Caca, seorang mahasiswa Indonesia yang mendapat beasiswa di London, terpaksa bekerja sebagai pengasuh anak CEO kaya, Logan Pattinson, untuk mencukupi biaya hidup yang mahal. Seiring waktu, kedekatannya dengan Logan dan anaknya, Ray, membawa Caca ke pusat perhatian publik lewat TikTok. Namun, kisah cinta mereka terancam oleh gosip, kecemburuan, dan manipulasi dari wanita yang ingin merebut Logan. Ketika dunia mereka dihancurkan oleh rumor, Caca dan Logan harus bertahan bersama, menavigasi cinta dan tantangan hidup yang tak terduga. Apakah cinta mereka cukup kuat untuk mengalahkan segalanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cherryblessem, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Club
...Jangan lupa klik like dan komentar ya teman-teman! Mohon dukungannya untuk cerita ini! Terimakasih banyak semua! ❤️❤️...
...****************...
Logan baru saja tiba di rumah pada pukul sembilan malam, usai melewati hari panjang di kantornya. Langkah kakinya di lantai kayu menghasilkan bunyi lembut yang menyambut keheningan rumah. Ketika ia melangkah ke ruang keluarga, matanya langsung menangkap pemandangan yang membuatnya berhenti sejenak: Caca, pengasuh putranya, tertidur di sofa dengan posisi menyandarkan kepala ke sandaran sofa, sementara Ray, putra kecilnya, terlelap dalam pelukan Caca. Di layar televisi, film kartun masih terus berjalan, namun suaranya hampir tidak terdengar karena volume yang disetel rendah.
Logan berdiri memandangi mereka. Ada sesuatu yang hangat di dadanya, campuran rasa syukur dan kekaguman. Dalam pandangannya, Caca tampak seperti seorang kakak yang penyayang, sekaligus seorang ibu yang penuh kasih. Hubungan antara Caca dan Ray begitu erat sehingga ia hampir tidak bisa membayangkan hidup putranya tanpa kehadiran gadis itu.
Ia mendekat perlahan, berjongkok di samping sofa untuk melihat wajah Ray lebih dekat. Anak itu terlihat damai, dengan pipinya yang bulat dan napasnya yang teratur. Logan menyentuh rambut Ray dengan lembut, sebuah senyuman kecil muncul di wajahnya. Ia mencintai putranya lebih dari apapun di dunia ini, dan momen seperti ini selalu mengingatkannya bahwa hidup, meskipun penuh tantangan, tetap memiliki keindahannya.
Matanya kemudian beralih ke wajah Caca. Wajah lelah itu memancarkan ketenangan yang mempesona. Rambutnya yang sedikit berantakan menambah kesan alami pada dirinya. Logan tidak bisa menahan diri untuk tidak mengagumi bagaimana wajah itu memiliki daya tariknya sendiri, meski tanpa usaha apa pun. Ia menyadari bahwa ada sesuatu di dalam dirinya yang anehnya bergetar, sebuah rasa yang belum ia pahami sepenuhnya.
Ketika ia masih tenggelam dalam pikirannya, Caca tiba-tiba membuka matanya. Kedua mata mereka saling bertemu dalam keheningan yang mendadak terasa panjang. Logan tertegun, sementara Caca langsung terbangun sepenuhnya. Matanya melebar saat menyadari wajah Logan begitu dekat dengannya.
“Tuan Pattinson!” bisiknya dengan nada terkejut, berusaha keras untuk tidak membangunkan Ray yang masih tertidur di pelukannya. Wajahnya memerah karena malu. Ia tidak tahu harus berkata apa setelah tertangkap basah dalam posisi seperti ini.
Logan, yang sama-sama terkejut karena tertangkap sedang memperhatikan Caca, segera mundur sedikit. Wajahnya memanas, namun ia berusaha mempertahankan ketenangannya. “Aku… aku hanya memastikan Ray baik-baik saja,” katanya, mencoba terdengar santai. Ia berdeham pelan, mencoba mengusir rasa gugupnya.
Caca, yang masih merasa bersalah karena tertidur, buru-buru meminta maaf. “Maafkan saya, Tuan Pattinson. Saya tidak seharusnya tertidur di sini.” Wajahnya menunduk, tampak sangat gelisah.
“Tidak perlu minta maaf,” ujar Logan sambil berdiri. Suaranya terdengar lebih tenang kali ini. “Kau telah menjaga Ray dengan baik, dan aku menghargainya. Kau terlihat sangat lelah. Mungkin lebih baik jika kau menginap saja malam ini dan pulang besok pagi.”
Caca terkejut mendengar usulan itu. Ia menatap Logan dengan ragu, namun pria itu sudah membalikkan badannya, berjalan menuju dapur untuk mengambil segelas air. Ia tidak memberinya waktu untuk menolak.
Sambil menatap punggung Logan yang menjauh, Caca menghela napas panjang. Ia menatap Ray yang masih tertidur lelap di pelukannya. Dengan hati-hati, ia menggendong anak itu dan membawanya ke kamar tidurnya. Ia memastikan Ray nyaman di tempat tidur kecilnya sebelum menyelimutinya dengan lembut.
Ketika Caca kembali ke ruang tamu, pikirannya masih dipenuhi rasa malu. “Kenapa aku bisa tertidur seperti itu?” gumamnya pada dirinya sendiri. Ia merasa tidak profesional, bahkan khawatir Logan akan menganggapnya lalai. Namun, di sisi lain, ia juga tidak bisa melupakan cara Logan memandangnya tadi. Tatapan mata biru itu terasa berbeda, lebih lembut, seolah menyimpan sesuatu yang lebih dari sekadar perhatian biasa.
Sementara itu, Logan berdiri di dapur, memandang gelas air di tangannya. Wajahnya masih memerah, dan pikirannya dipenuhi oleh bayangan wajah Caca. Ia menggelengkan kepala, mencoba menepis pikiran itu. Caca adalah pengasuh Ray, dan ia tidak seharusnya memikirkan hal-hal seperti ini. Namun, semakin ia mencoba mengabaikannya, semakin kuat bayangan wajah itu di benaknya.
Logan kembali ke ruang tamu, menemukan Caca sedang membereskan bantal dan selimut di sofa. “Kau tidak perlu merasa bersalah,” katanya tiba-tiba, membuat Caca menoleh dengan kaget. “Aku tahu kau bekerja keras untuk menjaga Ray, dan aku sangat menghargainya. Kau berhak untuk beristirahat.”
Caca tersenyum kecil, namun masih tampak canggung. “Terima kasih, Tuan Pattinson. Saya hanya tidak ingin terlihat tidak profesional.”
Logan mengangguk. “Istirahatlah malam ini. Kau telah melakukan pekerjaan yang luar biasa.”
Kata-kata itu, meskipun sederhana, membawa rasa lega bagi Caca. Ia mengangguk pelan, lalu kembali duduk di sofa. Namun, saat Logan kembali ke kamarnya, Caca tidak bisa menghilangkan perasaan aneh yang muncul di hatinya. Ada sesuatu tentang cara Logan berbicara dan melihatnya malam ini yang terasa berbeda.
Di kamarnya, Logan berbaring di tempat tidur sambil menatap langit-langit. Pikirannya terus kembali pada momen tadi. Ia tidak tahu apa yang sedang terjadi dalam dirinya, namun ia sadar bahwa Caca, dengan caranya yang sederhana, telah membawa perubahan kecil namun berarti dalam hidupnya.
-
Logan merasa ada yang salah dengan dirinya. Mengiyakan permintaan Ryan Rathbone untuk datang ke klub malam ini adalah sebuah kesalahan besar. Bukannya merasa terhibur, Logan justru merasa terasing di tengah gemerlap lampu disko warna-warni dan suara musik yang memekakkan telinga. Aroma rokok bercampur ganja menyesakkan dada, membuatnya semakin tidak nyaman. Logan duduk di sofa VIP dengan gelas minuman di tangan, tetapi ia tidak bisa menikmati suasana.
Ryan, di sisi lain, tampak sangat menikmati malamnya. Dua wanita terlihat menggoda dan bercumbu dengannya tanpa rasa malu. Logan hanya memutar matanya, mengambil minuman dari meja, dan meminumnya dalam diam. Di sebelahnya, dua wanita yang "disediakan" Ryan untuk menemani Logan tampak berusaha menarik perhatiannya. Namun, Logan tidak tertarik.
Salah satu wanita, seorang dengan kulit eksotis dan senyuman penuh rayuan, menyedot rokoknya sebelum menghembuskannya pelan ke arah Logan. "Kau tampak tidak tertarik, Tuan," katanya dengan nada menggoda.
Logan hanya menatapnya dingin. "Memang tidak," balasnya datar.
Wanita lainnya, seorang gadis Asia dengan rambut panjang yang tergerai, menyeringai kecil. "Baiklah, aku tidak peduli. Kau sudah membayarku, jadi aku tetap untung," katanya sambil menuangkan minuman ke gelas Logan.
Logan tidak membalas, hanya menatap gelasnya dengan tatapan kosong. Ia merasa mual, bukan hanya karena minuman, tetapi juga karena atmosfer tempat ini. Ryan yang setengah mabuk mulai berteriak, membanggakan dirinya. "Lihat aku, Logan! Gadis-gadis ini berebut untuk tidur denganku!"
Logan memijat pelipisnya, mencoba mengabaikan suara sahabatnya yang mabuk berat. Ia menyesali keputusannya untuk datang. Klub malam tidak lagi menarik baginya; semuanya terasa hampa dan membuang-buang waktu.
Gadis Asia di sebelahnya membuka percakapan lagi. "Temanmu tampak senang sekali," katanya sambil memiringkan kepala, rambutnya melambai lembut. Gaun hitam yang dikenakannya memamerkan bahunya, memberikan kesan sensual yang memikat.
Logan menatap gadis itu sebentar. Dalam pengaruh alkohol, matanya menangkap sesuatu yang familiar di wajah gadis itu. Ia mengerjapkan mata, mencoba memastikan apa yang dilihatnya. Wajah gadis itu... terlihat seperti Caca.
"Nona Calista?" gumam Logan pelan, hampir tidak terdengar.
Gadis Asia itu menatap Logan dengan bingung tetapi tetap tersenyum. "Maaf, apa?" tanyanya.
Logan menggelengkan kepala kuat-kuat, mencoba mengusir bayangan itu. Kenapa aku memikirkan dia? pikirnya. Namun, semakin ia mencoba melupakan, wajah Caca semakin jelas dalam pikirannya. Gadis muda yang menjadi pengasuh anaknya, dengan senyum tulus dan sikap sederhana. Kenapa sekarang wajahnya muncul di benaknya, di tempat seperti ini?
Ia menenggak minuman di gelasnya, berharap alkohol bisa menghapus bayangan itu. Namun, bukannya hilang, wajah Caca malah semakin nyata. Logan menutup matanya, berharap itu hanya halusinasi.
Wanita berkulit hitam di sebelahnya mengelus dadanya dengan lembut. "Apakah kau mabuk, Tuan? Atau mungkin... kau ingin sesuatu?" tanyanya sambil mendekatkan wajahnya.
Logan terkejut. Sekilas, wanita itu juga terlihat seperti Caca. Ia tersentak mundur, perasaan bersalah dan bingung bercampur aduk. Apa yang salah denganku? pikirnya lagi.
Wanita Asia itu mengambil kesempatan untuk menarik tangan Logan dan meletakkannya di dadanya. "Kau tampak butuh sesuatu, Tuan," bisiknya dengan nada menggoda.
Logan menarik tangannya dengan kasar. Wajah gadis itu kembali berubah menjadi Caca dalam pandangannya yang kabur. Perasaan kesal dan bingung menyeruak dalam dirinya. Kenapa semua orang terlihat seperti dia? Apa yang terjadi padaku?
"Calista..." gumam Logan pelan, memanggil.
Dua wanita di sampingnya saling pandang dengan senyum penuh arti. Mereka menyadari bahwa klien mereka sedang memikirkan seseorang, dan mereka berniat memanfaatkan situasi ini.
Wanita Asia itu tersenyum lembut dan mengelus pipi Logan. "Ya, Tuan. Ini aku, Calista," katanya dengan suara lembut yang dibuat-buat.
Nama itu seperti sihir bagi Logan. Alkohol dalam tubuhnya bercampur dengan kebingungannya, membuatnya tidak lagi bisa membedakan kenyataan dan fantasi. Logan menatap wanita itu dengan tatapan lelah. Ia merasa kewarasannya perlahan menghilang, terseret dalam pusaran bayangan Caca yang memenuhi pikirannya.
Logan Pattinson meneguk minuman yang ada di tangan wanita Asia di depannya dengan satu gerakan cepat, matanya setengah terpejam namun tetap waspada. Kepalanya berat, efek alkohol mulai menguasai pikirannya, membuat segalanya kabur dan sulit dikenali. Namun, di antara gemerlap lampu klub malam dan suara musik yang memekakkan telinga, ada sesuatu yang menarik perhatian Logan. Wanita ini—atau mungkin wanita lain di dekatnya—mengingatkannya pada seseorang.
"Calista?" gumam Logan tak jelas, suaranya hampir tenggelam di antara dentuman bass. Dia menatap kedua wanita di depannya dengan pandangan bingung. Tanpa banyak berpikir, Logan meraih tangan mereka, menarik mereka keluar dari keramaian klub. Dia tak yakin apa yang sedang terjadi, tetapi firasatnya mengatakan bahwa ia harus memastikan.
Ketika mereka sampai di luar klub, udara malam yang dingin menyambut mereka. Logan berhenti sejenak, memejamkan mata untuk menenangkan pikirannya yang berputar-putar. Namun, sebelum ia bisa menguasai dirinya, wanita Asia yang sejak tadi bersamanya tiba-tiba mengambil langkah agresif.
“Tuan," wanita itu mendekat, suaranya lembut tapi penuh niat. Tanpa peringatan, dia menarik Logan dan mencium bibirnya dengan penuh gairah.
Logan terkejut. “Apa yang—” ucapannya terputus, tertelan oleh ciuman wanita itu. Dalam kebingungan, wajah wanita ini perlahan berubah di pikirannya. Entah kenapa, Logan merasa seperti sedang mencium... Caca.
"Kenapa wajahmu—" Logan mencoba menarik diri, tetapi pikirannya yang sudah kabur membuatnya bingung. "Calista? Apa ini kau?"
Wanita itu tak menjawab. Sebaliknya, ia memperdalam ciumannya, melingkarkan tangannya ke leher Logan. Logan, yang awalnya ingin melawan, mulai tenggelam dalam kehangatan dan sensasi yang dirasakannya. Tangannya perlahan meraih pinggang wanita itu, membawanya lebih dekat.
Namun, di sela-sela kebingungannya, bayangan Ray—anaknya—dan wajah Caca yang sebenarnya muncul di pikirannya. Ia mencoba mengguncang kesadarannya. “Tunggu... ini salah... ini tidak benar...” Logan bergumam di antara napasnya. Tetapi tubuhnya, yang sudah dikuasai alkohol, mengkhianati keinginannya.
Beberapa detik kemudian, Logan merasakan pandangannya semakin buram. Kakinya goyah, tubuhnya kehilangan keseimbangan. Ia sempat mendengar tawa wanita itu sebelum akhirnya pandangannya gelap.
“Tuan?” suara samar terdengar, tetapi Logan sudah tak sadarkan diri. Gelap menyelimutinya, meninggalkan perasaan ganjil yang menggantung di udara.
Sementara itu, wanita berkulit eksotis itu tersenyum penuh kemenangan, matanya bersinar di bawah lampu jalan yang redup sambil memandang temannya, si wanita asia. "Permainan baru saja dimulai," bisiknya pelan sambil membopong Logan kembali ke dalam club, menuju kamar penginapan khusus VIP.
oh ya cerita ini menurut aku sangat menarik. apalagi judul nya jangan. lupa dukung aku di karya ku judul nya istri kecil tuan mafia