NovelToon NovelToon
Istri Paksa Tuan Arka

Istri Paksa Tuan Arka

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / CEO / Cinta Terlarang
Popularitas:3k
Nilai: 5
Nama Author: S. N. Aida

Alya, gadis kelas 12 yang hidup sederhana, terkejut saat mengetahui ayahnya terlilit hutang besar pada Arka Darendra — CEO muda paling berpengaruh di kota itu.

Saat debt collector hampir menyeret ayahnya ke polisi, Arka datang dengan satu kalimat dingin:

“Aku lunasi semuanya. Dengan satu syarat. Putrimu menjadi istriku.”

Alya menolak, menangis, berteriak—tapi ayahnya memaksa demi keselamatan mereka.

Alya akhirnya menikah secara diam-diam, tanpa pesta, tanpa cinta.
Arka menganggapnya “milik” sekaligus “pembayaran”.

Di sekolah, Alya menyembunyikan status istri CEO dari teman-temannya.
Di rumah, Arka perlahan menunjukkan sisi lain: posesif, protektif, dan… berbahaya.

Mereka tinggal seatap, tidur sekamar, dan gairah perlahan muncul—walau dibangun oleh luka.

Konflik berubah ketika masa lalu Arka muncul: mantan tunangan, dunia bisnis yang penuh ancaman, dan rahasia gelap kenapa ia sangat tertarik pada Alya sejak awal.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon S. N. Aida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 1: Hutang Yang Tertukar

​Kota Fiksi, Pukul 16.30

​Udara sore itu terasa lengket dan penuh debu sisa kemacetan. Alya Ramadhani menarik napas dalam-dalam, mengembuskannya perlahan, mencoba membersihkan paru-paru dari polusi kota yang tak pernah tidur. Seragam putih abu-abu di tubuhnya terasa gerah. Ia mempercepat langkah, tas ransel yang terasa berat karena buku-buku pelajaran kian membebani bahunya yang kecil.

​Kelas 12. Tahun paling menentukan. Seharusnya, ia fokus pada ujian masuk universitas, bukan memikirkan tagihan listrik atau bagaimana cara ayahnya membayar sewa kontrakan bulan ini.

​Rumah mereka, sebuah kontrakan kecil di gang sempit yang hanya muat dilewati satu mobil, biasanya terasa hening menjelang petang. Ayahnya, Pak Rahmat, mungkin sedang sibuk di dalam, entah menyusun rencana bisnis baru yang tak pernah berhasil atau sekadar melamun di depan televisi yang bersemut.

​Namun, hari ini berbeda.

​Baru saja Alya berbelok ke gang menuju rumah, ia mendengar suara. Bukan suara melamun, melainkan raungan. Suara teriakan marah yang disusul oleh suara benda jatuh dan jeritan tertahan. Jantung Alya langsung mencelos, dingin dan kosong, seolah ada yang menyedot seluruh darah dari tubuhnya.

​Ia berlari.

​Ketika tiba di depan pintu rumah yang terbuka sedikit—mengekspos pemandangan yang tak ingin ia lihat—Alya terhenti. Bau asap rokok murahan, keringat, dan ketakutan langsung menyeruak.

​Di ruang tamu yang sempit, dua pria bertubuh besar, yang salah satunya memakai kaus hitam kumal dengan tato ular melingkari lengannya, berdiri mengancam. Mereka berdiri tegak, memblokir satu-satunya jalan keluar.

​Di sudut ruangan, dekat rak buku usang, ayahnya meringkuk. Pak Rahmat tampak menyedihkan, kemeja batiknya sudah kusut, dan butiran keringat sebesar jagung menetes dari pelipisnya. Ia memegang lutut salah satu pria itu, memohon.

​“Aku mohon, Pak. Kasih aku waktu seminggu lagi. Hanya seminggu. Aku janji, aku akan jual tanah warisan di kampung. Aku janji!” Suara Pak Rahmat serak, penuh keputusasaan.

​Pria bertato, yang terlihat seperti pemimpin, menendang pelan kaki Pak Rahmat hingga pegangan ayahnya terlepas. Tawa keringnya menggerus keheningan.

​“Seminggu? Bapak pikir kita ini bank syariah? Kita sudah kasih waktu tiga bulan, Rahmat. Tiga bulan!” Pria itu, yang kemudian dipanggil Guntur, menjentikkan puntung rokoknya ke lantai marmer yang kusam. “Kau sudah melewati batas. Hari ini, kami tidak mau omongan. Kami mau jaminan.”

​Guntur lalu menunjuk ke beberapa perabotan elektronik yang sudah dikumpulkan di dekat pintu. Sebuah televisi kecil, blender, bahkan mesin cuci tua.

​“Itu tidak akan menutupi, Tuan tahu itu!” ratap Pak Rahmat.

​“Kami tahu. Tapi ini pelajaran. Atau, kau mau kami bawa kau ke kantor polisi sekarang juga? Penipuan dan penggelapan dana. Bunyi pasal-pasalnya enak didengar, bukan?”

​Mendengar kata ‘polisi’, tubuh Alya di ambang pintu seketika terasa lumpuh. Seluruh darah yang sempat hilang kini berdesir kembali, panas dan mendesak. Ayahnya. Ayahnya tidak boleh ditahan.

​Ia melangkah masuk.

​Suara gesekan sol sepatu sekolahnya di lantai tiba-tiba terasa begitu keras, memecah ketegangan yang pekat. Ketiga pasang mata di ruangan itu langsung menoleh ke arahnya.

​Guntur menyeringai. Tatapannya yang tajam dan kasar menyapu tubuh Alya dari ujung rambut yang digerai sampai ujung sepatu ketsnya yang putih. Alya merasakan perutnya bergejolak jijik dan takut, tetapi ia berusaha berdiri tegak.

​“Alya, Nak! Jangan di sini. Masuk ke kamar!” Pak Rahmat mencoba bangkit, tetapi Guntur menahannya dengan injakan sepatu di bahu Pak Rahmat.

​“Oh, lihat ini. Rupanya si Bapak punya jaminan tak terduga.” Guntur melipat tangan di dada. “Putri cantik, ya? Sudah kelas berapa, Dek? Baru pulang sekolah?”

​Alya mengabaikan pria itu, pandangannya terkunci pada ayahnya. “Ayah, ada apa? Berapa uangnya? Biar Alya bantu cari,” katanya, suaranya terdengar lebih berani dari yang ia rasakan.

​Pak Rahmat menggeleng panik. “Tidak, Nak. Ini urusan Ayah. Kau jangan ikut campur!”

​Guntur tertawa keras. Tawa itu membuat bulu kuduk Alya berdiri. “Membantu? Kau kira hutang Bapakmu ini receh? Ini hutang lima miliar, Nona manis. Lima. Miliar. Nol-nya ada sembilan di belakang angka lima.

Kau bisa menjual diri pun belum tentu lunas.”

​Lima miliar.

​Kepala Alya berdengung. Kakinya terasa seperti jelly. Lima miliar rupiah. Itu adalah angka yang tidak masuk akal, bahkan untuk mimpi terliarnya. Ia hanya siswi SMA, bagaimana mungkin ayahnya bisa terlibat dengan hutang sebesar itu? Bisnis apa yang bisa membuat mereka terjerat jerat maut semacam ini?

​“Uang itu bukan punya kami, Nona,” lanjut Guntur, suaranya kini melunak—sebuah kelunakan yang jauh lebih mengancam daripada teriakan sebelumnya. “Kami hanya suruhan. Kami hanya pelaksana. Tapi bos kami… dia benci penundaan. Sangat benci.”

​Alya memberanikan diri. “Siapa bos Anda? Berikan saya nomornya. Saya akan bicara langsung dengannya.”

​Seringai Guntur melebar. Pria di sebelahnya hanya diam, seperti patung penjaga neraka. Guntur menyalakan rokok baru, mengembuskan asapnya tepat ke wajah Alya. Alya refleks memejamkan mata dan mundur selangkah.

​“Kau mau bicara dengan bos kami? Boleh. Dengan senang hati. Tapi kau harus tahu dulu siapa dia,” kata Guntur, nadanya berubah menjadi hormat, sebuah kontras aneh yang membuat Alya semakin merinding.

​Guntur menarik napas dalam-dalam, lalu menjatuhkan nama itu. Sebuah nama yang Alya kenali dari berita di TV, dari papan reklame raksasa di persimpangan jalan, dari setiap majalah bisnis di meja ruang tunggu dokter gigi. Nama itu adalah simbol kesuksesan yang dingin, kekayaan yang tak terjangkau, dan kekuasaan yang tak terbantahkan di kota ini.

​“Bos kami adalah orang yang memiliki segalanya. Dia tidak suka main-main, dia tidak suka negosiasi, dan dia tidak punya waktu untuk drama orang miskin sepertimu.”

​Guntur membuang puntung rokoknya lagi. Matanya menatap Alya lurus, seolah menembus seragam sekolahnya dan melihat ketakutan yang bersemayam di sana.

​“Namanya… Arka Darendra. CEO Darendra Corp.”

​Suasana hening. Hanya ada suara napas tercekat Pak Rahmat dan suara mesin pendingin ruangan tetangga.

​Alya tidak bisa bernapas. Arka Darendra? CEO yang bahkan foto dirinya saja tampak dingin dan mendominasi di halaman depan majalah Fortune. Pria yang usianya hampir dua kali lipat usia Alya. Pria yang kekuasaannya bisa menghancurkan hidup mereka tanpa perlu menggerakkan jari.

​Bagaimana mungkin, ayahnya berhutang pada Arka Darendra? Hutang macam apa ini?

​“Kami datang dengan perintah tegas,” lanjut Guntur, memotong lamunan Alya yang kacau. “Jika hutang tidak dibayar lunas hari ini, atau setidaknya, jika tidak ada proposal jaminan yang sangat meyakinkan, Rahmat akan kami serahkan ke polisi malam ini juga. Ini bukan ancaman main-main.”

​Guntur mengeluarkan ponsel dari saku celananya, lalu menunjuk layar. “Lima menit. Kau putuskan. Jaminan apa yang bisa kau berikan selain nyawa Bapakmu ini?”

​Alya menatap wajah ayahnya yang basah oleh keringat dan air mata, dipenuhi rasa malu dan ketakutan yang belum pernah ia lihat. Di sisi lain, ia melihat wajah Guntur yang kejam, yang menunggu dengan kesabaran mematikan. Lima miliar. Arka Darendra. Penjara.

​Seluruh dunianya yang sederhana—sekolah, buku, mimpi kuliah—hancur dalam sekejap, tertukar dengan realitas pahit dan berat.

​Jaminan. Apa yang ia miliki yang bernilai lima miliar bagi seorang Arka Darendra?

​Alya mengepalkan tangan di samping tubuh. Kuku-kukunya menancap kuat di telapak tangan, meninggalkan bekas bulan sabit yang perih. Ia merasakan gelombang keberanian aneh yang muncul dari jurang keputusasaan.

​Ia harus melakukan sesuatu.

​“Baik,” kata Alya. Suaranya hampir pecah, tetapi ia memaksanya keluar.

​Guntur menaikkan sebelah alisnya, tertarik.

​“Saya yang akan menemui Tuan Arka Darendra,” ucap Alya. Ia menelan ludah, air mata yang tadi tertahan kini terasa panas di pelupuk. “Beri saya kesempatan bicara dengannya. Saya akan memohon waktu, atau… atau memberikan jaminan lain. Tapi jangan sentuh Ayah saya.”

​Guntur menyeringai, puas. Ia mematikan rokoknya, menginjaknya dengan ujung sepatu bot kulitnya yang tebal.

​“Pilihan yang bagus, Nona. Jaminan langsung, itu jauh lebih baik daripada barang rongsokan ini,” katanya, melirik sinis pada perabotan yang dikumpulkan.

​Ia mengeluarkan sebuah kartu nama berwarna hitam matte—elegan, kontras dengan penampilan Guntur yang urakan.

​“Ini. Hubungi nomor ini. Katakan kau putrinya Rahmat, dan kau datang untuk membicarakan penyelesaian hutang. Jangan sampai terlambat. Batas waktunya sebelum tengah malam.”

​Guntur lalu menepuk bahu Pak Rahmat dengan kasar, memberi isyarat pada rekannya untuk mundur.

​“Kau beruntung punya anak pemberani, Rahmat. Semoga saja keberaniannya itu cukup mahal bagi bos kami,” bisik Guntur, sebelum akhirnya ia dan rekannya menghilang dari pintu, meninggalkan kekacauan, bau asap, dan keheningan yang lebih berat daripada jeritan mana pun.

​Alya ambruk di lantai, merasakan dinginnya ubin merayapi kulit kakinya. Ia menatap kartu nama yang kini ada di tangannya.

​ARKA DARENDRA

CEO, Darendra Corp.

​Kartu itu terasa berat, dingin, dan mematikan. Itu bukan sekadar kartu nama. Itu adalah tiket satu arah menuju kesepakatan yang akan mengubah takdirnya. Ia tidak tahu apa yang bisa ia tawarkan kepada pria sekuat Arka Darendra, tapi ia tahu satu hal: ia baru saja menukar hidupnya yang sederhana dengan janji bertemu dengan iblis yang berwajah tampan.

​Ia menatap Ayahnya. “Ayah, hutang apa ini? Kenapa bisa lima miliar?”

​Pak Rahmat tidak menjawab. Ia hanya terisak, menarik Alya ke dalam pelukan yang lemah dan menyesal. Pelukan itu tidak menenangkan Alya, justru memberinya beban: tanggung jawab untuk menyelamatkan mereka berdua dari jurang.

​Alya mengusap air matanya. Tangannya gemetar saat memegang kartu nama itu, merasakan tekstur kertasnya yang halus dan mahal.

​Baiklah, Tuan Arka Darendra. Mari kita lihat apa yang Anda inginkan dari saya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!