Jalan berliku telah Nina lalui selama bertahun-tahun, semakin lama semakin terjal. Nyaris tak ada jalan untuk keluar dari belenggu yang menjerat tangan dan kakinya. Entah sampai kapan
Nina mencoba bersabar dan bertahan.
Tetapi sayangnya, kesabarannya tak berbuah manis.
Suami yang ditemani dari nol,
yang demi dia Nina rela meninggalkan keluarganya, suaminya itu tidak sanggup melewati segala uji.
Dengan alasan agar bisa melunasi hutang, sang suami memilih mencari kebahagiaannya sendiri. Berselingkuh dengan seorang janda yang bisa memberinya uang sekaligus kenikmatan.
Lalu apa yang bisa Nina lakukan untuk bertahan. Apakah dia harus merelakan perselingkuhan sang suami, agar dia bisa ikut menikmati uang milik janda itu? Ataukah memilih berpisah untuk tetap menjaga kewarasan dan harga dirinya?
ikuti kelanjutannya dalam
KETIKA SUAMIKU BERUBAH HALUAN
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
28
Hari telah sore ketika wito sampai di rumah. Terlihat sepi, hanya ada Agus yang sedang belajar sambil berbaring tengkurap di depan TV. Hingga rasa penasaran menggelitik hatinya. “Ibu ke mana, Gus?” tanyanya.
“Ibu ke rumah Kakek.” Agus menjawab tanpa menoleh. Bocah yang kini telah berusia 10 tahun itu lebih asik fokus dengan tayangan dua bocah botak di hadapannya.
Wito hanya ber ‘oh’ ria kemudian berlalu. Dia ingin segera membersihkan dirinya yang terasa lengket. Selesai mandi, Wito mengistirahatkan tubuhnya di atas sofa panjang dekat jendela. Terasa empuk. Tak ada lagi kursi kayu yang keras di punggung. Tiba-tiba pikiran wito melayang ke waktu beberapa bulan lalu.
Flashback on
Hari itu terik matahari menyengat kulit. Wito mengendarai mobil pick up nya, mengantarkan laundry milik pelanggan baru istrinya. Sesampainya di rumah Bu Farida, sebuah rumah mewah di perumahan elit pinggiran kota, Wito dibuat terkejut. Di teras rumah itu, duduk seorang pria yang sangat dikenalnya. Anton. Pria yang pernah mengisi sebagian besar hidupnya di masa lalu, saat mereka sama-sama merantau di Sumatera.
Waktu seakan berhenti sejenak. Kenangan masa lalu berputar di kepala Wito. Kenangan tentang Anton, tentang ikatan mereka yang terlarang, tentang gairah dan janji-janji yang telah lama dikubur dalam-dalam. Kenangan yang seharusnya telah sirna, kini kembali menghantui.
Anton, yang melihat Wito, juga terkejut, tapi kemudian tersenyum lebar. Wajahnya menunjukkan kebahagiaan yang tak terkira. Ia langsung berlari menghampiri Wito, memeluknya erat.
“Wito! Kamu? Ini beneran Kamu? Ya ampun akhirnya kita bertemu lagi,” kata Anton, suaranya bergetar karena emosi. Ia melepaskan pelukannya, menatap wajah Wito dengan penuh harap.
Wito terpaku. Ia mencoba melepaskan diri dari pelukan Anton. Ia teringat akan janji setianya pada Nina, teringat akan kesalahannya di masa lalu yang telah ia sesali. Tapi Anton terlalu kuat
“Anton… lepaskan,” kata Wito, suaranya terdengar lemah. Ia merasa tidak nyaman dengan situasi ini. Ia tidak ingin mengulangi kesalahan masa lalunya.
“Wito, aku merindukanmu,” kata Anton, suaranya berbisik di telinga Wito. Ia segera menarik Wito ke dalam rumah, dan membawanya ke sebuah sudut yang tersembunyi, jauh dari pandangan orang lain, dan menciumi seluruh wajah Wito, lalu kembali memeluk erat.
“Jangan, Anton. Aku sudah menikah. Aku punya istri dan anak,” kata Wito, mencoba menjelaskan. Ia berusaha untuk tetap teguh pada pendiriannya.
Anton melepas pelukannya, menatap Wito dengan tatapan sayu, mata berkaca-kaca.
“Wito…” kata Anton, suaranya bergetar karena emosi. Ia terdiam sejenak, mencoba mengatur napas.
“Bagaimana… bagaimana kau bisa melakukan itu?” Anton akhirnya berkata, suaranya terdengar lirih, penuh luka. “Kenapa kau tega menghianatiku? Padahal aku masih setia padamu hingga saat ini. Aku terus mencarimu, dan bodohnya aku dulu tidak pernah meminta alamatmu. Tetapi kini kita bertemu… bukankah ini takdir kita?”
Wito terpaku. Ia mencoba melepaskan diri dari tatapan Anton yang begitu menyayat hatinya. Ia teringat akan janji setianya pada Nina, teringat akan kesalahannya di masa lalu yang telah ia sesali.
“Anton… aku…” Wito mencoba menjelaskan,
“Aku tidak mau!” Sentak Anton dengan airmata berderai. “Aku tidak peduli. Memangnya kenapa kalau Kamu sudah menikah?” Anton menggenggam dua tangan Wito erat. Tatapannya penuh permohonan.
“Bukankah kita bisa tetap menjalin hubungan di belakang istrimu? Aku tidak masalah. Aku rela menjadi yang kedua!” Antar peta teguh pada pendiriannya.
Wito tak bisa berkata-kata. Suaranya seperti tercepat di tenggorokan.
Anton menghela napas panjang, mencoba mengendalikan emosinya. Dibawanya Wito untuk duduk di sebuah sofa panjang. Lalu dengan manja dia menyandarkan kepalanya di dada Wito. “Aku tidak akan memaksamu untuk berpisah dengan istrimu. Cukup datangi aku sekali-kali.” Pria itu memainkan jemarinya di dada Wito.
Wito menelan ludahnya susah payah. Merasakan ada sesuatu yang berdesir di dadanya. Apalagi ketika ia merasa jemari Anton yang mulai bergerak liar.
“Aku mohon jangan lepaskan aku. Selama ini aku selalu merindukanmu. Aku bahkan tak pernah bisa melepaskan bayanganmu. Aku juga tak bisa jatuh cinta pada lawan jenis. Hatiku sudah terpaut padamu seluruhnya,” ucap Anton sendu.
Wito terguncang. Ia merasa terbebani oleh kesedihan Anton, terbebani oleh kenangan masa lalu yang kembali menghantuinya. Ia merasa ragu, perlahan-lahan melemah. Janji setianya pada Nina mulai goyah. Ia terjebak di antara rasa bersalah, kerinduan, dan godaan. Hingga siang itu di pertemuan pertama mereka kembali, sesuatu yang terlarang akhirnya terjadi.
***
Dua hari kemudian, Wito merasa jantungnya berdebar-debar ketika melihat daftar antaran laundry. Di sana, terpampang jelas alamat Bu Farida. Ia menghela napas panjang, merasa enggan untuk kembali ke tempat itu. Ia telah menyesali apa yang dia lakukan kemarin. Karena itu dia ingin menghindari Anton.
"Kenapa harus Bu Farida lagi sih?" gumamnya, menggerutu pelan. Ia mengusap wajahnya, merasa lelah dan frustasi. Ia ingin menolak, ingin meminta Wati atau Ayu untuk menggantikannya. Sayangnya tak bisa. Ia adalah satu-satunya yang bertugas mengantarkan dan menjemput laundry.
Ia mencoba menenangkan dirinya, mencoba untuk bersikap profesional. Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk bersikap dingin dan menjaga jarak jika bertemu Anton lagi. Ia akan fokus pada pekerjaannya, tidak akan terpengaruh oleh rayuan atau bujuk rayu Anton.
Wito pun akhirnya mengambil kunci mobilnya, mencoba untuk melupakan rasa cemas nya, dan bersiap untuk mengantarkan laundry ke rumah Bu Farida. Berharap Anton sedang tidak berada di rumah.
Sayangnya, takdir berkata lain. Begitu sampai di rumah Bu Farida, Anton sudah menunggu di teras. menyambutnya dengan mata berbinar-binar.
"Wito," sapa Anton, langsung berdiri dari duduknya. "Aku sudah menunggumu."
Anton langsung memeluk dan menarik Wito ke dalam rumah. Melancarkan serangan maut, membangkitkan kenangan indah masa lalu, menambahkan bumbu-bumbu baru yang lebih menggoda.
“Anton, ini tidak benar. Ayo kita sudahi hubungan terlarang ini. Aku tidak mau mengkhianati istriku lagi. Aku tidak mau kehilangan keluarga ku dan juga semua milikku,” ucap Wito setelah mereka selesai dengan urusannya.
“Aku sudah tahu apa yang terjadi padamu. Istrimu mengancammu, kan? Aku sudah mencari tahu semuanya. Dan aku kasihan padamu.” Anton mendekap Wito erat, seakan menyalurkan segenap kasih sayang dan dukungan.
Wito terbelalak mendengar kata-kata Anton.
"Kau terlalu baik, Wito," kata Anton, suaranya berbisik di telinga Wito. "Kau tidak pantas diperlakukan seperti itu oleh istrimu. Sebagai suami, harusnya kau lebih berkuasa. Dia tak layak untukmu. Kau layak mendapatkan yang lebih baik. Kau layak mendapatkan kebahagiaan yang sesungguhnya."
Melihat Wito mulai goyah, Anton melanjutkan rayuannya, "Aku bisa memberikan apapun yang kau minta, Wito. Kamu lihat kan, aku punya segalanya, yang tidak punya oleh istrimu. Kemewahan, kenyamanan, semuanya bisa kau dapatkan jika kau kembali bersamaku."
Kata-kata Anton menusuk kalbu Wito. Ia teringat akan kesulitan hidupnya, kesulitannya dalam memenuhi kebutuhan keluarganya. Ia tergoda oleh tawaran Anton, tergiur oleh janji-janji kemewahan yang dijanjikan. Sedikit demi sedikit, tekad nya mulai goyah. Ia mulai meragukan pilihannya untuk tetap setia pada Nina.
Rayuan demi rayuan, hasutan demi hasutan, pertemuan yang semakin intens, perlahan tapi pasti, Wito kembali terjerat dalam rayuan Anton. Ia melupakan janjinya pada dirinya sendiri, melupakan rasa bersalahnya, melupakan cintanya pada Nina dan Agus. Ia kembali masuk ke dalam jurang gelap dan penuh dosa.
Bersama Anton, Ia merasa lebih bahagia, atau setidaknya, itulah yang ia yakini. Ia tidak menyadari bahwa jurang kehancuran telah menunggunya di depan.
Flashback off
tak or yak?
terima kasih tetap memberikan hiburan gratis ini,
jangan lupa istrahat cukupp yaaa/Kiss//Kiss/