NovelToon NovelToon
Mahira

Mahira

Status: sedang berlangsung
Genre:Berondong / Pengganti
Popularitas:8.5k
Nilai: 5
Nama Author: santi damayanti

“Aku kecewa sama kamu, Mahira. Bisa-bisanya kamu memasukkan lelaki ke kamar kamu, Mahira,” ucap Rangga dengan wajah menahan marah.
“Mas Rangga,” isak Mahira, “demi Tuhan aku tidak pernah memasukkan lelaki ke kamarku.”
“Jangan menyangkal, kamu, Mahira. Jangan-jangan bukan sekali saja kamu memasukkan lelaki ke kamar kamu,” tuduh Rukmini tajam.
“Tidak!” teriak Mahira. “Aku bukan wanita murahan seperti kamu,” bantah Mahira penuh amarah.
“Diam!” bentak Harsono, untuk kesekian kalinya membentak Mahira.
“Kamu mengecewakan Bapak, Mahira. Kenapa kamu melakukan ini di saat besok kamu mau menikah, Mahira?” Harsono tampak sangat kecewa.
“Bapak,” isak Mahira lirih, “Bapak mengenalku dengan baik. Bapak harusnya percaya sama aku, Pak. Bahkan aku pacaran sama Mas Rangga selama 5 tahun saja aku masih bisa jaga diri, Pak. Aku sangat mencintai Mas Rangga, aku tidak mungkin berkhianat.”

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon santi damayanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

mh 25a

Lima orang itu maju hampir bersamaan, langkah mereka menimbulkan gema pendek di lantai semen yang lembap. Bau besi karat dari bangunan tua menusuk hidung Doni, bercampur aroma keringat para penyerang.

Orang pertama melompat dengan tendangan tinggi. Doni melihat lututnya naik duluan—pertanda gerakan yang terlalu bisa ditebak. Ia memiringkan tubuh, merasakan hembusan angin menampar pipinya ketika tendangan itu lewat.

Tangan kanan Doni meluncur spontan. Kepalan jarinya menabrak perut lawan.

“Bugh—!”

Sang penyerang melipat tubuh, memegangi perut sambil merintih, “Argh…,” lalu jatuh berlutut.

Empat lainnya tidak menunggu. Mereka menerjang serempak; suara tapak kaki mereka bercampur dengan dengusan napas kasar.

Doni mundur setengah langkah untuk membuka ruang. Dia menangkis pukulan pertama—siku kirinya terasa bergetar menahan benturan. Dua orang lain mencoba melingkar ke samping. Doni merendahkan tubuh, memanfaatkan momentum mereka yang terlalu agresif. Tangkannya menghantam rusuk salah satu, sementara telapak tangannya mendorong dagu lawan lain hingga kepala itu terlempar ke belakang.

Pukulan ketiga menghajar lengannya, menimbulkan rasa panas menyusup hingga bahu. Doni mengerang pendek, tapi tubuhnya tetap bergerak. Ia menyambar kerah penyerang dan menariknya turun, membuat lawan itu menghantam lantai.

Tak sampai setengah menit, empat tubuh itu bergelimpangan, mengerang sambil memegangi bagian tubuh masing-masing. Napas Doni mulai hangat dan sedikit berat, tapi pikirannya tetap jernih.

“Wah, serang ramai-ramai!” teriak seseorang.

Hampir dua puluh orang keluar dari kegelapan lorong. Suara logam beradu terdengar saat beberapa dari mereka menggenggam pentungan.

Doni mengambil satu pentungan dari lantai. Beratnya pas di tangan, dingin menyentuh telapak. Ia memutar pergelangan, siap.

“Dasar anjing nakal,” gumamnya, lebih sebagai pelepas tegang daripada penghinaan.

Dengan gerakan yang tidak berlebihan, Doni menghindar dan memukul para penyerang yang tidak terkoordinasi. Setiap pukulannya membuat suara pendek bergema, diikuti jeritan kesakitan yang memantul pada dinding gedung tua itu. Debu jatuh dari langit-langit, bergetar oleh kegaduhan.

Doni mengusap pelipisnya yang mulai basah oleh keringat. Napasnya masih stabil.

“Ah, kalian ini merepotkan saja,” ujarnya sambil melempar pentungan yang baru saja ia gunakan.

Leo berdiri terhuyung, satu tangannya menekan perutnya yang berdenyut. Tatapannya tajam, tapi ada ketakutan yang tidak bisa ia sembunyikan.

“Siapa sebenarnya lu?” tanyanya dengan suara serak.

Doni melangkah keluar gedung. Udara malam yang lebih segar menyentuh wajahnya. Ia mendongak sedikit, menyadari betapa jauh tempat itu dari jalan umum.

“Ah, jauh dari jalan umum rupanya,” gumamnya.

Ia kembali masuk dengan langkah tenang. Di dalam, para penyerang yang masih sadar sudah berkumpul dalam diam. Wajah mereka pucat, sebagian memegangi bekas pukulan, sebagian lainnya hanya menunduk.

“Lemparkan kunci mobil,” ucap Doni dengan nada dingin.

Tidak ada yang menjawab. Keheningan itu membuat alis Doni bergerak naik.

“Di luar ada bensin. Gue bakar juga ini gedung,” katanya datar, tanpa meninggikan suara.

Seseorang langsung merogoh saku dengan tangan gemetar. Kunci mobil terlempar, memantul sekali sebelum Doni menangkapnya.

Tanpa menoleh lagi, Doni berlalu meninggalkan mereka.

“Bos, gimana ini?” bisik salah satu anak buah Leo, suaranya retak menahan panik.

Leo menatap pintu yang baru saja dilalui Doni, rahangnya mengeras.

“Kita akan buat perhitungan. Tunggu bokap gue pulang,” katanya sambil meringis menahan sakit.

Tepat pukul sebelas malam, Doni tiba di kantor polsek terdekat. Lampu halaman memantul pada bodi mobil yang ia parkir sembarangan. Ia turun tanpa menoleh, seolah tidak peduli kalau mobil itu bukan miliknya. Udara malam terasa lembap dan menusuk kulit. Dari ruang jaga terdengar suara petugas. Beberapa menit kemudian seorang polisi keluar dan memindahkan mobil itu ke halaman dalam.

Doni menghembuskan napas panjang lalu berjalan menuju kontrakannya. Setiap langkah membuat denyut di pelipisnya semakin terasa. Pukulan Leo tadi seperti meninggalkan batu panas yang terus ditekan pada kepalanya. Jalanan sepi, hanya suara serangga dan angin dingin yang menyapu tengkuknya.

Ia membuka pintu kontrakan perlahan, berusaha agar engsel tidak berdecit. Ruang tengah gelap, hanya bau kayu lama dan sedikit wangi sabun dari kamar mandi. Doni melangkah pelan, hampir seperti maling yang takut ketahuan. Ia bahkan menahan napas.

Tiba-tiba lampu menyala. Cahaya putih menusuk mata. Doni memicingkan pandangan.

Mahira berdiri di depan meja, tangan bertolak pinggang. Rambutnya sedikit berantakan, tapi tatapannya tajam seperti pisau.

“Pacaran terus sampai jam sebelas malam, ya?” suaranya dingin, penuh sindiran.

“Astaga, sayang kok belum tidur,” jawab Doni sambil menelan ludah.

“Sayang, sayang, sayang. Berapa wanita yang sudah kamu sebut sayang?” Mahira melangkah mendekat, mata mengerucut curiga.

Doni duduk di kursi tamu. Ia melepas sepatu sambil meringis. Gerakan kecil saja membuat kepalanya berdenyut.

“Kamu cemburu ya, sayang?” godanya, menahan tawa.

Mahira mendengus. “Cih, pede banget. Aku cuma tidak suka kamu terus berulah di sekolah. Pulang jam segini, besok pasti telat lagi. Kerjaan kamu pacaran saja. Selain Saras dan Lusi, pasti masih banyak yang kamu dekati.” Ia menyerahkan segelas air.

“Terima kasih, istriku sayang.” Doni meminum air itu sampai habis. Tenggorokannya terasa lega.

Mahira menatapnya seperti detektif. “Capek banget ya. Habis ngapain saja sama Saras?”

“Ya ampun, dia mah cuma…”

“Cuma apa?” Mahira memonyongkan bibir. “Cuma buat jadi mainan kamu? Kamu itu mending pinter. Sudah bandel, kurang pintar, masih playboy. Kadang heran sama siswi-siswi itu, kok bisa mengidolakan kamu.”

“Cemburu ya,” ulang Doni.

“Ngapain aku cemburu. Kamu itu bukan tipe aku.”

“Masa sih,” Doni kembali menggoda.

Namun tangannya reflek naik ke pelipis. Rasa nyeri itu menusuk tajam. Mahira langsung mendekat, wajahnya berubah panik.

“Kenapa kamu? Kepala kamu kenapa?”

Dalam hati Doni tersenyum. “Ah, dia panik. Kesempatan nih.”

Ia memegang kepalanya erat.

“Argh, sakit,” erangnya sambil merebahkan diri di kursi.

“Doni, kenapa kamu?” Mahira berjongkok, kedua tangannya memeriksa sisi kepala Doni. Kulit di pelipisnya memar biru keunguan.

“Sakit,” erang Doni lagi, memejamkan mata.

Mahira berdiri tergesa, hampir tersandung karpet. Ia berlari ke dapur. Doni membuka sebelah mata, melihatnya sibuk mencari lap dan mangkuk air.

“Hehe, dia peduli rupanya,” gumamnya lirih.

Mahira kembali dengan napas terengah membawa air dan lap basah. Ia menempelkan kompres ke pelipis Doni dengan gerakan hati-hati.

“Kamu kenapa sih. Kamu berantem ya. Ke rumah sakit yuk.”

“Jangan dibawa ke rumah sakit,” ringis Doni.

“Kenapa?”

“Takut jarum suntik.”

Mahira menepuk dada Doni. “Kamu bohong ya.”

“Argh, sakit.” Doni menggeliat dramatis, tubuhnya sedikit mengejang.

“Doni, kenapa lagi. Mana yang sakit?” Mahira makin panik. Ia memegang kepala Doni dengan dua tangan. Kedekatan itu membuat napas mereka hampir bertemu. Jantung Doni berdebar tak karuan.

“Minum obat, ya,” ucap Mahira, suaranya lembut tapi gemetar.

“Panggil Ibu saja,” ujar Doni manja.

“Waduh, jangan. Sudah malam. Jangan merepotkan orang tua.”

“Ibuku selalu memeluk dan mencium aku kalau aku sakit. Terus aku langsung sembuh.”

Mahira mencubit pinggang Doni. “Mesum kamu.”

Doni menggeliat lagi. “Mah, sakit. Mamah. Aku perlu pelukan mamah” ringis doni manja

Mahira menatap pelipis Doni, lalu menatap bibirnya sebentar. Wajahnya memanas.

mahira dalam dilema dihadapkan pada dua pilihan

“cium atau jangan”

1
puspa endah
ceritanya bagus thor susah di tebak
puspa endah
teka teki banget ceritanya👍👍👍👍 lanjut thor😍😍😍
Anto D Cotto
menarik
Anto D Cotto
lanjut crazy up Thor
partini
oh seperti itu
puspa endah
lanjut thor👍👍👍
puspa endah
banyak teka tekinya thor😄😄😄. siapa lagi ya itu....
anak buah doni kah?
puspa endah
woow siapakah Leo?
NP
ga jadi mandi di doni
puspa endah
🤣🤣🤣 lucu banget mahira n doni
partini
Leo saking cintanya sama tuh Kunti Ampe segitunya nurut aja ,,dia dalangnya Leo yg eksekusi hemmmm ledhoooooooooo
partini
sehhh sadis nya, guru ga ada harganya di mata mereka wow super wow
partini
hemmm modus ini mah
partini
apa Doni bukan anak SMA,, wah banyak misteri
puspa endah
wah kereen bu kepsek👍👍👍 hempaskan bu susi, bu anggi dan pak marno😄😄😄😄
partini
Reza takut ma bosnya 😂😂
sama" cembukur teryata
puspa endah
bagus mahira👍👍👍 jangan takut klo ga salah
puspa endah
doni kayaknya lagi menyamar
partini
daster panjang di bawah lutut ga Sampai mata kaki ya Thor
tapi pakai hijab apa ga aneh
NP: q kalo dirumah jg sering kayak itu ..to pake legging lengan pendek
total 3 replies
partini
hemmmm Doni ,, kenapa aku berfikir ke sana yah
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!