Dira Amara adalah seorang mahasiswi berusia 21 tahun yang penuh ambisi, cerdas, dan selalu berusaha keras untuk mencapai tujuannya. Ia tumbuh dalam keluarga miskin di sebuah kampung kecil, di mana kehidupan yang serba kekurangan membuatnya terbiasa untuk bekerja keras demi mencapai apa yang diinginkan. Ayahnya, seorang buruh pabrik yang selalu bekerja lembur, dan ibunya, seorang penjual makanan keliling, berjuang keras untuk menyekolahkan Dira hingga kuliah.
Suatu ketika, hidup Dira berubah drastis saat ayahnya terjerat utang kepada organisasi mafia yang dipimpin oleh Rafael. Tanpa pilihan lain, Dira dipaksa untuk berhadapan langsung dengan Rafael, pemimpin mafia yang terkenal kejam. Sebagai perempuan muda yang tidak berdaya, Dira harus menghadapi situasi yang tak pernah dia bayangkan, tetapi dia tetap berusaha bertahan dengan kebijaksanaan dan keberanian yang dimilikinya.
Namun, hatinya mulai terikat dengan sosok Rafael yang tidak hanya kejam, te
bagaimana kelanjutannya yuks lnjt 😊
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hayda Pardede, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
sebuah keputusan
Dira merasakan napasnya tertahan di tenggorokannya saat pena itu menyentuh kertas. Tanda tangan yang diletakkannya di bawah surat perjanjian itu terasa seperti beban yang tak terhingga. Begitu mudah, begitu cepat, seolah hidupnya bisa diputuskan dalam hitungan detik. Tanpa memikirkan lebih jauh, ia menuruti keinginan Rafael yang tampak puas dengan hasilnya. Keputusan itu tak lagi bisa dibatalkan. Apa yang dia tulis di sana bukan hanya sekadar kata-kata; itu adalah pengikat yang tak akan pernah bisa dilepaskan.
Rafael tersenyum licik, tatapannya dingin dan penuh dominasi.
"Bagus, Dira. Kamu tahu apa yang terbaik untuk keluargamu."
Suara itu terdengar seolah-olah dia sedang memberi pujian, namun Dira tahu, tak ada sedikit pun rasa empati dalam kalimat itu. Semua ini hanyalah permainan baginya. Permainan yang melibatkan hidup dan mati, hanya karena seorang pria yang terjebak dalam utang yang tak mampu dibayar.
Dira menelan air liur, berusaha menahan diri untuk tidak merasakan kemarahan yang hampir meledak. Tuhan, bagaimana aku bisa sampai di sini? pikirnya dengan tatapan kosong.
Rafael melanjutkan, "Sekarang, asistennya saya Bagas akan menemani mu untuk membeli baju pernikahan. Jangan membuat saya malu dengan penampilan mu itu." Sebuah perintah, seolah Dira adalah seorang budak yang tak punya hak untuk menentang.
"Tapi... saya belum siap, Tuan," kata Dira dengan suara yang bergetar, meskipun ia berusaha tetap tegar.
"Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan."dia merasa ini masih terlalu cepat terhadap yang dia bayangkan
Rafael mengangkat bahu, tampak tidak peduli. "Saya tidak peduli. pergi bersama Bagas dan persiapkan semuanya.
Perjalananmu ke sana akan menentukan bagaimana hidupmu selanjutnya. Jangan terlalu lama."
Dira merasa hatinya semakin berat. Bagas, pria besar yang selalu berada di sisi Rafael, tampak seperti hantu yang mengintai setiap langkahnya. Tidak ada pilihan lain. Dengan langkah terpaksa, Dira meninggalkan ruang kerja Rafael, matanya kosong, dan jiwanya terperangkap dalam jerat tak terlihat. Aku tak bisa mundur, pikirnya, meskipun hati ini menangis, aku harus terus melangkah.
Bagas menunggu di pintu depan, dengan ekspresi wajah yang tidak bisa terbaca dia sudah sudah tau apa yang harus dia lakukan. Dia hanya mengangguk ketika Dira mendekat, lalu memintanya mengikuti langkahnya tanpa sepatah kata pun. Dalam perjalanan menuju toko pakaian mewah, Dira merasa semakin terjebak dalam dunia yang asing. Suara mesin mobil yang menggeram dan jalanan yang berlalu cepat seolah mengingatkan Dira betapa cepatnya hidupnya berubah.
"Bagas," kata Dira, memecah keheningan yang menekan. "Apa yang sebenarnya diinginkan oleh Tuan Rafael dariku? Kenapa semua ini terjadi?" Suaranya lebih kepada sebuah pertanyaan yang tak terjawab.
Bagas hanya menjawab dengan nada datar. "Tuan Rafael hanya ingin apa yang dia inginkan. Tak ada yang bisa mengubah itu nona." Dia menatap Dira sekilas sebelum kembali fokus pada jalan. "anda juga akan segera tahu nona."
Dira merasakan getaran ketegangan yang semakin menguat di sekelilingnya. Bagas mungkin tidak akan berbicara banyak, tetapi ia tahu, setiap gerakannya memantulkan perintah yang tak bisa ditolak. Sampai akhirnya mereka sampai di toko pakaian. Begitu memasuki toko, Dira disambut oleh pelayan yang dengan cepat membawa mereka menuju bagian pernikahan. Semua pakaian yang ada di sana berkilau, mahal, dan tampak sempurna untuk pesta yang seharusnya menjadi momen kebahagiaan. Namun bagi Dira, itu adalah sebuah mimpi buruk yang terus berlanjut tanpa henti.
"Tuan Rafael ingin yang terbaik untuk pernikahan ini Nona jadi pilihlah yang bagus dan layak yang tidak mempermalukan tuan Rafael" kata Bagas dengan nada datar, seperti memberi instruksi.
"anda harus memilih yang paling cocok, dan jangan terlalu banyak bertanya."
Dira merasa dirinya terperangkap, terlempar ke dalam dunia yang tidak pernah dia bayangkan. Menghadapi pilihan-pilihan yang di luar kendalinya, dia harus memilih gaun yang paling indah, seakan tak ada lagi hal yang lebih penting selain penampilan luar yang sempurna.
"Saya... saya tak tahu harus memilih yang mana," kata Dira dengan suara rendah, hampir seperti bisikan. Di matanya, gaun-gaun itu hanya mengingatkannya pada kenyataan yang semakin sulit untuk diterima.
"Ambil yang ini," kata Bagas sambil menunjuk gaun putih yang berkilau. Gaun itu tampak begitu cantik, tapi Dira merasa seolah itu adalah beban yang akan dikenakan pada tubuhnya, sebuah simbol pengorbanan yang tak terhindarkan.
Dira menerima gaun itu dengan tangan yang gemetar. Dalam hati, ia bertanya-tanya, Apa yang akan terjadi setelah ini? Ke mana hidupnya akan membawanya setelah tanda tangan itu mengikatkan dirinya pada kontrak tak berperasaan ini? Namun, satu-satunya yang bisa ia lakukan saat ini adalah mengikuti perintah dan berusaha bertahan, meskipun hatinya merasa semakin jauh dari harapan.
Setelah memilih gaun, Bagas membayar dan mereka meninggalkan toko itu. Perjalanan kembali ke rumah Rafael terasa semakin sunyi. Dira merasa kesakitan, seperti setiap detik yang berlalu membuatnya semakin kehilangan dirinya sendiri. Namun, tidak ada yang bisa ia lakukan selain menjalani hari demi hari yang semakin kelam.
Setibanya di rumah Rafael, suasana semakin mencekam. Dira tahu, segala sesuatu akan berubah begitu pernikahan itu berlangsung. Ia tak tahu apakah ia siap, atau jika ia akan pernah merasa siap. Namun, ia tidak punya pilihan lain.
Rafael menunggu di ruang utama dengan tatapan yang penuh arti. Wajahnya tidak terlihat marah atau senang—hanya dingin dan penuh kekuasaan. "Bagus, kamu sudah menyiapkan semuanya," katanya, menatap Dira dengan penuh perhatian.
Dira hanya bisa mengangguk, meskipun hatinya berontak. Semua yang ada dalam dirinya ingin berteriak, ingin memberontak, tapi ia tahu, itu hanya akan membawa lebih banyak penderitaan.
"Dira," lanjut Rafael, suaranya kali ini lebih lembut, meskipun masih penuh dominasi. "Kamu tahu, pernikahan ini bukan sekadar formalitas. Ini adalah awal dari hidup baru untukmu. Tidak ada yang bisa mengubah keputusan ini. Kamu akan menjadi milikku, sepenuhnya."
Dira menatap Rafael dengan mata yang penuh kebencian, meskipun ia tidak bisa mengungkapkan perasaannya. Di dalam hatinya, ia berjanji untuk bertahan, meskipun itu berarti ia harus kehilangan segalanya.
Bagas mengalihkan pandangannya dan berjalan menuju pintu, memberi isyarat pada Dira untuk mengikuti. "Mari kita pergi nona. Segera siapkan diri anda untuk pernikahan minggu depan nona"
Bagas segera mengantarkan Dira pulang kerumah dia harus mempersiapkan mental serta batinnya dia nanti setelah tinggal dirumah Rafael
"besok kau akan dijemput oleh Bagas untuk bertemu dengan orangtua saya,dan ingat perjanjian itu harus romantis jangan membuat orangtua saya curiga"
"Baik tuan"
Minggu depan. Sebuah pernikahan yang seharusnya menjadi kebahagiaan, namun bagi Dira, itu adalah awal dari penghancuran dirinya. Ia tahu, tidak ada yang bisa membantunya lagi. Dan tak ada jalan mundur.
Di dalam kamar tidurnya yang sederhana, Dira meremas gaun pernikahan itu. Air matanya jatuh, mengalir tanpa hent
Malam itu, Dira tidur dengan hati yang berat, penuh kekhawatiran. Hari-hari yang akan datang akan lebih berat daripada apapun yang pernah ia bayangkan. Tapi tak ada yang bisa menghentikannya. Ia telah memilih jalannya—jalan yang penuh pengorbanan, rasa sakit, dan penyesalan.
Namun, apakah ia akan menemukan jalan keluar? Atau apakah jalan itu hanya akan membawa dirinya semakin jauh dari harapan yang sempat ada? Waktu yang akan menjawab.