Masih berstatus perawan di usia yang tak lagi muda ternyata tidak mudah bagi seorang gadis bernama Inayah. Dia lahir di sebuah kota kecil yang memiliki julukan Kota Intan, namun kini lebih dikenal dengan Kota Dodol, Garut.
Tidak semanis dodol, kehidupan yang dijalani Inayah justru kebalikannya. Gadis yang lahir tiga puluh tahun yang lalu itu terpaksa meninggalkan kampung halaman karena tidak tahan dengan gunjingan tetangga bahkan keluarga yang mencap dirinya sebagai perawan tua. Dua adiknya yang terdiri dari satu laki-laki dan satu perempuan bahkan sudah memiliki kekasih padahal mereka masih kuliah dan bersekolah, berbeda jauh dengan Inayah yang sampai di usia kepala tiga belum pernah merasakan indahnya jatuh cinta dan dicintai, jangankan untuk menikah, kekasih pun tiada pasca peristiwa pahit yang dialaminya.
Bagaimana perjuangan Inayah di tempat baru? Akankah dia menemukan kedamaian? Dan akankah jodohnya segera datang?
Luangkan waktu untuk membaca kisah Inayah
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lailatus Sakinah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hilang Fokus
Senin kembali menyapa, biasanya Inayah akan menyambut hari baru itu dengan penuh semangat. Mengajar menjadi aktivitas yang menyenangkan bagi Inayah, bertemu murid-murid dan rekan kerja, berdiskusi saat jam istirahat di ruang guru menjadi rutinitas yang menyenangkan bagi Inayah. Atau menghabiskan waktu di perpustakaan saat jam mengajarnya kosong.
Namun hal itu tidak berlaku di hari Senin kali ini. Inayah menarik nafas panjang dan menghembuskan perlahan. Seolah dia ingin menghempaskan beban berat yang membuat dadanya sesak.
Sejujurnya selama satu minggu ini Inayah lebih banyak menghabiskan malamnya dengan terjaga seorang diri, menangis sendirian dan berakhir dengan bersimpuh di atas sajadah.
Walau pun dia selalu berusaha tampil ceria di hadapan ibu dan kedua adiknya, meyakinkan mereka jika dirinya baik-baik saja dan menegaskan jika takdirnya yang batal nikah adalah yang terbaik, namun sebenarnya diam-diam Inayah menikmati seorang diri rasa sakit yang begitu mendalam itu di kegelapan malam.
Hampir setiap malam Inayah tidak bisa tertidur, sekalinya tertidur dia akan kembali bangun dengan keadaan yang mengejutkan karena mimpi buruk. Inayah menyembunyikan keadaan yang tengah dialaminya dari siapapun. Terutama sang ibu san kedua adiknya, dia tidak mau mereka semakin khawatir dan mencemaskannya.
"Teteh serius mulai mau masuk kerja?" Indira yang sedang sarapan karena harus pergi ke kampus lebih pagi bertanya saat melihat sang kakak keluar dari kamarnya dengan pakaian seragam kerjanya.
"Serius dong." sahut Inayah dengan seulas senyum.
"Teteh udah baik-baik aja?" Irfan yang baru datang juga menimpali, khawatir saat melihat kakak sulungnya itu sudah siap dengan seragam kerjanya.
"Alhamdulillah baik, sehat wal afiyat, bahagia sejahtera." balas Inayah dibumbui dengan candaan khasnya yang selalu ceria dan tersenyum.
"Syukurlah kalau teteh baik-baik saja, lagian laki-laki seperti itu ngapain dipikirin, dia memang gak layak untuk menjadi imam teteh." Irfan memang anak bungsu tapi kedewasaannya sudah tampak terlihat. Selama ini dia selalu berusaha menjaga ibu dan kedua kakaknya. Inayah sangat terharu bahagia.
"Bapak bilang jadi lelaki itu harus cerdas, harus kuat, karena dia akan menjadi pelindung untuk istrinya, anak perempuannya, saudara perempuannya dan ibunya." rekaman nasihat almarhumah Bapak kembali terngiang di ingatan Inayah, dia sering mendengar Bapak mengatakan itu pada Irfan sejak kecil, mungkin ingatan itu juga melekat di hati dan pikiran Irfan sehingga dia tumbuh tampak lebih dewasa dan bijaksana dari pemuda seumurannya.
"Siap Kakak..." Inayah kembali menyahuti kata-kata Irfan dengan candaannya. Dan tentu disambut Irfan dengan senyum lebar, senang sang kakak sudah kembali cerah ceria, tidak terpuruk dalam kesedihan yang berlarut-larut.
Ibu tersenyum senang melihat interaksi anak-anaknya, rumah itu kembali menghangat setelah selama seminggu ini tampak dingin dan sepi karena hanya kesedihan yang terlihat di wajah semua orang.
🌹🌹🌹
"Bendera, siap!" suara siswa yang bertugas menjadi pembentang bendera menggema di lapangan sekolah. Inayah berbaris di paling belakang di antara barisan guru-guru lainnya. Dia datang terlambat sepuluh menit karena harus menambal ban motornya yang bocor saat di perjalanan.
"Hey ....sudah masuk? Kirain masih cuti." guru perempuan yang ber name tag Ulfah berbisik ke arah telinga Inayah.
"Iya, masa cutinya habis." jawab Inayah tak kalah berbisik.
Obrolan keduanya terdengar oleh beberapa guru sehingga selesai menghormat bendera mereka sontak melirik ke belakang.
"Bu Inayah?" seru mereka dengan suara tertahan, senang bisa kembali melihat Inayah ada di sekolah. Sedangkan guru lain ada yang hanya melirik sekilas karena kegaduhan itu.
Upacara bendera hari Senin telah usai, seluruh siswa sudah masuk ke kelas masing-masing. Guru-guru pun kembali ke ruang guru untuk menerima arahan dari kepala sekolah sebelum memasuki kelas sesuai jadwal mereka.
"Alhamdulillah Bu Inayah sudah kembali ke sekolah. Kami turut bersedih atas kejadian itu, tapi kami yakin Bu Inayah tidak akan larut dalam kesedihan apalagi terpuruk, jangan sampai ya ..." Bu Ulfah memeluk Inayah dari samping, setelah bermushafahah di lapangan semua guru memasuki ruang guru tak terkecuali Inayah.
"Insya Allah saya baik-baik saja, Bu." semua orang yang mengerumuni Inayah bernafas lega. Mereka sempat khawatir dengan keadaan Inayah, walau bagaimanapun batalnya pernikahan Inayah pasti akan meninggalkan trauma. Untungnya Inayah pandai menyembunyikan perasaan, dia berusaha tampil ceria seperti biasanya seolah semuanya baik-baik saja.
Perbincangan mereka pun berlanjut dengan obrolan random dibumbui canda dan tawa. Melihat Inayah baik-baik saja mereka pun turut senang dan bersikap seolah tidak ada yang terjadi terhadap pernikahan rekan sejawatnya itu.
"Assalamu'alaikum" obrolan mereka terhenti saat kepala sekolah memasuki ruang guru. Semua guru dan tenaga kependidikan bersiap menyimak apa yang akan disampaikan kepala sekolah. Hal rutin yang dilakukan pimpinan mereka setiap paginya sebelum memasuki kelas sesuai jadwal masing-masing.
Kegiatan pembelajaran pun dimulai, briefing pagi hanya dilakukan lima belas menit. Inayah keluar dari ruang guru seorang diri bermaksud menuju ruangannya yaitu ruangan BK. Rekan-rekan guru yang lainnya sudah memasuki kelas, sementara rekan Inayah sesama guru BK juga tengah bertugas melakukan bimbingan. Hanya Inayah yang jam kosong pagi ini karena jadwalnya dimulai di jam ketiga untuk hari ini.
Biasanya Inayah akan berbenah di ruang BK dan kembali mengkaji materi sebelum memasuki kelas. Tapi kali ini langkah kakinya mengarah ke perpustakaan.
"Eh pengantin gak jadi ..." hampir semua rekan sejawat bersimpati atas kejadian batalnya nikah Inayah, namun ternyata ada saja di antara rekannya yang seolah mencibir akan apa yang menimpanya. Walau pun maksud sang rekan bercanda tetapi cukup menohok di hati Inayah.
Dia yang akan melangkah menaiki tangga menuju lantai dua dimana perpustakaan berada terpaksa menghentikan langkah. Salah satu rekan kerja Inayah yang tidak terlalu akrab dengannya berjalan ke arahnya dengan senyum miringnya.
"Bu Linda ..."
"Aku kira Bu Inayah resign karena turut suami, eh ternyata nikahannya batal." rekan Inayah yang bernama Linda kembali berkata pedas diiringi kekehan yang sejujurnya semakin membuat Inayah tidak nyaman, namun dia berusaha tampil biasa saja tidak ingin terpengaruh dengan sikap dan omongan rekan kerjanya itu.
"Apa kabar Bu Linda, sehat?" Inayah memilih mengalihkan pembahasan, dia mengulurkan tangannya untuk menyalami rekan sejawatnya tersebut.
"Makanya Bu kalau cari suami itu yang bener, pastikan dulu latar belakangnya jangan ..."
"Terima kasih atas sarannya Bu Linda, sebentar lagi saya masuk kelas. Saya duluan ya, mau ke perpus dulu." Inayah memilih memotong pembicaraan rekannya itu, jika diladeni orang itu tidak akan berhenti bicara jadi lebih baik dia menghindar.
"Assalamu'alaikum" tanpa menunggu tanggapan Bu Linda Inayah setengah berlari menaiki tangga lantai dua menuju perpustakaan.
Brugh ...
Karena buru-buru Inayah tidak sempat mengerem kakinya saat sampai di lantai dua. Dia menubruk dada seseorang yang juga akan menuruni tangga.
"Innalillahi ..." pekik Inayah, dia sampai memejamkan matanya saat menabrak seseorang hingga tidak tahu siapa yang dia tabrak.
"Maaf, maafkan saya, saya buru-buru ..." postur tubuh yang tinggi, pakaian yang bukan seragam siswa atau guru karena orang yang ditabraknya memakai hoodie membuat Inayah meminta maaf dengan formal.
"Bu Inayah ..."
"Rayyan ..." pekik Inayah, kepalanya sampai mendongak karena tinggi Inayah hanya sebahu Rayyan.
"Ibu kenapa buru-buru?" tanya Rayyan santai, dia tidak beranjak dari tempatnya berdiri masih begitu dekat dengan Inayah.
Inayah yang menyadari posisi mereka sangat dekat buru-buru mundur dua langkah.
"Eh ..."
"Hati-hati Bu ..." mundurnya Inayah mendekati ujung tangga, hampir saja dia terjengkang. Untung saja Rayyan dengan sigap meraih tangan Inayah yang akan meraih pegangan tangga.
"Astaghfirullah ..." Inayah mengusap dadanya, dia segera menjauh dari Rayyan setelah Rayyan berhasil menariknya.
"Terima kasih Rayyan, hampir saja Ibu jatuh." ucap Inayah dengan tangan yang buru-buru ditariknya.
Rayyan hanya tersenyum kecil menanggapi ucapan terima kasih Inayah.
"Lain kali hati-hati, Bu. Jangan karena gagal nikah jadi hilang fokus."
Deg ...
padahal aku pengen pas baca Inayah ketemu sama siapa ya thor...🤔🤔🤔🤔🤔 aku kok lupa🤦🏻♀️