Anton selalu pulang dengan senyum hangat, perhatian yang tak berubah, dan alasan pekerjaan yang terdengar sangat wajar. Terlalu wajar, hingga Nayla tak pernah merasa perlu meragukannya.
Namun ketika satu demi satu kejanggalan kecil muncul, Nayla mulai dihadapkan pada kenyataan pahit. Pengkhianatan tak selalu datang dari sikap yang dingin, melainkan dari kehangatan yang dijaga dengan terlalu rapi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Caracaramel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
Anton pulang tepat pukul enam lewat sedikit. Seperti janjinya. Nayla sedang di dapur ketika suara pintu depan terbuka. Dia buru-buru mematikan kompor dan berjalan ke ruang tamu.
“Sayang,” sapa Anton sambil tersenyum.
Senyum itu, hangat, akrab, seperti Anton yang ia kenal selama ini. Tapi entah kenapa Nayla merasa senyum itu kini memiliki lapisan lain yang sulit ditebak.
“Kamu cepat pulang,” jawab Nayla.
“Aku bilang, kan? Hari ini nggak ada lembur.” Anton menaruh tas kerjanya, lalu mencium kening Nayla. “Kamu sudah makan?”
“Belum. Nunggu kamu.”
Anton terlihat senang mendengarnya. “Oke. Aku mandi dulu, habis itu kita makan bareng.”
Saat Anton melangkah ke kamar mandi, Nayla memperhatikannya dari belakang. Langkahnya, posturnya, kebiasaannya, semua sama seperti yang dia kenal selama belasan tahun rumah tangga.
Tapi tetap saja, ada rasa lain yang menyelinap.
---
Mereka makan malam bersama di ruang keluarga. Dea belum pulang, masih di perpustakaan. Dia bilang akan makan di luar.
Anton mengaduk sup buatan Nayla. “Ini enak banget. Kamu pakai resep yang baru ya?”
Nayla tersenyum tipis. “Iya. Kamu suka?”
“Suka banget. Kamu memang jago kalau soal masak.”
Nayla menatapnya. “Mas…”
“Hm?”
“Kemarin kamu capek banget, ya.”
Anton tersenyum padanya, lembut. “Iya. Tapi hari ini lebih ringan.”
Nayla mengangguk, pura-pura fokus pada makannya. Padahal yang ingin ia tanyakan adalah hal lain. Hal yang membuat dadanya terasa berat sejak kemarin. Tapi, lidahnya terasa kelu.
Anton, yang memperhatikannya diam-diam, akhirnya bertanya, “Kamu masih kepikiran soal toko emas itu?”
Pertanyaan itu membuat jantung Nayla mencelos. “Eh? Enggak,” jawabnya cepat. “Aku udah bilang kan, aku percaya kamu.”
Anton menurunkan sendoknya. “Nayla.”
Nada suaranya berubah lembut, tapi serius.
“Aku nggak mau kamu simpan sesuatu sendiri. Kalau kamu nggak nyaman, bilang.”
Nayla menggeleng. “Bukan itu. Aku cuma… ya, kemarin memang sempat kaget. Tapi setelah kamu jelasin, ya sudah.”
Anton menatap wajahnya beberapa detik, seolah berusaha memastikan apakah kata-kata Nayla benar. Lalu ia mengangguk pelan.
“Kalau ada apa-apa, ngomong, ya?”
“Iya,” jawab Nayla hampir berbisik.
Suasana makan malam kembali hening.
Namun hening yang berbeda. Kali ini hening yang tidak nyaman.
Nayla menusuk potongan wortel di mangkuknya sambil berpikir, Mengapa aku seperti ini? Mengapa setiap gerakannya sekarang terasa harus aku baca? Mengapa aku takut kalau terlalu lama menatap matanya? Hal-hal itu membuatnya gugup, padahal Anton belum melakukan apa pun yang nyata.
***
Setelah makan malam, Anton duduk di sofa sambil memeriksa beberapa dokumen kerja. Nayla duduk di ujung lain sofa, memegang ponselnya tapi tidak benar-benar membaca apa pun.
“Besok ada rencana apa?” tanya Anton tanpa mengangkat kepala.
“Biasa. Belanja mingguan.”
“Kamu mau aku temani?”
Pertanyaan itu membuat Nayla menoleh. “Kamu nggak kerja?”
“Ada rapat siang, tapi pagi aku bisa temani kamu.”
Nayla terpaku beberapa detik. Anton jarang menawarkan hal seperti itu. Biasanya jadwalnya penuh.
“Kalau kamu bisa, aku bakal senang,” jawab Nayla pelan.
Anton tersenyum dan menutup map dokumennya. “Ya sudah. Kita belanja bareng besok.”
Nayla menunduk, jantungnya terasa aneh. Perhatian Anton seharusnya membuatnya lega. Tapi justru menimbulkan rasa campur aduk. Seolah Anton sedikit terlalu manis hari ini, atau mungkin hanya perasaan Nayla saja.
***
Pukul delapan lewat lima belas, pintu depan terbuka.
“Ma, Pa, Princess pulang!” Dea berseru ceria.
Anton berdiri dan memanggilnya, “Sini!”
Dea memeluk mereka bergantian, lalu duduk di karpet sambil membuka kotak makanan ringan. “Tadi belajar banyak sama Vina. Aku sampe puyeng!”
Anton tertawa. “Papa bikin mie telur mau?”
“MAUUUU!” Dea berseru. “Tapi aku udah makan tadi sama Vina.”
“Ya sudah. Kamu makan lagi. Biar cepat besar,” kata Anton sambil langsung berdiri menuju dapur.
Sementara Dea mengunyah keripiknya, ia menatap Nayla. “Ma, kenapa Mama kelihatan sedih?”
Nayla terkejut kecil. “Mama sedih? Enggak, Dea. Mama cuma capek.”
“Beneran?”
Nayla tersenyum, mengusap kepala putrinya. “Beneran. Kamu jangan khawatir.”
Namun Dea menatap Nayla lebih lama, seolah ia bisa membaca sesuatu pada wajah ibunya yang bahkan Nayla sendiri tidak mampu jelaskan.
Anton kembali membawa mie hangat.
Suasana menjadi ramai. Ceria. Tawa Dea memenuhi ruang keluarga.
Setelah makan mie buatan Anton, Dea naik ke kamarnya untuk mandi. Anton sedang mencuci piring yang ia pakai, sementara Nayla berdiri di dekat meja dapur, merapikan tisu yang tidak perlu dirapikan.
“Kenapa kamu berdiri saja di situ?” tanya Anton sambil tersenyum kecil.
“Enggak. Aku cuma mau lihat kamu,” jawab Nayla.
“Lihat aku?” Anton meledek halus. “Memangnya aku lagi show?”
Nayla tertawa singkat. “Nggak. Kamu jarang masak.”
“Ya makanya, tiap masak harus diapresiasi,” jawab Anton ringan.
Nayla mengangguk sambil tersenyum. Tapi tatapan matanya terlihat sedikit jauh.
Anton menoleh, memperhatikan istrinya sebentar. “Nay, kamu nggak apa-apa, kan?”
“Ya. Aku baik.”
“Nayla.”
Nada Anton berubah lebih rendah.
Ia menutup keran, mengeringkan tangan, lalu mendekatinya. “Aku kenal kamu. Kamu lagi mikirin sesuatu.”
Nayla menelan ludah. Tubuhnya menegang, bukan karena takut, tapi karena tidak tahu harus menjawab apa.
Ia tidak ingin berbohong. Tapi, juga tidak ingin menjadi istri yang menuduh tanpa bukti.
“Aku cuma masih terpengaruh kejadian kemarin,” akhirnya Nayla berkata jujur sebagian. “Foto itu.”
Anton menghela napas. “Sayang, aku sudah jelasin. Masa kamu nggak percaya aku?”
“Aku percaya,” balas Nayla cepat. Terlalu cepat.
Anton memiringkan kepala sedikit, mengamati raut wajah Nayla. “Kalau kamu percaya, kenapa ekspresi kamu seperti orang yang sedang nyimpan tanda tanya besar?”
Nayla memalingkan wajah. “Aku juga nggk tahu. Mungkin karena semua terjadi berbarengan. Kamu sering pulang larut, lalu foto itu, aku kaget. Itu saja.”
Anton mengangguk pelan. “Aku ngerti. Aku minta maaf kalau beberapa hari ini kelihatan sibuk banget.”
Ia mengusap lengan Nayla lembut. “Perusahaan lagi banyak tekanan, Nay. Investor minta laporan tambahan, aku harus siap. Belum lagi aku harus minta laporan dari tim audit dan benar-benar harus teliti.”
Nayla menatapnya, mencoba membaca apakah kata-kata itu tulus atau hanya sekadar alasan. Tapi wajah Anton tetap sama seperti biasanya. Tenang dan jujur. Tidak ada tanda-tanda ia sedang menyembunyikan sesuatu.
“Kalau bisa,” lanjut Anton, “aku juga nggak mau pulang malam terus. Aku juga capek. Tapi ini sementara aja aku pulang malam terus, kok.”
Nayla mengangguk, matanya mulai berkaca sedikit.
Anton menarik tubuh Nayla pelan dan memeluknya. “Hei, Sayang, jangan dipikirin sampai kamu sedih begitu.”
“Aku nggak sedih,” jawab Nayla lirih. “Cuma cemas.”
Anton mengecup pelipisnya. “Aku di sini, kan?”
“Besok kita belanja bareng,” kata Anton sambil mengusap punggungnya. “Setelah itu kita makan di luar. Sudah lama kita nggak belanja bareng.”
Nayla mengangguk dalam pelukannya. “Iya, boleh.”
Anton tersenyum. “Bagus.”
Dea turun dari tangga sambil bersuara, “Ma! Pa! Aku mau es krim!”
Mereka berdua melepaskan pelukan itu, sedikit kikuk. Dea tidak sadar apa pun, hanya tersenyum cerah seperti biasa.
Anton langsung menjawab, “Oke! Papa beliin. Sekalian kita keluar bentar nyari udara.”
Dea bersorak bahagia dan meraih tangannya.
Anton menoleh ke Nayla. “Kamu ikut?”
Nayla mengangguk, tersenyum kecil. “Iya. Ayo.”
Tiga orang itu berjalan keluar rumah. Pergi bersama. Selama beberapa menit, bahkan Nayla pun hampir percaya bahwa semuanya benar-benar sebaik itu.