Kehidupannya telah menjadi impian semua wanita, namun Beta justru mengacaukannya.
Bukannya menikmati hidup bahagia, ia malah membunuh sang suami yang kaya raya???
Dari sinilah, kisah kehidupan Beta mulai diceritakan. Kelamnya masa lalu, hingga bagaimana ia bisa keluar dari lingkar kemiskinan yang membelenggu dirinya.
Kisah 'klasik'? Tidak! Kehidupan Beta bukanlah 'Template'!
Flashback kehidupan Beta dimulai sejak ia masih sekolah dan harus berkerja menghidupi keluarganya. Hingga akhirnya, takdir membawakan ia seorang pria yang akan mengubah gaya hidup dan juga finansialnya.
Seperti kisah 'cinderella' yang bahagia. Bertemu pangeran, dan menikah.
Lalu apa? Tentu saja kehidupan setelah pernikahan itu terus berlanjut.
Inilah yang disebut dengan,
'After Happy Ending'
Selamat membaca~
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yola Varka, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Titik Terendah (1)
"Bu, aku berangkat, ya? Assalamualaikum!" teriakku dari luar rumah dengan terburu-buru.
Setelah berpamitan dengan ibuku, aku segera berangkat ke sekolah dengan langkah cepat.
Aku telah membuat kesalahan. Kemarin, aku lupa membeli obat untuk ibu. Alhasil, sekarang aku harus cepat-cepat ke sekolah, lalu kerja, dan minta bayaran gaji dipercepat.
Terkadang, saat dalam keadaan darurat, aku sudah biasa minta bayaran lebih awal kepada pemilik laundry tempat aku bekerja tiga tahun terakhir ini.
Untung saja, bosku adalah orang yang baik dan perhatian. Beliau mau menuruti permintaanku yang sedikit kurang ajar ini.
Aku terpaksa karena kebutuhan mendesak keluarga yang tak bisa ditunda. Seperti momen ini contohnya. Aku tidak boleh telat memberikan obat kepada ibuku. Itu adalah obat yang harus diminum secara rutin.
Meski benci, tetapi hari Senin telah datang kembali dan tak bisa dihindari. Artinya, hari-hari sibukku juga kembali.
Hari Minggu, selalu aku gunakan untuk belajar materi dan mengerjakan soal di buku LKS. Dan sayang sekali, apotek dekat sekolah selalu tutup setiap tanggal merah. Jadi, kemarin aku belum bisa membeli obat. Padahal, aku hanya ada waktu luang di hari minggu. Sayang sekali.
~
Sampai di sekolah, aku segera membuka buku pelajaran dan membaca sambil menunggu bel masuk.
Hari ini aku bangun kesiangan. Aku bangun tepat ketika azan subuh berkumandang.
Kacau. Kenapa sejak kemarin, aku jadi pelupa dan mengacaukan hari-hari begini?
Tidak bisa begini. Aku tidak boleh lengah lagi untuk ke depannya.
Brak!!!
Aku terkejut ketika seseorang menggebrak meja tempat di mana aku sedang belajar.
"Beta! Kamu apa-apaan?! Mulutmu ternyata ember juga, ya?!" Sofia berteriak dan marah-marah. Ia mengganggu konsentrasiku yang sedang kugunakan untuk belajar.
Sofia kemudian mendorong bahuku sampai aku oleng dan hampir terjatuh dari kursiku.
Wah, aku tidak terima. Ini sudah kelewatan!
"Eh, kamu yang apa-apaan?! Main dorong kayak gini. Jangan coba-coba cari masalah denganku, ya!" Aku berteriak balik dengan nada yang lebih tinggi.
Aku marah. Tentu saja, karena saat ini aku sedang dalam keadaan yang sangat sensitif.
Aku bagaikan singa yang sedang menahan lapar dengan tertidur. Maka, jika ada makhluk yang mengganggu, akan langsung kuterkam tanpa pandang bulu.
"Gara-gara kamu, aku jadi dapet peringatan dari guru. Padahal, kemaren aku udah berbaik hati ngajakin main, meski kamu cuma seorang kutu buku norak! Sekali lagi aku bilang. Kamu tuh, NO-RAK! Sok kecantikan banget, bilang mau diet segala! Dasar gembel!"
Mendengar ucapan Sofia yang keterlaluan, aku refleks berdiri lalu meraih kerah baju milik Sofia yang tertutup jilbab.
"Coba bilang sekali lagi! Ayo, ngomong!!! Di sini siapa yang salah dan siapa yang malah marah-marah?! Maksudnya soal pacar kamu itu? Hah, itu artinya, kamu lagi dilurusin, tapi malah lebih suka belok. dasar bego!"
Plak! Sebuah tamparan mendarat di pipi kananku.
Aku sama sekali tidak menyangka kalau Sofia berani melakukan hal itu padaku.
Kulihat, Sofia bersiap hendak melayangkan tamparan kedua.
Aku berniat menerima tamparan itu dengan pasrah, supaya bisa aku gunakan sebagai bukti atas tindakannya padaku, lalu melaporkannya ke wali kelas agar dia dikeluarkan dari sekolah sekalian.
Namun sayang, rencanaku gagal karena seseorang telah menahan lengan Sofia.
"Aku yang ngelaporin kamu ke pihak sekolah, karna udah pacaran sama siswa dari sekolah lain," ujar Jaka, setelah melepaskan genggamannya pada pergelangan tangan Sofia.
Dalam sekejap, keributan ini sudah menarik perhatian para siswa dan siswi yang juga datang dari kelas lain.
Seandainya ada kamera di dalam kelas ini, pasti kami sudah dikira sedang syuting sinetron.
"Sama kayak cowokmu yang udah dapet peringatan dari sekolahnya, kamu juga sama. Itu biar kalian kapok pacaran. Bisa-bisanya, kalian bermesraan di depan umum sambil mamerin almamater sekolah. Nggak tahu malu! Udah berkali-kali kalian kena ciduk OSIS, tapi masih bandel juga! Dan karna aku udah jengah, jadi langsung aja kulaporin ke para guru. Kalo wali kelas, pasti kamu cuma bakal didiemin doang karna beliau kurang tegas. Dan lagi, yang seharusnya kamu tampar itu aku, bukan Beta. Jadi sini, coba sekarang kamu tampar pipiku juga!" Penjelasan panjang dari Jaka, diakhiri dengan tantangannya kepada Sofia agar mau menampar wajahnya.
Jaka tampak mendekatkan pipi kanannya ke arah Sofia. Tentu saja, gadis cemen itu tidak tidak berkutik.
Jaka tampak menantang Sofia sambil terus memojokkannya dengan tatapan yang terlihat sangat mengintimidasi.
Tak lama, setelah berbagai keributan ini, bel masuk kelas akhirnya berbunyi. Dan syuting sinetron pun, terpaksa dihentikan.
~
Seperti rencana yang telah kubuat hari ini, akhirnya sekarang aku telah menerima gajiku lebih awal.
Sudah kubilang kan, kalau bosku itu baik.
Uang yang kuterima, harusnya cukup untuk beli obat dan makanan sehari-hari. Mungkin, aku hanya bisa membeli beras maksimal dua kilo saja. Kemudian, jatah uang saku untuk Kiky.
Karena adikku sudah mau masuk jenjang SMA, pasti kebutuhannya jadi lebih besar. Selain itu, aku juga harus membayar iuran untuk membeli soal-soal latihan sebelum ujian.
Lalu apa lagi, ya?
Aku kemudian menghitung kembali uang yang tadi aku terima.
Mepet!Ternyata aku harus mengurangi jumlah beras yang harus aku beli.
'Satu kilo kira-kira cukup untuk berapa hari, ya?'
Kalau aku tidak ikut makan nasi, pasti bisa lebih bertahan lama.
Ditambah, ini sudah waktunya bayar listrik. Meski sudah disubsidi, namun tetap harus keluar uang juga.
"Adoh!" teriakku ketika aku hampir saja terjatuh, gara-gara seseorang menabrakku saat aku sedang asik memikirkan kebutuhan sehari-hari.
"Aw! Sakit banget, nih!" Aku melihat Sofia berteriak kesakitan sambil memegangi kakinya yang di mataku terlihat baik-baik saja.
Aku heran dan bingung tentang bagaimana cara kerja otak di kepala Sofia. Dia yang menabrakku, tapi dia juga yang merasa jadi korban.
Aku hanya melirik sekilas ke arah Sofia, lalu kembali melanjutkan perjalanan pulangku sore ini setelah lelah bekerja.
"Eh, kamu cuekin aku?!" teriak Sofia yang tidak kuhiraukan sama sekali.
"Woy! Beta!" Sekali lagi, aku tetap berjalan tanpa menengok ke belakang sama sekali.
Aku juga masih emosi dengan Sofia berkat kejadian hari ini. Terutama, perkataannya yang menyebutku gembel. Dia Keterlaluan!
"Beta! Aku tau kamu abis pulang kerja. Wah, aku bisa loh, ngelaporin kamu ke guru atau bahkan ke kepala sekolah langsung. Udah kelas tiga bukannya belajar malah-" Aku refleks berjalan cepat menghampiri Sofia yang berada di belakangku dan segera memotong ucapannya.
"Kamu jangan mancing emosiku lagi, ya!" Aku memberinya peringatan untuk tidak berbuat macam-macam.
"Kenapa? Kamu takut?" Sofia juga terlihat menantangku. Aku membalas tantangannya dengan tatapan tajam.
"Mau kamu apa, hah?!" Aku sudah tidak tahan lagi dengan cewek ini.
"Balikin duitku kemaren!" pinta Sofia yang akhirnya membuatku tertawa kecil. Ternyata dia berbuat begitu, hanya demi uang recehan yang kuminta untuk ongkos pulang kemarin. Ah, kocak sekali dia.
Aku pun segera memberinya uang dengan sedikit melebihkan jumlahnya agar dia puas. Anggap saja sebagai bunga.
Setelah melemparkan uang itu pada Sofia, aku langsung beranjak pergi meninggalkannya tanpa bicara sepatah kata pun.
"Nggak sopan!" teriak Sofia yang tidak kuhiraukan sama sekali. Dia sok sekali berbicara tentang kesopanan, padahal hari ini dia sudah menampar pipiku dengan kuat secara tiba-tiba. Selain itu, dia juga mengataiku gembel. Satu kata yang paling aku benci di dunia ini.
Di saat aku sedang merasa sangat marah dan emosi, aku benar-benar akan kehilangan kata-kata. Aku akan terus berdiam diri sampai amarahku reda, karena aku adalah orang yang kuat.
~
Setelah berbagai drama keributanku dengan Sofia, tiga hari lalu, Kukira urusanku dengan makhluk bernama Sofia itu sudah berakhir. Ternyata dia bukanlah lawan yang mudah.
Hari ini, aku diminta oleh wali kelasku agar berhenti bekerja dan fokus belajar menuju ujian nasional yang tinggal tiga bulan lagi.
Sofia dengan jelas menunjukkan ekspresi wajah yang mengatakan bahwa dirinyalah yang telah melaporkanku.
'Fiuh~'
Aku menghembuskan napasku perlahan, berusaha menetralkan emosi yang terus memuncak.
Oke, aku harus sabar. Pertama, tentu saja aku harus memberitahukan kepada bos laundry tempat aku bekerja, bahwa aku minta cuti.
Kemudian, aku juga harus rela mengembalikan uang gaji yang kemarin telah kuterima sebelum waktunya kepada bosku.
Sayang sekali, uang yang kuterima kemarin, sudah berkurang untuk beli beras dan terlanjur aku berikan sebagian untuk Kiky. Masih ada sisa sedikit. Dan sisa itu, rencananya akan aku belikan obat untuk ibuku. Sekarang sudah harus beli lagi karena kemarin, aku baru membeli obat untuk jatah beberapa hari saja.
'Hah, lelah. Aku merasa lelah sekali.'
Di jam istirahat ini, aku meletakkan kepalaku di atas meja, kemudian kupejamkan mataku sejenak.
Ini bukanlah hal yang biasanya aku lakukan. Harusnya, sekarang aku sedang belajar. Namun, rasa malas datang menghampiriku dengan paksa, dan aku tak memiliki kekuatan untuk melawannya.
~
"Iya, saya akan berhenti untuk sementara. Dan ini, adalah uang yang kemarin saya terima. Maaf, karena jumlahnya berkurang. Saya akan segera berikan sisanya nanti. Saya janji!" Aku mengulurkan sejumlah uang di hadapan bosku.
"Ah, Beta. Udahlah, masalah itu nanti aja. Sekarang kamu pakai dulu saja uangnya. Aku paham. Kamu udah kelas tiga, jadi wajar kalau guru kamu minta kamu buat fokus belajar," ujar bosku, menolak uang yang aku berikan.
"Tapi Bu, uang ini harusnya belum saya terima." Aku bersikeras.
"Dah lah. Kamu pakai aja dan nanti kamu kembaliin pas kamu udah longgar. Oke? Sekarang, sana kamu pulang dan belajar. Kalau kamu udah sukses, jangan lupa main ke sini lagi, ya?" Aku sangat terharu mendengar ucapan bosku. Aku berusaha membendung air mataku yang hampir keluar. Aku juga tidak bisa menyembunyikan raut bahagiaku setelah mendapati fakta bahwa aku masih boleh memakai uang ini. Aku senang sekali.
"Baik. Terima kasih. Saya pasti akan mengembalikan uang ini sepuluh kali lipat! Kalau begitu, saya permisi. Terima kasih atas kebaikan anda selama ini." Setelah mengatakan itu, aku segera pulang dan berjalan menuju apotek dekat sekolah.
Aku memang harus sedikit memutar arah dari tempat aku bekerja, dan hal itu memang memerlukan waktu lebih lama jika harus berjalan kaki. Tapi, karena sudah terbiasa, aku jadi tidak terlalu merasa lelah, meski sudah berjalan cukup jauh.
Namun, lagi-lagi aku harus menelan kekecewaan, melihat apotek tempat biasa aku membeli obat itu ternyata tutup.
Aneh, padahal bukan hari libur atau tanggal merah. Terpaksa aku pulang dengan tangan kosong.
Aku merasa bersalah pada ibu. Bagaimana ini?
Aku refleks terduduk di tengah jalan. Tiba-tiba, pandanganku terasa berkunang-kunang.
'Pasti karena anemiaku kambuh.'
Setelah rasa pusing itu mereda, aku kembali melanjutkan perjalanan pulangku sore ini. Aku harus bergegas agar aku bisa memasak untuk makan malam nanti.
~
"Nanti, aku beli lagi obatnya. Maaf, karna kemarin nggak beli banyak sekalian. Ibu jadi nggak bisa minum obat sejak tadi malem," ujarku pada ibu yang sedang duduk di teras rumah.
Tumben sekali hari ini ibuku keluar kamar. Biasanya, badannya terlalu lemas sehingga sulit untuk digerakkan.
Aku senang mengetahui fakta bahwa ibuku terlihat sudah membaik. Tapi tetap saja, obat juga penting untuk menunjang kesembuhan.
"Udah, uangnya kamu pake buat jajan aja. Lihat, Ibu udah bilang kalo badan ibu rasanya mendingan hari ini. Ibu juga yang harusnya minta maaf, karna nggak bisa ngasih uang saku buat kamu sama Kiky." Aku menggelengkan kepala ketika mendengar penuturan dari ibuku.
"Nggak. Pokoknya, nanti aku beliin obat abis pulang sekolah. Yaudah, aku berangkat, ya? Assalamualaikum. Ayo, Ky. Buruan!" Setelah mencium punggung tangan ibuku, aku segera berangkat sekolah bersama adikku.
Hari ini merupakan hari Jum'at, jadi aku bisa pulang lebih awal. Aku juga sudah cuti kerja.
Aku senang akhirnya bisa beristirahat, namun pemasukan juga ikut rehat.
'Duh, gawat!' Aku masih belum ada ide tentang bagaimana cara agar aku bisa dapat uang lagi.
~
Sampai di sekolah, aku merasa heran. Jam dinding kelas sudah hampir menunjukkan pukul tujuh, tapi kenapa aku sama sekali tidak melihat murid berseliweran di sekolah? Di dalam kelasku juga terlihat kosong momplong.
'Hari ini, libur sekolah, kah?' Aku bertanya-tanya dalam hati.
"Loh, Beta. Kamu nggak dapet pesan dari anak-anak, ya?" Suara seseorang mengejutkanku.
"Pesan? Ah, aku kan, nggak punya hp," jawabku, ketika melihat Jaka berjalan memasuki kelas. Aku akhirnya sudah bisa memahami situasi sekarang, setelah mendengar perkataannya barusan.
"Oh, gitu. Karna hari ini ada rapat guru, jadi sekolah diliburin. Dan mungkin, karna nggak ada yang tau alamat rumah kamu, jadi nggak ada yang bisa ngasih tau," jelas Jaka.
Aku menghela napas lelah. 'Oke, tidak apa-apa. Lagi pula, ini bukanlah pertama kalinya aku mengalami kejadian semacam ini.'
Tak kusangka, tidak memiliki ponsel itu ternyata cukup merepotkan juga.
"Terus, kamu sendiri kenapa masih keluyuran di sekolah?" Aku tiba-tiba merasa penasaran melihat keberadaan Jaka di sini dengan pakaian santainya.
Di saat yang sama, aku juga merasa bersyukur karena berkat Jaka, aku jadi bisa mengetahui situasi sekolah yang sebenarnya. Sebuah kebetulan yang menguntungkan.
"Aku mau fotocopy soal latihan yang ketinggalan di kelas. Oh, ya. Mumpung inget." Jaka merogoh ke dalam tas ransel hitam miliknya.
"Nih, buku detik-detik yang dulu belum kamu ambil." Jaka mengulurkan sebuah buku tebal di hadapanku.
Aku melirik ke arah buku itu sekilas. "Nggak usah. Belajar dari buku lain juga banyak," tolakku langsung.
Dalam hati, aku sebenarnya juga menginginkan buku itu. Namun, sayang sekali harganya terlalu mahal, sedangkan uang bantuan dari sekolah sudah habis terpakai untuk membayar SPP dan buku LKS kelas dua belas.
"Yakin? Di dalem buku ini, banyak latihan soal dan materi buat persiapan UN, loh!" Dan Jaka tidak menyerah untuk membujukku.
"Udah, kamu bawa aja. Masalah bayaran, pikir belakangan." Aku menyatukan kedua alisku, setelah mendengar Jaka yang melanjutkan ucapannya.
'Tidak bisa begini!'
Aku segera merogoh saku rok kananku.
"Nih, duitnya. Mana sini!" Aku langsung menyerahkan sejumlah uang pada Jaka dan merebut buku itu dari tangannya. Rasanya aku jadi kesal sendiri.
Aku tidak ingin Jaka mengira kalau alasanku tidak membutuhkan buku itu, adalah karena masalah biaya. Meski benar, tetapi aku tidak suka dikasihani oleh bocah seumuranku.
Masalahnya, harga diriku terlalu tinggi. 'tidak mengukur baju di badan sendiri.' Apa aku terlihat begitu? Terserah, aku tidak peduli dengan apa yang orang lain pikirkan tentang diriku.
'Aku adalah aku!'
~
Bersambung.....