Prolog
Hujan deras mengguyur malam itu, membasahi jalanan berbatu yang dipenuhi genangan air. Siena terengah-engah, tangannya berlumuran darah saat ia berlari melewati gang-gang sempit, mencoba melarikan diri dari kematian yang telah menunggunya. Betrayal—pengkhianatan yang selama ini ia curigai akhirnya menjadi kenyataan. Ivana, seseorang yang ia anggap teman, telah menjebaknya. Dengan tubuh yang mulai melemah, Siena terjatuh di tengah hujan, napasnya tersengal saat tatapan dinginnya masih memancarkan tekad. Namun, sebelum kesadarannya benar-benar menghilang, satu hal yang ia tahu pasti—ia tidak akan mati begitu saja.
Di tempat lain, Eleanor Roosevelt menatap kosong ke luar jendela. Tubuhnya kurus, wajahnya pucat tanpa kehidupan, seolah dunia telah menghabisinya tanpa ampun. Sebagai istri dari Duke Cedric, ia seharusnya hidup dalam kemewahan, namun yang ia dapatkan hanyalah kesepian dan penderitaan. Kabar bahwa suaminya membawa wanita lain pulang menghantamnya seperti belati di dada
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon d06, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6 : Hutang yang Tak Pernah Lunas
Eleanor berjalan di koridor menuju taman belakang ketika suara bisikan pelayan menarik perhatiannya.
“Marquis Edgar datang lagi hari ini... Aku heran, kenapa Yang Mulia Duke selalu memberikan uang tanpa ragu?”
“Ya, padahal keluarga Marquis hampir tidak ada gunanya bagi Duke. Semua orang tahu betapa buruknya reputasi mereka.”
Eleanor menghentikan langkahnya. Marquis Edgar? Ayahnya?
Dia bahkan tidak tahu bahwa pria itu datang ke kediaman Duke. Sejauh yang dia ingat, Eleanor yang lama jarang sekali berinteraksi dengan ayahnya. Marquis Edgar tidak pernah peduli padanya. Sejak kecil, dia hanya menjadi noda dalam keluarganya—anak haram yang hanya diakui karena terpaksa.
Eleanor menajamkan pendengarannya.
“Apa menurutmu Duchess tahu tentang ini?”
“Kurasa tidak. Aku tidak pernah melihatnya bertemu langsung dengan Marquis setiap kali dia datang.”
“Lalu kenapa Duke terus memberi uang?”
“Itulah yang aneh. Biasanya, Yang Mulia sangat dingin dan perhitungan, tapi untuk urusan ini, dia selalu memberi tanpa banyak bicara.”
Eleanor mengerutkan kening. Cedric selalu memberikan uang kepada Marquis Edgar? Kenapa?
Dengan cepat, dia mengubah arah langkahnya, menuju ruang tamu utama tempat Marquis Edgar kemungkinan besar berada. Tapi begitu dia sampai di sana, ruangan itu sudah kosong. Terlambat.
Dia menarik napas panjang. Entah bagaimana, hal ini mengganggunya.
Cedric bukan tipe orang yang murah hati, terutama jika menyangkut seseorang yang tidak ada manfaatnya baginya. Jadi kenapa dia terus memberikan uang kepada keluarga Eleanor?
Apa yang sebenarnya terjadi di balik ini semua?
...***...
Eleanor duduk dengan tenang di sofa, matanya memperhatikan setiap detail di ruang kerja Cedric. Ruangan itu mencerminkan pemiliknya—rapi, kaku, dan tanpa celah untuk kehangatan.
Tak lama kemudian, pintu terbuka, dan Cedric masuk dengan langkah tegap. Tatapannya langsung tertuju pada Eleanor, tetapi seperti biasa, ekspresinya tetap tak terbaca.
“Kau di sini?” suaranya terdengar dingin. “Ada apa?”
Eleanor tidak langsung menjawab. Dia membiarkan keheningan menggantung sejenak sebelum akhirnya berkata, “Aku ingin membicarakan sesuatu.”
Cedric tidak menunjukkan ketertarikan, tetapi dia tetap berjalan ke mejanya dan duduk di kursinya. “Bicaralah.”
Eleanor menautkan jemarinya, tatapannya tajam menatap Cedric. “Aku mendengar bahwa Marquis Edgar sering datang kemari untuk meminjam uang darimu.”
Cedric tidak bereaksi, tetapi Eleanor bisa melihat sedikit ketegangan di matanya.
“Kau selalu memberikannya tanpa banyak bicara.” Eleanor melanjutkan dengan nada tenang. “Aku ingin tahu alasannya.”
Suasana di ruangan itu menjadi lebih dingin.
Cedric menatap Eleanor dalam diam, lalu akhirnya bersandar di kursinya. “Dan kenapa kau tiba-tiba ingin tahu?”
Eleanor tersenyum tipis, tetapi tidak ada kehangatan di baliknya. “Bukankah aku ini ‘dibeli’ oleh ayahmu?” katanya tanpa basa-basi. “Jika begitu, maka aku tidak ada lagi hubungan dengan keluarga Marquis Edgar. Aku sudah bukan bagian dari mereka.”
Cedric tidak menanggapi, tetapi matanya menatap Eleanor lebih tajam.
“Jadi, kenapa kau masih terus membantu mereka?” Eleanor melanjutkan. “Aku tidak ingin berhutang budi padamu lebih dari ini hanya karena kau terus-menerus meminjamkan uang kepada keluarga yang bahkan tidak lagi memiliki hubungan denganku.”
Cedric menghela napas pelan. “Itu bukan urusanmu.”
Eleanor mengerutkan kening. “Bagaimana bisa bukan urusanku? Mereka menggunakan namaku untuk datang ke sini, bukan? Kau yang mengikatku dalam pernikahan ini, tetapi sekarang kau membuatku tampak seperti wanita yang terus bergantung pada keluarganya. Itu menjijikkan.”
Kali ini, ekspresi Cedric berubah sedikit.
Eleanor bersandar ke belakang, matanya tetap menatap Cedric. “Mulai sekarang, jangan pernah meminjamkan uang kepada mereka lagi. Apapun alasannya.”
Keheningan menyelimuti ruangan itu.
Cedric menatap Eleanor lama, seolah mencoba membaca pikirannya. Lalu, akhirnya dia berkata dengan suara rendah, “Kau bicara seolah bisa mengaturku.”
Eleanor tersenyum miring. “Aku tidak peduli kau merasa diatur atau tidak. Aku hanya tidak ingin lagi berhutang pada orang yang tidak pernah kuanggap ada.”
Cedric menatapnya tajam, tetapi Eleanor tidak goyah.
Akhirnya, pria itu bangkit dari kursinya. “Aku akan mempertimbangkannya.”
Eleanor tahu itu hanya alasan, tetapi setidaknya dia sudah mengatakan apa yang ingin dia katakan.
Ketika dia beranjak pergi, dia tahu satu hal—ini belum berakhir.
Bab 6 (Lanjutan): Harga Diri yang Dipertaruhkan
Eleanor baru saja melangkah keluar dari ruang kerja Cedric ketika suara langkah-langkah angkuh menggema di sepanjang koridor. Ia tidak perlu menoleh untuk tahu siapa pemiliknya.
Carolet.
Wanita itu berjalan dengan anggun, mengenakan gaun mahal berwarna merah tua yang menonjolkan kepercayaan dirinya. Senyuman penuh ejekan tersungging di bibirnya.
“Jadi, kau akhirnya tahu juga,” ujar Carolet sambil menyilangkan tangan di depan dadanya.
Eleanor menatapnya tanpa ekspresi. “Apa maksudmu?”
Carolet tersenyum sinis. “Ayah tercintamu kembali memohon-mohon kepada Cedric. Memalukan sekali. Aku sampai tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya memiliki keluarga yang terus menerus menjadi pengemis.”
Eleanor tidak bereaksi.
Melihat Eleanor tetap diam, Carolet melangkah lebih dekat, suaranya semakin pelan tetapi tajam. “Jujur saja, aku terkejut Cedric masih memberinya uang. Tapi mungkin itu karena dia kasihan padamu.”
Eleanor menatapnya dingin. “Kasihan?”
Carolet tertawa kecil. “Tentu saja. Bukankah selama ini kau hanya beban di sini? Tanpa Cedric, kau bukan siapa-siapa. Kau bahkan tidak bisa memastikan keluargamu hidup tanpa meminta belas kasihan dari orang lain.”
Eleanor tetap berdiri tegak. Ia bisa merasakan tatapan pelayan di sekitarnya yang pura-pura tidak mendengar percakapan ini, tetapi jelas sekali bahwa mereka semua menunggu reaksinya.
“Lucu sekali,” ujar Eleanor akhirnya, nada suaranya tenang. “Kau berbicara seolah tahu segalanya, tetapi pada akhirnya kau hanya wanita yang mencoba mengambil tempatku dengan menjilat keluarga ini.”
Mata Carolet menyipit. “Apa kau baru saja menyebutku penjilat?”
Eleanor tersenyum tipis. “Jika memang tidak merasa seperti itu, kenapa harus tersinggung?”
Carolet mengepalkan tangannya, tetapi dengan cepat mengontrol ekspresinya. Ia mendekatkan wajahnya ke Eleanor dan berbisik, “Cepat atau lambat, aku akan menjadi istri resmi Cedric. Dan ketika itu terjadi, kau tidak akan punya tempat lagi di sini. Aku akan memastikan kau disingkirkan dengan cara paling menyakitkan.”
Eleanor hanya menatapnya datar. “Kalau begitu, aku akan menunggu.”
Eleanor kemudian berbalik dan berjalan pergi tanpa sedikit pun memedulikan Carolet yang masih berdiri di tempatnya.
Percuma meladeni orang yang hanya bisa berbicara besar tanpa membuktikan apa-apa.
suka banget sama alurnya, pelan tapi ada aja kejutan di tiap bab...
lanjut up lagi thor