya kembali terbuka—

Pria bertopeng rubah itu sudah menghilang.

Tak ada jejak. Tak ada suara. Hanya bau asap mesin yang tertinggal di udara.

Apollo berdiri di tengah jalan, dadanya naik turun menahan amarah. Tangannya mengepal keras, nyaris meremukkan ponsel di saku jasnya.

“Brengsek…” desisnya.Tak lama, langkah tergesa terdengar di belakangnya. Eliot dan Johan datang berlari, wajah keduanya serius.

“Bos! Kami—”

“Di mana kalian berdua tadi!?” bentak Apollo sebelum Eliot sempat menyelesaikan kalimatnya. “Kalian kubilang jaga Lyora! Aku sudah peringatkan, fokus di dia!”

Johan terdiam, menatap Eliot seolah meminta izin untuk bicara.Eliot menghela napas berat. “Itu justru yang ingin kami katakan.”

Apollo menoleh cepat, sorot matanya tajam. “Apa maksudmu?”

Eliot menelan ludah. “ Nona Lyora pergi, Tuan.”

“Apa?”

“Dia pamit ke toilet sekitar sepuluh menit lalu. Tapi saat pelayan memeriksa, toilet kosong. CCTV di lorong belakang menunjukkan pintu servis terbuka. Kami sudah kirim dua orang untuk menyisir.”

Dunia seolah berhenti sesaat.Apollo menatap kosong ke depan, ke arah jalan tempat pria bertopeng itu barusan menghilang. Ia menunduk, menahan napas, rahangnya mengeras.

“Jadi, malam ini… dia bukan hanya datang mengambil sesuatu,” gumamnya pelan. “Dia datang menjemput seseorang.”

Eliot dan Johan saling bertukar pandang, mulai menyadari arti kata-kata itu. Apollo kemudian mengangkat wajahnya, sorot matanya tajam dan berbahaya.

“Lock seluruh perimeter,” ujarnya dingin. “Tidak ada satu pun yang keluar dari area ini. Tutup gerbang. Dan temukan Lyora — sebelum aku sendiri yang melakukannya.”

Suara langkahnya bergema keras di aspal saat ia berbalik, menuju mobil hitam yang sudah menunggu di depan aula.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Langit malam mulai diselimuti kabut tipis. Lampu taman di sekitar gedung pertunangan berpendar lembut, memantulkan cahaya di genangan air yang tersisa di jalan. Suasana berubah mencekam.

Mobil-mobil tamu sudah pergi satu per satu, tapi halaman masih dipenuhi orang-orang keamanan yang mondar-mandir membawa radio. Apollo berdiri di depan mobil hitamnya, napasnya teratur tapi matanya merah tanda ia sedang menahan amarah yang hampir meledak.

Eliot datang sambil menenteng tablet keaman an, suaranya cepat dan tegas.“Rekaman CCTV menunjukkan Lyora keluar lewat pintu servis belakang, bos. Tapi dia tidak sendiri.”

Apollo menoleh cepat. “Apa maksudmu tidak sendiri?”

“Lihat ini.” Eliot memperlihatkan cuplikan video:

Lyora berjalan cepat melewati lorong sempit. Wajahnya tegang, tapi bukan seperti orang diculik , lebih seperti seseorang yang memilih pergi. Di belakangnya, pria bertopeng rubah itu muncul sekilas, lalu bayangannya menghilang di sudut kamera.

Apollo menatap layar itu lama, lalu menutupnya pelan.“Dia tidak menjerit. Tidak melawan.” Eliot mengangguk ragu. “Seolah dia tahu orang itu.”

Hening menggantung di antara mereka.

Hanya suara statis dari radio Johan yang terdengar dari kejauhan. “Perimeter barat bersih. Tidak ada tanda-tanda kendaraan keluar.”

Apollo mendengus, lalu menatap ke arah hutan kecil di belakang kompleks gedung. “Tidak mungkin mereka kabur lewat jalan utama. Dia pasti lewat jalur servis hutan.”

Tanpa berpikir panjang, ia melempar jasnya ke kursi mobil dan membuka bagasi. Dari sana, ia mengambil pistol kecil dan senter taktis.

Eliot menatapnya, sedikit panik. “Bos, kau mau ke sana sendiri? Kita belum tahu berapa orang di pihak mereka.”

Apollo menatapnya tajam, dingin. “Kalau aku menunggu kalian menyusul dengan laporan lengkap, Lyora sudah jadi mayat.”

Ia melangkah cepat, menyeberangi halaman, melewati taman mawar yang kini gelap dan sepi. Langkah kakinya menembus genangan air, membentuk cipratan di bawah sinar bulan.

Semakin ia masuk ke arah belakang gedung, semakin sunyi suasananya. Hanya suara ranting patah dan tiupan angin malam yang membuat bayangan tampak bergerak di antara pepohonan.

Lalu, dari kejauhan— Suara samar terdengar.

Langkah sepatu. Lalu… dentingan logam, seperti sesuatu terjatuh di tanah.

Apollo menyorotkan senternya. Sebuah gantungan kunci berbentuk kapal berkilat di atas tanah basah , benda yang pernah ia lihat di tangan Lyora di butik beberapa hari lalu.

Ia berjongkok, mengambilnya perlahan. Cahaya senter menyorot benda itu lama.

Dan di bagian belakang gantungan itu, kini tergores huruf kecil dengan ujung tajam, seolah baru diukir dengan terburu-buru:

“Jangan cari aku."

Apollo terdiam. Wajahnya perlahan menegang , bukan karena marah, tapi karena sesuatu yang lebih dalam: rasa ditinggalkan yang sama seperti dulu.

Langkah berat terdengar dari belakangnya Johan dan Eliot muncul dengan beberapa anggota keamanan. “Bos! Kami menemukan jejak ban kecil ke arah jalan menurun di sisi timur!” seru Johan.

Apollo tidak menoleh. Ia masih menatap gantungan kecil di tangannya. “Dia pergi, tapi meninggalkan jejak,” ucapnya dingin. Lalu ia bangkit, menyelipkan gantungan itu ke saku dalam jasnya.

Tatapannya kini berubah,bukan hanya marah, tapi bertekad. “Siapkan mobil kedua. Kita ke sisi timur. Kalau benar dia memilih kabur bersama pria bertopeng itu…”

ia berhenti sejenak, nada suaranya menurun, seperti mengandung ancaman yang tenang,

“…maka malam ini, satu di antara mereka tidak akan kembali hidup.”

Langit di atas mulai bergetar oleh suara guntur jauh di ujung kota , seolah ikut menandai awal perburuan yang baru saja dimulai.

1
tefa(♡u♡)
Thor, aku tunggu cerita selanjutnya, kasih kabar dong.
Aruna Kim: siap !. update menunggu
total 1 replies
shookiebu👽
Aduh, abis baca ini pengen kencan sama tokoh di cerita deh. 😂😂
<|^BeLly^|>
Ga nyangka bisa terkena hook dari karya ini. Jempol atas buat author!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!