Nabila Althafunisa tiba-tiba saja harus menikah dengan seorang pria bernama Dzaki Elrumi Adyatama, seorang pria yang usianya 10 tahun lebih muda darinya yang masih berstatus mahasiswa di usianya yang sudah menginjak 25 tahun. Dzaki tiba-tiba saja ada di kamar hotel yang Nabila tempati saat Nabila menghadiri pernikahan sahabatnya yang diadakan di hotel tersebut.
Anehnya, saat mereka akan dinikahkan, Dzaki sama sekali tidak keberatan, ia malah terlihat senang harus menikahi Nabila. Padahal wanita yang akan dinikahinya itu adalah seorang janda yang memiliki satu putra yang baru saja menjadi mahasiswa sama seperti dirinya.
Siapakah Dzaki sebenarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lalalati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6: Bila
“Sesuatu?” Nabila menghempaskan tangan Dzaki.
Seketika tangan Dzaki sudah menggenggam tangan Nabila. Ditatapnya tangan yang putih, ramping, dan lebih kecil darinya itu.
Nabila menarik tangannya. "Kamu mau apa?" Namun Dzaki berhasil menahan tangan Nabila sehingga tangannya masih digenggam oleh Dzaki.
Dzaki mengeluarkan sesuatu dari dalam sakunya. Sebuah kotak cincin. Ia meraih satu dari dua cincin di dalam kotak itu.
"Ini mahar yang tadi. Tadi belum sempet aku pakein di tangan kamu." Dzaki memasukkan cincin itu perlahan jari manis Nabila. Dan mengecup punggung tangan Nabila.
Nabila terkesiap seraya menarik tangannya kuat-kuat. "Dzaki!"
“Apa yang salah? Aku 'kan suami kamu? Wajar kalau aku cium istri aku?” ujar Dzaki tanpa merasa bersalah. Ia malah nampak sedih karena Nabila menarik tangannya hingga terlepas dari genggamannya.
Nabila bangkit dari duduknya dan menjauh dari Dzaki. Okay, Dzaki memakaikannya cincin, tapi tidak dicium juga bukan? Laki-laki ini benar-benar sangat aneh, pikir Nabila.
“Saya gak ngerti sama pola pikir kamu! Maksud kamu apa sih? Okay, kita berada di tempat yang salah dan waktu yang salah saat itu sampai akhirnya pernikahan ini harus terjadi, tapi bukan berarti kita jadi beneran seperti pasangan yang menikah!”
“Terus kamu maunya gimana?” tanya Dzaki dengan polosnya.
“Ya…” Nabila sampai kebingungan akan menjawab apa. Ia memainkan cincin berlian yang kini melingkar di jari manisnya. “Kita harus cerai.”
Dzaki tertawa mendengar kata itu muncul dari bibir Nabila. “Kita baru juga nikah, belum 24 jam, Bila. Masa udah cerai lagi. Lagian aku gak masalah sama pernikahan ini.”
“Apa kamu bilang? Bila?” Nabila benar-benar terhenyak, bahkan Dzaki kini memanggil Nabila dengan nama panggilan yang sering digunakan orang-orang terdekatnya saat memanggil namanya.
“Iya. Itu nama kamu 'kan?”
“Pertama, saya gak kenal kamu. Kedua, kita gak sedeket itu sampai kamu manggil saya dengan nama panggilan saya! Apalagi saya ini lebih tua dari kamu!” Nabila tak pernah seemosi ini sepanjang hidupnya. Ia selalu bisa berkepala dingin dalam menghadapi sesuatu. Namun di depan Dzaki, emosinya begitu meluap-luap. Ia benar-benar merasa semua yang terjadi sangatlah konyol.
“Terus kamu maunya aku manggil kamu apa? Mbak? Teteh? Atau Tante?” Dzaki malah membuat Nabila semakin meradang.
“Iya. Harusnya kamu manggil saya itu!” tegas Nabila.
“Aku ini suami kamu, loh. Masa aku manggil kamu Mbak? Kayak aku manggil Mbak Gina? Yang ada harusnya kamu manggil aku ‘Mas’. Udah deh, aku panggil kamu Bila aja ya. Biar kita tambah akrab.”
Nabila menghela nafasnya perlahan, mencoba menghilangkan frustasinya. Ia penasaran apa yang ada di dalam otak pria ini sebenarnya.
“Bila, denger, walaupun pernikahan ini terjadi karena salah paham, tapi pernikahan ini tetap sah. Aku gak punya pacar, kamu juga gak punya pasangan ‘kan? Jadi kenapa kita gak nyoba buat deket dan bener-bener ngejalanin pernikahan ini?”
“Tapi Dzaki, kamu gak kenal siapa saya! Saya ini pernah menikah. Saya udah punya anak dan usia anak saya gak beda jauh dari kamu! Saya gak yakin anak saya akan bisa nerima kamu sebagai pengganti ayahnya. Rasanya mustahil kita harus ngelanjutin semua ini. Pernikahan ini terjadi secara siri, kita masih bisa bercerai secepatnya. Yah?”
Dzaki mendekat pada Nabila. Ditatapnya wajah cantik Nabila dengan hangat. “Gak ada yang mustahil, Bila. Kalau kita belum saling mengenal, ya kita kenalan dulu aja. Kita masih sebulan lagi di sini, kita bisa sama-sama saling mengenal. Tolong kasih kesempatan buat kita, ya? Setelah itu kalau kamu masih mau kita bercerai…”
“Kamu akan menceraikan saya?”
Ia menggeleng. “Aku bakal nyoba terus supaya kita gak akan pernah bercerai,” sahut Dzaki dengan tersenyum sumringah membuat Nabila semakin terheran-heran. Ekspresi Nabila yang kesal membuat Dzaki tertawa gemas pada istrinya itu.
“Ya udah, sekarang kita jalan-jalan yuk di pantai. Mataharinya udah gak terlalu panas.” Dzaki melihat ke arah laut yang terlihat dari dinding kaca. Cuacanya memang semakin sore, lebih teduh, tidak terlalu panas seperti siang hari tadi. Ini juga menjadi kesempatan bagus untuk melihat matahari terbenam.
“Gak, saya mau di sini aja,” tolak Nabila. Ia pun masuk ke salah satu kamar dan mengunci pintu.
Di dalam kamar ia terus merenungkan semua kejadian yang serba mendadak ini. Apa yang harus dilakukannya sekarang? Apakah ia harus membuka hati untuk Dzaki, seperti yang Dzaki lakukan terhadapnya dan memberi kesempatan untuk mereka menjalani biduk rumah tangga ini?
Namun bagaimanapun Nabila memikirkannya, pernikahan ini terlalu konyol untuk dibuat menjadi serius. Bagaimana tidak, ia harus menikah secara tiba-tiba dengan pria yang tidak dikenalnya, masih berstatus mahasiswa, dan berusia 10 tahun lebih muda darinya pula. Nabila benar-benar tidak tahu harus bagaimana.
Akhirnya ia pun mencoba mengalihkan perhatiannya. Nabila mengeluarkan laptopnya dan mulai mengerjakan pekerjaannya. Untungnya pekerjaan Nabila cukup fleksibel. Ia mengajukan work from anywhere kepada atasannya sehingga walaupun ia terpaksa berada di Bali selama sebulan, ia masih tetap bisa bekerja seperti biasa.
Tanpa sadar hari sudah mulai gelap. Di jam-jam seperti ini biasanya ia akan sibuk di dapur mengolah makanan untuk dirinya dan juga Hazel makan malam. Ia terpikirkan putranya itu. Nabila pun membuka ponselnya dan menghubungi Hazel untuk memastikan ia sudah makan atau belum. Dan Nabila cukup lega, Hazel mengirimkan foto selfienya di mana ia sedang makan spagetti yang dibuatnya. Ia menatap wajah sang putra yang sangat mirip dengan almarhum suaminya.
“Mas Hadi.” Nabila menyentuh gambar wajah Hazel di ponselnya. “Aku harus gimana, Mas?” Ia kembali teringat dengan situasi yang baginya sangat konyol ini.
Kemudian terdengar pintu kamar itu diketuk. “Bila.” Terdengar suara Dzaki.
Nabila pun bangkit dari kursinya dan membuka pintu. Ia melihat Dzaki sudah mengganti pakaiannya dengan kemeja, yang membuatnya menjadi terlihat agak formal. Juga, Nabila tak bisa menampik, Dzaki terlihat lebih tampan dengan pakaian itu.
Nabila segera menepis pemikiran itu dengan berdeham. “Kamu mau ke mana?”
“Makan malam, dong. Emang kamu gak laper? Kita makan di restoran dan aku udah bikin reservasinya. Kamu siap-siap ya.”
“Harus ya makan di luar? Kenapa gak pesen makanan di aplikasi aja?” Nabila merasa sangat enggan karena ia seperti akan berkencan jika seperti ini.
“Kita 'kan lagi honeymoon. Masa pesen makanannya online. Harus candle light dinner dong, biar romantis,” ujar Dzaki dengan santainya.