Dafy Kurniawan seorang penulis fiksi ternama. Karya-karyanya best seller dan berhasil diadaptasi menjadi film yang laris manis.
Setahun belakangan ia mengalami writer’s block. Kondisi dimana seseorang tidak mempunyai gagasan baru sama sekali.
Dafy bepergian melakukan kegiatan diluar kebiasaannya untuk mencari inspirasi dan ide-ide segar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon David Purnama, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tarian di Atas Bukit
Dengan menyewa 2 ojek sepeda motor sekaligus, sore itu Dafy naik ke bukit.
Tentu saja Dafy masih sanggup jikalau harus berjalan kaki menaiki bukit dengan membawa carrier berat di punggungnya. Bahkan ia juga pernah melakukannya untuk mendaki gunung tertinggi.
Tapi situasinya sekarang berbeda. Apalagi semenjak jalan sampai ke puncak bukit sudah diperbaiki dan bisa untuk akses kendaraan roda empat.
Para pengunjung tidak perlu repot-repot hingga berpeluh keringat dan lelah untuk menaklukan ketinggian bukit tersebut. Disamping itu juga untuk membantu pendapatan warga di sana.
Jadilah Dafy naik bukit itu dengan dibonceng motor tukang ojek setempat. Barang-barang yang disewanya pun juga ia naikan ojek. Di sore yang sepi itu hanya ada 2 tukang ojek sepeda motor yang siap di pangkalan menunggu penumpang.
Mungkin saat turun bukit esok hari baru Dafy akan menikmati syahdunya alam sambil berjalan kaki.
Setelah melewati jalan naik yang lumayan panjang. Akhirnya Dafy sampai di atas bukit.
Dafy yang sebelumnya mengira akan seorang diri di puncak lapang yang luas itu sedikit terkejut. Rupanya di tempat yang sama ia berdiri sekarang ada sekelompok remaja yang sedang berkegiatan di sana.
“Siapa mereka pak?”, tanya Dafy.
“Mereka kelompok pecinta alam”,
“Dari kemarin mereka sudah menginap di sini”, terang bapak tukang ojek.
Anak-anak mahasiswa berjumlah 20 an orang sedang menggelar acara. Mereka berasal dari salah satu universitas yang lambangnya mereka kibarkan di bendara yang mereka tancapkan di tanah bukit.
Muda-mudi itu sedang bersenang-senang dengan agenda mereka. Mereka adu bicara, bercanda dan tertawa.
Ada lima tenda besar yang dipasang secara melingkar. Di tengah-tengahnya ada bekas bakaran api unggun.
Itulah yang Dafy lihat dari kejauhan tempatnya ia memilih untuk mendirikan tenda. Ia tidak mau terlalu dekat dengan rombongan mereka. Tidak mau mengganggu dan tidak ingin pula terganggu.
*
Musim yang tepat untuk berada di sini. Di atas puncak bukit yang asri dan di bawah langit malam yang cerah penuh gemerlap bintang-bintang.
Di depan tenda Dafy baru saja selesai memasak air panas. Air panas untuk menyeduh teh celup yang sudah ia siapkan di dalam gelas.
Terlihat tepat di depan mata. Gelas tebal di tangannya mengepulkan asap. Wangi teh melati yang menyengat hidung.
Dalam balutan hawa dingin itu. Satu tegukan air panas begitu bermakna.
Masuk ke dalam mulut menyapu lidah mengalir melalui kerongkongan hingga sampai di dasar perut. Menyulut nyala hangat dari dalam tubuh.
“Permisi kak”,
“Maaf mengganggu waktunya”,
Mendadak suara itu muncul di hadapan Dafy yang sedang terpesona dengan pemandangan lampu-lampu kota yang terlihat elok dari atas bukit dimana ia sekarang berada.
Tiga orang mahasiswa mendatanginya. Seorang laki-laki dan dua orang perempuan.
“Ah kalian”,
“Ya silahkan”,
“Ada yang bisa aku bantu?”,
“Mau minum teh bersamaku?”, tawar Dafy.
Begitulah respon Dafy sedikit gugup menanggapi kedatangan tiga pelajar pecinta alam yang sedang berkemah bersama kelompok mereka di tempat yang sama.
“Ini kak, kami membawakan makanan”,
“Kami memasak banyak, masih hangat”, kata seorang perempuan.
“Ah, terimakasih”,
“Kalian baik sekali”,
“Enak”, kata Dafy yang langsung mencicipi camilan pemberian mereka.
Dafy dan ketiga orang itu pun lanjut berbincang.
Kelompok pecinta alam itu sedang melaksanakan malam keakraban dalam rangka menyambut anggota baru mereka. Ini adalah untuk pertama kalinya mereka melakukannya di bukit ini.
Mereka datang hari kemarin. Malam ini adalah malam kedua bagi mereka sekaligus menjadi malam yang terakhir.
Mereka mengajak Dafy untuk menyaksikan pertunjukkan kesenian yang akan ditampilkan oleh para anggota pecinta alam yang terbagi menjadi beberapa tim. Dafy pun antusias dan bersedia datang ke tempat mereka yang tidak jauh dari tempat tenda Dafy berdiri.
Dafy sendiri memperkenalkan diri sebagai seorang solo hiking yang kebetulan sedang mengambil cuti dari kesibukannya.
*
Dafy yang asing sendirian bergabung dalam lingkaran orang-orang pecinta alam. Duduk bersila melingkari api unggun yang menyala.
Satu per satu tim yang sudah dibuat unjuk gigi menampilkan kebolehannya masing-masing. Mereka maju ke tengah-tengah lingkaran dan mulai berpentas. Dengan berani dan tanpa rasa malu-malu.
Mereka menari sambil bernyanyi dengan sangat energik. Seru dan menarik. Semua orang bergembira.
Ada yang lucu hingga membuat tawa terpingkal-pingkal. Ada yang haru hingga membuat mata berkaca-kaca. Dan yang berapi-api membuat semangat semakin berkobar.
Dafy ditodong untuk tampil seorang diri di tengah lingkaran mata-mata yang asing itu.
Sempat berpikir dan ragu. Akhirnya Dafy mau maju.
Untuk berpartisipasi dalam kemeriahan pesta mereka. Memberikan kebaikan hati seperti yang mereka ajarkan kepada Dafy baru-baru saja.
Tentu Dafy tidak menari atau menyanyi karena itu bukan kepiawaiannya. Dafy akan membacakan syair karangan seorang penyair dari Eropa Timur yang menjadi idolanya.
Sebuah sajak bernuansa gelap yang tercipta di masa pecahnya perang dunia kedua.
Dengan penuh keteguhan hati, Dafy mulai bertutur;
"I fell asleep",
"It was in my afternoon",
"You drain my brain",
"You slash my soul",
"Now I have no heart because you took it",
"Last night you poisoned me",
"In the morning you broke my body",
"I'm exhausted",
“I can see everything but I don't find anything”,
"When I try to catch a lie",