Max membawa temannya yang bernama Ian untuk pertama kalinya ke rumah, dan hari itu aku menyadari bahwa aku jatuh cinta padanya.
Mungkinkah dia bisa menjadi milikku meski usia kami terpaut jauh?
note: novel ini dilutis dengan latar belakang luar negeri. Mohon maklumi gaya bahasanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BellaBiyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 6
Pesta akhirnya selesai. Aku bantu ibu beres-beres. Anak-anak udah pada pulang, kecuali Ian dan Laura, yang dengan “baik hati” menawarkan diri buat bantu. Aku yakin dia bakal nganterin Laura pulang. Cewek itu benar-benar all out buat dapetin perhatiannya.
Setelah semuanya beres, aku pergi untuk pamit. Aku mencoba pamit ke Laura dengan jabat tangan, tapi dia malah langsung peluk dan cium pipiku.
"Terima kasih banyak buat semuanya, Bu Monique," kata Laura sambil peluk ibu. "Semuanya berjalan sesuai rencana."
Aku lalu peluk Ian dan berbisik di telinganya, "Kita perlu bicara." Dia menatapku dan mengangguk pelan.
Setelah mereka pergi, aku naik ke kamarku. Saatnya mandi dan istirahat. Hari ini cukup melelahkan, dan besok aku ada magang.
***
Saat aku sedang tertidur, aku mendengar ketukan di pintu kamarku. Sambil menguap, aku bangun dengan pikiran kalau Max pasti datang untuk menggangguku karena sebelumnya aku masuk ke kamarnya. Tapi ternyata aku salah, itu bukan Max.
"Ian?" bisikku pelan, "Ngapain kamu di sini jam segini? Gimana caranya kamu bisa masuk?"
Dia langsung masuk ke kamarku, dan aku buru-buru menutup pintu di belakangnya.
"Aku tahu di mana mereka simpan kunci cadangan. Iya, aku sadar ini pelanggaran masuk rumah orang, dan aku minta maaf," katanya dengan suara yang terburu-buru. "Tapi tadi kamu bilang kita harus bicara, dan aku nggak bisa sabar. Aku tahu apa yang akan kamu katakan, dan aku tahu itu salah, tapi Megan, kamu adalah hal paling luar biasa yang pernah terjadi di hidupku... Kamu nggak tahu betapa aku sudah lama nunggu momen itu."
Tanganku langsung menyentuh wajahnya. Perasaan dalam diriku campur aduk, dan salah satunya adalah kemarahan yang mendesakku untuk menamparnya.
"Dan kamu kasih tahu aku begitu aja?" jawabku, berusaha menahan amarah. "Kamu tahu kan, kamu udah cukup umur. Mereka nggak bakal ngepenjarain aku cuma karena menamparmu."
Aku tatap wajahnya. Dia nggak berusaha mengusap pipinya yang memerah, hanya menatapku dengan rahang yang tegang, pandangan matanya tetap fokus padaku.
"Gimana kamu mau aku kasih tahu?" tanyanya, nada suaranya masih tenang. "Kalau yang kamu mau adalah aku ngaku salah dan minta maaf, oke, aku nggak keberatan. Tapi jangan pernah pikir sedetik pun kalau aku nyesel. Dan kamu juga nggak boleh nyesel, karena kita sama-sama tahu kamu menikmatinya juga."
Kemarahan di dalam diriku makin memuncak, dan aku hampir menamparnya lagi. Tapi kali ini, dia menghentikan tanganku sebelum sempat menyentuh wajahnya. "Satu kali aja cukup," katanya dengan tegas.
Mata hijaunya bersinar, aku kira karena marah. "Aku nggak perlu kasih tahu kamu hal yang udah kamu tahu," katanya. "Aku beneran suka sama kamu, dan mau nggak aku kasih tahu rahasia? Aku kangen kamu banget sejak pertama kali lihat kamu di lapangan basket sekolah, sekitar empat tahun lalu. Kamu waktu itu pakai seragam pemandu sorak sama pita hijau buat ngiket rambutmu, yang waktu itu ada helai merahnya. Aku baru aja mulai sekolah menengah, dan kamu kelihatan nggak terjangkau. Aku lihat kamu setiap hari dari jauh di ruang makan, sadar kalau kamu mungkin nggak akan pernah lihat aku karena aku masih kecil. Aku bahkan nggak lebih tinggi dari kamu. Buatku, kamu cuma khayalan, cinta platonis.
Terus, kamu lulus dan aku nggak lihat kamu lagi di lorong sekolah. Kadang-kadang aku lihat kamu di sekitar kota, bareng teman-teman atau ibumu. Aku pikir kamu udah jadi bagian dari masa lalu, sampai kebetulan aku ditugasin jadi tutor kalkulus buat adik laki-lakimu. Pas pertama kali aku masuk rumah ini dan lihat kamu, aku langsung inget masa-masa waktu umur 13 tahun lagi, dan rasanya lebih buruk, karena aku sadar ini bukan perasaan kekanak-kanakan. Ini beneran, nyata banget sampai bikin sakit."
Matanya bersinar terang banget sampai aku nggak bisa mengalihkan pandangan. "Aku nggak minta kamu buat balas cintaku atau buat cinta aku, Megan. Aku cuma minta kamu nggak benci aku, dan jangan usir aku."
Aku nggak bisa jawab apa-apa, nggak tahu harus ngomong apa. Dia baru aja bilang kalau dia udah suka sama aku selama bertahun-tahun. Satu-satunya yang bisa aku lakuin saat itu adalah memeluknya erat, nyembunyiin wajahku di dadanya. Aku udah berusaha buat nggak terlalu memikirkan perasaanku dan perasaannya. Aku sering marahin diri sendiri setiap kali mikirin betapa menawannya dia, karena aku tahu itu salah. Tapi sekarang, aku nggak yakin lagi apakah aku bisa terus nolak perasaan itu. Yang aku tahu saat ini, aku cuma pengen memeluknya. Aku mendongak, lalu menatapnya.
"Aku nggak benci kamu. Aku nggak akan pernah bisa," kataku pelan, sambil nyenderkan wajahku di dadanya. "Tapi aku punya satu pertanyaan. Kamu ngapain di pesta malam itu?"
"Teman-teman atletku sering pergi ke pesta universitas, aku selalu nolak karena nggak suka sama suasananya. Malam itu, setelah nganterin Max, temanku Derek minta diantar ke sana. Waktu aku lagi parkir, aku lihat kamu keluar dari mobil, berdandan kayak Wonder Woman. Aku bakal kenal kamu dari jarak ribuan mil, bahkan kalau kamu nutupin dirimu pakai selimut. Jadi, aku mutusin buat tinggal. Aku tahu kamu bakal tanya siapa aku, makanya aku pakai pin dengan nama James."
"Nama kakekmu," kataku sambil tersenyum kecil.
"Ya, dan itu juga nama tengahku," katanya.
"Kamu udah rencanain semuanya dari awal."
"Enggak, nggak gitu. Aku cuma pengen lihat kamu dari jauh, kayak biasa. Tapi, aku sadar kamu nggak bakal kenal aku, jadi aku bisa berpura-pura, meskipun cuma untuk satu malam, jadi seseorang yang layak buat kamu."
"Kamu udah layak buatku, dan buat siapa pun yang kamu mau," kataku sambil membelai pipinya. "Akulah yang nggak pantas buatmu. Belum lagi soal perbedaan usia. Meskipun kamu kelihatan kayak umur 24, tapi kenyataannya nggak, dan demi Tuhan, mereka bisa aja tuntut aku..."
"Mereka nggak bisa tuntut kamu lagi. Aku udah cukup umur buat bikin keputusan sendiri." Dia mendekatkan wajahnya pelan-pelan ke arahku. Aku nggak menjauh, dan itu bikin dia makin berani buat pegang pipiku dan menciumku. Aku biarin aja, kayak waktu di pesta Halloween.
Mungkin nanti aku bakal nyesel, tapi untuk saat ini, aku biarin aja diriku hanyut.