Laura adalah seorang wanita karir yang menjomblo selama 28 tahun. Laura sungguh lelah dengan kehidupannya yang membosankan. Hingga suatu ketika saat dia sedang lembur, badai menerpa kotanya dan dia harus tewas karena tersengat listrik komputer.
Laura fikir itu adalah mimpi. Namun, ini kenyataan. Jiwanya terlempar pada novel romasa dewasa yang sedang bomming di kantornya. Dia menyadarinya, setelah melihat Antagonis mesum yang merupakan Pangeran Iblis dari novel itu.
"Sialan.... apa yang harus ku lakukan???"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chichi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
APA KAU MEMBENCIKU?
Crizen tertawa datar. "Kau mengatakan hal itu, seperti kau sudah melihat masa depan saja. Iya kan?"
Edith terdiam karena dia sudah tau bagaimana nasib tragis yang akan dia alami di masa depan. Dimana seisi Mansion ini, para pengikut Ratu akan mati terbakar. Mereka semua terbakar oleh api biru milik Pangeran Ash.
Crizen tersentak karena Edith memberikan jawaban dari tatapan matanya yang terlihat berlinang. Crizen melepaskan gagang pintu yang dia pegang. Edith segera keluar dari kamar itu dengan cepat.
Ash duduk dari tidurnya. Dia menatap Crizen yang menatap ke arah luar. "Apa maksudnya? Apa dia bisa melihat masa depan?" Tanya Ash pada Crizen.
Crizen menoleh ke arah Ash perlahan. Raut wajah Crizen terlihat jika dia merasa bersalah. "Daripada melihat masa depan, dia seakan terlihat jika sudah pernah mengalami kematian. Pangeran, tolong beri saya perintah untuk ini" Crizen meminta Perintah dari Ash secepatnya.
Ash tersenyum tipis. "Leonard Crizen, aku ingin gadis itu, menjadi pendampingku" Ucap Ash memberikan perintah Crizen.
Crizen menunjukkan senyumannya dan membungkukkan tubuhnya sembari memakai kacamata persegi panjangnya. "Baik Pangeran, Perintah Anda adalah kehormatan bagi saya" Crizen keluar dari kamar Ash.
Di luar sana, Adler melihat raut Crizen yang berubah layaknya dia sedang senang. "Apa yang membuatmu sesenang itu?" Tanya Adler.
Crizen merangkul bahu Adler, dia berbisik "Pangeran menemukan pendamping yang cocok untuknya. Dan kondisi Pangeran membaik karena sudah bermalam dengan calon pendamping itu".
Adler memasang wajah penasaran. Dia menatap ke arah Crizen. "Menghabiskan malam dengan calon pendamping? Aku bahkan tidak melihat Pangeran tidur dengan orang lain. Dia ada di kamarnya sepanjang malam" Jawab Adler.
Crizen hanya tersenyum. "Pangeran pasti sudah memerintahkan sesuatu padamu kan?" Crizen hanya menebak.
Adler mengingat jika dirinya mendapatkan tugas untuk menelusuri latar belakang Edith.
"Tentu saja, dia pasti memerintahkan sesuatu padamu terlebih dulu. Maka, lakukan saja tugas itu dengan benar dan hati-hati" Ucap Crizen.
Adler memiliki rasa ketidaksukaan terhadap cara bicara Crizen yang condong ke nada angkuh. Tapi, di sisi lain Adler sudah memahaminya karena Crizen tidak bisa bersikap santai kepada orang lain, selain Pangeran Ash.
Adler memiliki pemikiran dewasa, dia mengosok tengkuknya. Dia sadar jika dia terlalu santai dengan tugas yang Ash perintahkan. "Ya, aku akan segera mengumpulkan datanya" Ucap Adler menunjukkan senyumannya.
Adler melihat ke arah rekan kerjanya. Rekan kerjanya itu, tidak tau apa-apa tentang tugas yang diberikan oleh Ash. "Apa kau butuh bantuanku?" Tanya rekan kerja Adler.
"Tidak. Ini pekerjaan yang mudah. Bisakah kau berjaga sendirian disini?" Tanya Adler.
"Tentu, Senior! Percayakan padaku!" Tegas Prajurit muda itu.
Adler melangkah ke depan beberapa langkah, kemudian dia menoleh ke arah Juniornya itu. "Jangan biarkan seorang pun masuk, paham?" Ingatkan Adler.
Adler mulai mendekati Edith untuk mengawasinya dari dekat. Saat itu, dia melihat Edith yang sibuk mencuci sprei-sprei putih bersama dengan Pelayan yang lainnya. Kedatangan Pengawal Pribadi Pangeran Ash, membuat Pelayan yang tengah mencuci itu menghentikan aktivitas mereka. Termasuk Edith.
"Aku sedang mencari Pelayan yang biasanya mengantar sarapan Pangeran Ash" Ucap Adler saat ditanya oleh salah satu Pelayan disana.
Mendengar itu, Edith cepat-cepat merangkak dan bersembunyi di belakang pipa sumur.
"Oh, Edith. Dia ada di san.... Dimana Edith?!" Pelayan yang sedang mengobrol dengan Adler melihat ke arah tempat duduk Edith sebelumnya. Namun, Edith tak ada lagi di sana.
Suara terkekeh keluar dari mulut Adler dan itu membuat Pelayan yang ada di hadapannya menoleh. Adler tampak tersenyum saat melihat warna rambut Edith yang mencolok terlihat sedikit dari kejauhan. Pelayan itu membelalakan matanya, dia terkagum bisa melihat Pria berusia 24 tahun yang setampan dan berwajah manis itu tersenyum di depannya.
Adler berjalan mendekat ke arah dinding sumur itu, semua pelayan di sana kembali ke aktivitas mereka. Dia melangkah perlahan, berusaha menyembunyikan suara langkah kakinya. Di saat yang sama, Edith melihat rekan-rekannya kembali mencuci. Dia tidak menyadari jika Adler ada di belakangnya.
"Syukurlah, orang itu sudah pergi..." Lirih Edith merangkak keluar dari persembunyiannya.
"Siapa bilang aku sudah pergi?" Suara Alder mengejutkan Edith.
Edith langsung menoleh ke belakang dan dia meringis kaku. "Oh, Peng...ngawal...Set...tia Tuan Muda~ Kenapa Anda kemari?" Edith bertanya dengan penuh penekanan sambil berdiri dari posisinya.
Adler melihat ke arah rok bagian lutut Edith yang basah karena air. "Ekhmmm..." Dia berdehem. Di mata Edith, Adler terlihat mencurigakan. Namun, di mata Pelayan yang lain, Adler terlihat seperti akan mengungkapkan perasaan.
"Kapan waktu istirahatmu? Jika tidak sibuk, aku ingin berbicara sesuat-"
"TIDAK! PELAYAN TIDAK MEMILIKI WAKTU ISTIRAHAT! AKU SIBUK!" Sahut Edith dengan cepat dan menjaga jarak dari Adler.
"Benarkah?" Adler memberi nada memelas pada Edith dan itu membuat semua Pelayan di sana merasa iba dengan Adler.
"Edith, kamu bisa ambil shift istirahatku...." Serra ingin membalas rasa terima kasihnya kepada Edith dan Adler yang sudah membantunya.
Edith menatap tajam Serra yang polos dan tidak paham dengannya. Pelayan yang lain pun, merasa iba kepada Adler. "Iya Edith, pergilah. Lagi pula, mencucinya sudah hampir selesai" Ucap Pelayan lain yang menyambung obrolan itu.
Edith berdiri dengan lemas. "Ini.... tidak seperti yang kalian pikirkan...." Ucap Edith sambil diseret oleh Adler yang meringis layaknya mendapatkan medali emas.
Sampai di tempat yang aman bagi Adler, Adler mulai melihat Edith dari atas sampai bawah. Tubuh Edith terlihat kurus jika untuk ukuran seseorang yang berasal dari keluarga mampu. Edith menyilangkan kedua tangannya di depan dada. "Kenapa kau melihatku seperti itu!?" Tanya Edith dengan tegas.
Adler duduk di kursi panjang yang terbuat dari lapisan semen dan keramik. Dia menepuk tempat itu di sisi kanannya, meminta Edith untuk duduk. Tentunya, Edith tidak mau duduk di sebelah orang mencurigakan seperti Adler. "Tidak. Aku berdiri saja. Katakan apa yang mau kau bicarakan?" Edith tidak ingin berbasa-basi. Di kepala Edith, hanya ada rencana untuk kabur dari Mansion tanpa diketahui oleh siapapun.
"Baiklah. Sebelum itu, mari perkenalan dulu. Namaku, Etthan Adler. Kau bisa memanggilku Adler. Siapa namamu?" Adler mengulurkan tangannya, dia berniat menjabat tangan Edith.
"Etthan Adler? Dia tangan kanan Ash itu kan? Kenapa dia sangat muda? Ku kira dia orang tua yang sudah berubanan. Tapi, kenapa dia memperkenalkan dirinya padaku? Apa ini adalah scene hidden novel yang belum keluar?" Edith menatap uluran tangan Adler itu.
Dia tidak menyangka jika Karakter lain yang berperan penting dalam perkembangan novel ada di hadapannya dalam wujud pemuda yang usianya tak jauh darinya.
"Namaku Edith. Panggil saja sesukamu" Edith tidak menjabat tangan Adler. Dia hanya menepukkan telapak tangannya dengan telapak tangan Adler dengan cepat.
Adler tersenyum sambil melihat telapak tangannya. "Apa kau membenciku?" Tanya Adler menatap Edith.