Rafael tidak pernah mengira hidupnya akan berubah saat dia menemukan sebuah topeng misterius. Topeng itu bukan sembarang artefak—ia membuka gerbang menuju dunia lain, dunia yang dihuni oleh makhluk gaib dan bayangan kegelapan yang tak bisa dijelaskan. Setiap kali Rafael mengenakannya, batas antara dunia nyata dan mimpi buruk semakin kabur.
Di tengah kebingungannya, muncul Harun, tetangga yang dianggap 'gila' oleh penduduk desa. Namun, Harun tahu sesuatu yang tidak diketahui orang lain—rahasia kelam tentang topeng dan kekuatan yang menyertai dunia lain. Tapi, apakah Rafael bisa mempercayai pria yang dianggap tak waras ini, atau dia justru menyerah pada kekuatan gelap yang mulai menguasainya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Subber Ngawur, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kunjungan Tak Terduga
Rafael duduk di ruang tengah, memperhatikan Bi Minah yang sedang menyetrika pakaian. Dia menunduk, sesekali memainkan ujung bantal sofa, pikirannya masih berkecamuk tentang mimpi buruk yang dialaminya tadi pagi. Meskipun rasa takut itu masih membekas, Rafael tidak mau mengakuinya, apalagi di depan Bi Minah.
Bi Minah, yang sedang fokus dengan pekerjaannya, melirik Rafael dari ujung matanya. “Tumben nemenin Bibik nyetrika, Nak. Ada apa nih?” tanya Bi Minah sambil tersenyum. “Jadi inget waktu kamu masih kecil, suka nempel mulu sama Bibik. Sampe pernah kena setrika karena gangguin Bibik.”
Rafael tersenyum kecil, kenangan masa kecil itu kembali melintas di pikirannya. “Iya, aku juga inget. Bibik langsung panik pas aku nangis kenceng.”
“Lah, iya lah. Mana nggak panik? Kamu tuh nempelin tangan ke setrika, panasnya aja masih nempel di tangan Bibik waktu itu!” jawab Bi Minah sambil tertawa kecil, mengenang masa-masa itu. “Untung sekarang udah gede, udah gak ganggu-ganggu lagi.”
Rafael hanya mengangguk sambil tersenyum. Dia memang merasa dekat dengan Bi Minah, seperti bagian dari keluarganya sendiri. Sejak kecil, Bi Minah selalu ada untuknya, terutama saat papa sibuk dengan pekerjaan.
Tiba-tiba, bel pintu rumah berbunyi.
“Ada tamu, Nak,” ujar Bi Minah, masih sibuk dengan setrikanya. “Kamu aja yang bukain pintunya.”
Rafael segera berdiri dan berjalan menuju pintu. Saat dia membuka pintu, ternyata di depannya berdiri Tristan, Bimo, dan Nasya, teman-teman sekolahnya. Mereka datang sambil membawa beberapa buah di tangan mereka.
“Rafaaa! Kita datang jengukin lo!” teriak Tristan, meskipun jelas-jelas tidak terlalu formal seperti orang yang benar-benar menjenguk.
Bimo tertawa sambil memukul punggung Tristan. “Tuh kan, gue bilang lo bakal teriak duluan.”
Nasya yang paling tenang di antara mereka, tersenyum lembut. “Gimana kabar lo, Raf? Kita bawa buah-buahan buat lo.”
Rafael mengangguk, tersenyum kecil meski masih terasa sedikit aneh setelah semua yang terjadi. “Makasih, kalian gak perlu repot-repot.”
“Ya, meskipun mereka berdua berisik,” Nasya melirik Tristan dan Bimo yang saling dorong, “gue beneran khawatir.”
Mereka masuk dengan suasana ramai seperti biasa. Suara bercanda dan tawa memenuhi ruang tamu, membuat rumah terasa lebih hidup. Bi Minah yang melihat teman-teman Rafael datang, segera menyambut dengan ramah. “Wah, banyak tamu nih. Bibik siapin minum ya, Nak.”
Tristan langsung memanfaatkan situasi. “Bik, sekalian sama kuenya ya. Keluarkan semua! Hehe.”
Semua yang lain langsung menyoraki Tristan. “Huuuuu!”
Tapi Tristan tetap cuek. “Apa? Gue cuma mau makan yang enak aja, jangan terlalu serius.”
Rafael menggeleng sambil tertawa kecil, merasa sedikit lega dengan kehadiran teman-temannya yang bisa mencairkan suasana. Namun, saat suasana semakin ramai, Tristan tiba-tiba bilang, “Eh, Raf, gue pinjem charger dong. HP gue lowbat nih.”
Rafael memutar matanya, sedikit kesal. “Baru datang udah ngerepotin aja. Kalo mau pinjem, ambil sendiri di kamar gue.”
Tristan mengangguk cepat. “Oke, makasih bro!” tanpa ragu, Tristan langsung melangkah menuju kamar Rafael, sementara yang lain tetap tertawa dan ngobrol di ruang tengah.
***
Setelah beberapa menit berlalu dan Tristan belum kembali dari kamar Rafael, suasana di ruang tamu mulai terasa aneh. Bimo dan Nasya mulai merasa ada yang janggal.
“Tristan ngapain aja sih? Udah terlalu lama nih, jangan-jangan dia ketiduran di kamar lo, Raf,” ujar Bimo sambil tertawa kecil.
Nasya ikut mengernyit, “Iya, aneh banget dia gak balik-balik.”
Rafael mengangkat alis, merasa agak khawatir. “Gue liat dulu deh, dia di kamar gue,” katanya sambil berdiri dan menuju tangga.
Naik ke lantai dua, Rafael melangkah ke kamarnya dengan perasaan tak nyaman yang terus mengusiknya. Pintu kamarnya setengah terbuka. Begitu dia masuk, pandangannya langsung tertuju pada sosok Tristan yang berdiri membelakanginya, menghadap meja belajar.
“Tris? Ngapain lo? Dari tadi gak balik-balik,” panggil Rafael dengan nada yang biasa.
Tapi Tristan tidak bereaksi, tidak ada respons sama sekali. Sosoknya tetap diam, hanya berdiri kaku.
Perasaan tidak enak semakin menggerogoti Rafael. “Tris?” panggilnya lagi, kali ini dengan suara lebih keras. Tapi Tristan tetap diam, tidak bergerak sedikit pun. Punggungnya membelakangi Rafael, seolah-olah tidak mendengar apapun.
Rafael merasa ada yang salah. Perlahan, dia mendekat ke arah Tristan. Ketika jaraknya hanya beberapa langkah lagi, Rafael berhenti sejenak, menelan ludah dan meraih bahu temannya. Begitu dia menyentuh bahu Tristan, tiba-tiba Tristan berbalik dengan cepat.
Rafael langsung tersentak mundur.
Mata Rafael membelalak saat melihat Tristan mengenakan topeng—topeng yang seharusnya ada di laci meja belajarnya! Ekspresi wajah Tristan benar-benar berbeda, bukan sekadar terkejut atau iseng. Matanya terlihat kosong, wajahnya kaku, dan senyum menyeramkan dari topeng itu seolah menyatu dengan wajahnya.
Rafael merasakan getaran ketakutan yang merambat dari ujung kaki hingga ke tengkuknya. “Tris? Lo ngapain pake topeng itu?”
Tristan tidak menjawab. Matanya yang kosong tetap menatap Rafael, tapi ada sesuatu yang tidak wajar di balik tatapan itu. Dalam sekejap, Tristan langsung menyerang.
Sebelum Rafael sempat bereaksi, tangan Tristan sudah mencengkeram lehernya dengan kekuatan yang tak terduga. Cengkeramannya kuat, dingin, dan penuh amarah yang tidak bisa dijelaskan. Rafael tersentak, tercekik, tubuhnya mundur hingga jatuh ke lantai.
“Tris! Lo... ngapain?!” teriak Rafael terputus-putus, tapi Tristan hanya diam, seolah tidak mendengar.
Wajah Tristan tampak tidak seperti dirinya, matanya gelap, dan dia mulai menggumamkan sesuatu yang aneh. Suara bisikan yang menakutkan keluar dari mulutnya. “Kau tak bisa kabur... kau milikku... semua milikku...”
Tangan Tristan semakin menekan leher Rafael, membuat napasnya semakin sesak. Rafael berusaha meronta, tetapi tubuhnya terasa lemah, semakin lemas dengan setiap detik yang berlalu.
Desperasi menyerang Rafael. Ini bukan Tristan yang dia kenal. Temannya, yang biasanya selalu bercanda dan santai, kini seperti orang lain. Seperti ada kekuatan gelap yang mengambil alih tubuhnya. Bayangan dari mimpi buruknya tadi pagi kembali menghantui pikirannya. Topeng ini... bukan sekadar topeng biasa.
Mata Rafael mulai berkunang-kunang, tapi dia tahu dia harus melakukan sesuatu sebelum semuanya terlambat. Dengan sisa-sisa tenaga yang dia miliki, Rafael mengarahkan tangannya ke topeng yang menempel di wajah Tristan. Tangannya gemetar, tetapi dengan satu tarikan kuat, dia berusaha merenggut topeng itu dari kepala temannya.
Tristan berteriak keras, suaranya menggema di kamar seperti suara dari dunia lain. Tangannya yang mencengkeram leher Rafael perlahan melonggar. Rafael terus menarik topeng itu dengan sekuat tenaga, sampai akhirnya dia berhasil melepaskannya dari kepala Tristan.
Begitu topeng terlepas, Tristan langsung jatuh ke lantai, tubuhnya lemas, seperti boneka yang kehilangan nyawa. Nafas Rafael tersengal-sengal, dan dia tergeletak di lantai, mencoba mengatur napasnya yang sesak.
Topeng itu kini tergeletak di samping mereka, terlihat tidak bergerak, tapi Rafael tahu... topeng itu jauh lebih berbahaya dari yang dia duga.