Tidak ada yang benar-benar hitam dan putih di dunia ini. Hanya abu-abu yang bertebaran. Benar dan salah pun sejatinya tak ada. Kita para manusia hanya terikat dengan moralitas dan kode etik.
Lail Erya Ruzain, memasuki tahun pertamanya di SMU Seruni Mandiri yang adalah sekolah khusus perempuan. Seperti biasa, semua siswi di kelas akan gengsi dan malu-malu untuk akrab dengan satu sama lain. Waktu lah yang akan memotong jarak antara mereka.
Hingga dia mengenal Bening Nawasena. Teman sekelas yang bagaikan salinan sempurna Lail saat SMP.
Drama pertama kelas dimulai. Siswi toxic mulai bermunculan.
Bagaimana Lail menghadapi semua itu?
"Menyesal? Aku gak yakin."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon アリシア, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CH.06 - Lomba Antar Sekolah II
"Jawaban terakhir itu... natrium klorida!” Gumam Nylam.
Nylam tersenyum penuh kemenangan saat ia selesai mengerjakan seluruh soal. Ada 60 soal, dan Nylam yakin jika dia bisa menjawab 45 soal dengan benar. Sisanya yah menebak-nebak. Siapa tahu Tuhan sedang berbaik hati padanya dan membuat semua jawaban yang ia jawab menggunakan insting benar. Siapa tahu.
“Yang sudah selesai, silakan keluar dari ruangan.” Ucap pengawas di depan ruangan.
Nylam dengan percaya diri menjadi peserta pertama yang keluar dari ruangan. Meninggalkan peserta lain yang mulai cemas karena ada yang sudah selesai. Beberapa peserta mulai mengerjakan soal dengan terburu-buru karena takut menjadi yang terakhir selesai.
Nylam, yang sudah keluar dari ruangan, menghirup udara segar secara berlebihan. Mata lombanya tak ada sesi kedua, dia bisa bebas ke sana kemari setelah ini. Nylam pun akhirnya memutuskan ke gedung paling depan di mana Isvara dan Bening lomba. Sambil menunggu Lail turun ke lantai bawah juga.
Berbeda dengan Nylam yang santai saja, Isvara tak bisa tenang menunggu namanya dipanggil untuk membacakan puisi. Melihat performa lawan-lawannya, Isvara mendadak merasa rendah diri. Kepercayaan yang dia bangun bersama Bu Petris selama beberapa hari ini mendadak runtuh.
“Hei, wajah lo pucet banget. Santai aja.”
Isvara menoleh, itu Ade, salah satu peserta juga. Dia sempat berkenalan dengan Ade sebelum lomba dimulai. Mereka juga jadi ngobrol banyak di antara jeda istirahat. Ade memang tengil, tapi dia tak tega melihat wajah lawannya yang seperti ikan mati.
Isvara hanya mengangguk, tapi kegelisahannya tidak berkurang. Kata- kata semacam itu tak mempan. Dia malah merasa semakin buruk. Lihatlah ke depan, mereka semua tampil apik, luar biasa, sempurna. Mungkin ketika melihat penampilan Isvara, mereka akan mencemooh dirinya. Mengejek betapa buruknya dia membacakan puisi.
Tema puisi yang dibuat bebas, tidak ada ketentuan khusus, tapi jelas harus orisinil. Isvara dibantu Lail dan Bening membuat puisi ini. Tentu saja Isvara tak bisa membuatnya dari rumah, dia harus membuat di sini, real time. Isvara jadi harus mengingat keras puisi yang ia buat bersama Lail dan Bening kemudian ia tuliskan di kertas yang diberikan panitia.
“Peserta selanjutnya, Ade Jian Erlangga.”
Ade berdiri, kemudian naik ke atas panggung kecil-kecilan yang disediakan panitia. Itu memang kecil, tapi terkesan indah. Ade berdehem pelan sebelum memulai membaca puisi. Menarik napas dalam-dalam, kemudian mengembuskannya.
“Puisi ini berjudul Permata dalam Kubangan.”
Payung lembayung diterpa rintik hujan
Terhenti oleh kubangan lumpur
Mataku beradu tatap
Seonggok buku tergeletak menyedihkan
Bait pertama dibacakan, Isvara merasa hatinya tergugah. Matanya mengerling. Di samping sikap jahilnya yang menyebalkan, ternyata Ade berbakat dalam membacakan puisi. Mungkin saja, penampilan Ade akan jauh lebih bagus daripada penampilan Isvara. Ah, Isvara tidak berharap menang, dia hanya berharap bisa membawakan puisi ini agar maknanya sampai pada pendengar.
Aku mengaduh
Manusia memang bodoh
Telah menyia-nyiakanmu
Membuatmu berenang di tanah basah
Isvara menggenggam lembar puisinya erat-erat. Nyaris saja dia menangis. Dia mengaku kalah bahkan sebelum bertempur di medan perang. Suara Ade yang tegas, penuh tekanan setiap baitnya. Menjadikan hati siapapun yang mendengarnya memaknai setiap bait puisi begitu khidmat.
Permata di kubangan lumpur
Sudah berapa lama engkau duduk di sana?
Bait terakhir dibacakan. Gemuruh tepuk tangan memenuhi ruangan, tak terkecuali Isvara. Mereka merasa tergerak hatinya dengan puisi Ade. Padahal dia terlihat seperti orang yang akan tertawa di situasi serius sekalipun, tapi ternyata mereka keliru. Ade setengah membungkuk, mengakhiri penampilannya.
“Peserta selanjutnya, Isvara Saraswati.”
Tepat saat Ade turun, Isvara pun maju. Ade menepuk pundak gadis itu, memberikannya semangat. Isvara tersenyum, dalam hati mengucapkan rasa terima kasih banyak-banyak. Sebenarnya masih ada rasa gelisah dalam hatinya, tapi Isvara percaya, dia akan mampu melewati semua ini.
“Oke, gue bisa.”
Berdiri di depan seluruh peserta dan tiga juri. Mendadak semangat Isvara pudar. Tekadnya runtuh, dia benci ditatap oleh banyak pasang mata. Dia benci itu.
Gue emang pengecut!
Melihat Isvara yang tak kunjung memulai penampilannya membuat banyak orang memandangnya heran. Ade nampak khawatir di tempat duduknya. “Ayolah...”
Isvara mengepalkan tangannya, upaya mengumpulkan kembali tekad yang hilang. Ya, dia memang pengecut. Pengecut ini bernama Isvara...
“Judul puisi ini adalah Mencintaimu dalam Sepi.”
Isvara menarik napas dalam. Kemudian membuang napasnya bersamaan dengan rasa takut dan gelisah yang mengganggu hatinya. Dia bisa melakukan ini, harus.
Aku memilih untuk mencintaimu dalam senyap
Senyap yang tak pernah menolakku
Aku memilih untuk mencintaimu dalam kesendirian
Di mana tak ada yang memilikimu kecuali aku
Aku memilih untuk mengagumimu dari kejauhan
Jarak yang akan melindungiku dari rasa sakit
Aku memilih untuk menciummu melalui angin
Angin yang lebih lembut daripada bibirku
Aku memilih untuk menggenggammu dalam mimpi
Dunia yang takkan membiarkan kisah kita berakhir
Isvara mengembuskan napas kasar selesai membacakan bait terakhirnya. Akhirnya dia bisa mematikan rasa takutnya sendiri. Isvara memandang ke depan, semua orang terdiam menatapnya.
Kenapa?
Ade, menjadi yang pertama bertepuk tangan paling kencang untuk penampilan Isvara. Penampilan Isvara biasa saja, tapi yang membuatnya luar biasa adalah bagaimana dia melawan rasa takutnya sendiri. Mengalahkan social anxiety itu tak mudah, dan Isvara berhasil menaklukannya. Tepuk tangan Ade adalah bentuk apresiasi atas keberhasilan Isvara mengalahkan ketakutannya sendiri.
Seakan menjadi pelopor, yang lain juga ikut serta bertepuk tangan atas performa Isvara. Gadis itu tersenyum semakin lebar. Dia menuruni panggung sederhana dengan langkah gemetar. Mungkin jika dia berbicara, ucapannya akan terbata-bata saking gugupnya dia.
Gue bisa... hehe....
...****...
“Ning! Udah selesai?” Nylam setengah berteriak, berlari menghampiri Bening yang duduk di luar ruangan bersama seseorang yang tak Nylam kenali.
Menangkap tatapan bingung Nylam, Bening pun memutuskan memperkenalkan teman barunya itu pada Nylam. “Nylam, ini Erlangga, lawan aku di lomba cerpen tadi.”
“Oh, aku Nylam.” Sapa Nylam, kemudian mengulurkan tangannya.
“Erlangga.” Jawab Erlangga sambil membalas jabat tangan Nylam.
“Lail mana?” Tanya Nylam pada Bening.
Bening mengangkat bahunya, dia tidak tahu. Berarti pertandingan bertahan hidup Lail belum usai di atas sana. Dia masih bergelut dengan angka-angka yang dibenci sebagian besar penghuni Bumi.
Pintu ruang sebelah terbuka, sepuluh peserta lomba cipta puisi keluar dari ruangan dengan perasaan lega, termasuk Isvara. Dia tak harus bergelung dengan latihan bersama Bu Petris lagi esok hari. Mendadak Isvara mau izin tak masuk sekolah karena baru saja mengikuti lomba.
“Var!” panggil Bening.
Isvara melangkah mendekati mereka bertiga. Sebenarnya dia mau bertanya pada Nylam dan Bening, tentang sosok ketiga yang berdiri menjulang di antara mereka berdua. Tapi dia tidak peduli, dan menanyakan keberadaan Lail yang tak kunjung nampak batang hidungnya.
“Mana Lail?”
“Dia masih survive.” Nylam menjawab singkat. Isvara mengangguk.
“Bye, Var!” Ade, yang keluar setelah Isvara melambai padanya dan berjalan menjauhi mereka berempat. Karena pengumuman pemenang baru akan disampaikan setelah istirahat makan siang. Ade berniat untuk ke kantin karena perutnya sudah bising.
“Bye, Ade!” Isvara membalas lambaian tangan Ade.
Nylam bersiul, matanya menatap jahil Isvara.
“Siapa tuh?”
“Kenalan,” Isvara menjawab singkat.
“Ouh, kenalan~”
Bening tertawa kecil. Dia tahu kenapa Nylam bertanya. Tentu saja mereka curiga. Sebagai pembaca novel garis keras, tentu mereka peka terhadap trope rival to lovers antara Isvara dan Ade yang akan segera terjadi.
“Ngeliat apa?”
“ANJIR!!!”
Bening, Nylam dan Isvara tak bisa menyembunyikan keterkejutan mereka saat Lail bicara tiba-tiba. Rupanya Lail sudah sejak tadi turun. Dan karena Bening serta Nylam fokus pada perkembangan kisah cinta Isvara, mereka tak melihat kedatangan Lail. Hanya Erlangga yang sadar karena dia ditatap aneh oleh Lail sebelum gadis itu mendapati informasi menarik.
“Biasa aja kali.” Cetus Lail. Gadis itu mengacak-acak rambut pendeknya sampai terlihat seperti rambut baru bangun tidur. Sesi perkalian nyaris membuat otaknya ngebul karena angka berganti semakin cepat dibanding saat sesi penjumlahan.
“Lo udah selesai?” tanya Isvara.
Lail mengangguk, “Dari sepuluh detik yang lalu.”
“Gimana?” kini Nylam yang bertanya.
Lail mendesah kesal. Nylam tahu, itu tidak berakhir baik.
Nylam menepuk pundak Lail, “Kamu udah usaha, La. Gak usah dipikirin. Kalah juga gak bakal dimarahin guru.”
Lail memandang Nylam aneh, sepertinya temannya ini salah tanggap melihat reaksinya. “Sebenernya-”
“Wey ke kantin yok! Pengumumannya ‘kan abis makan siang.” Ajak Isvara.
Semua yang ada di sana pun setuju, termasuk Erlangga yang menjadi member baru. Isvara, Bening dan Erlangga berjalan di depan. Sedangkan Lail dan Nylam mengikuti di belakang. Nylam mendekat pada Lail dan berbisik.
“Kenapa si Erlangga ikut sama kita?” tanyanya pada Lail.
“Paling gak punya temen.” Lail menunjuk Erlangga dengan dagunya. “Liat penampilannya, bukannya apa. Tadi bentukan kayak gitu biasanya jadi sasaran bully temen-temennya.”
“Iya juga sih.” Nylam setuju dengan pernyataan Lail.
Kelimanya berjalan menuju kantin dengan arahan Erlangga selaku siswa di sini. Lail tak bisa menutupi rasa kagumnya melihat kantin sekolah tetangga. Ini gila, rumput tetangga memang selalu terlihat lebih hijau. Pedagang di sini jauh lebih beragam daripada di sekolahnya. Lagi, Lail me-roasting sekolah pilihannya dalam hati.
Tau gitu aku masuk SMA aja.
Tapi minus dari kantin ini ada satu, tidak ada Mang Pundi penjual batagor favorit Lail. Mang Pundi pasti sedang melayani pembeli lain di saat dirinya tak ada di sekolah. Mengingat itu membuat Lail tak rela. Setidaknya Lail punya hak atas batagor Mang Pundi itu walau hanya 5.000 perak.
“Kenapa kita gak boleh keluar sekolah sih? Kayak dipenjara aja.” Keluh Lail, mulai julid.
"Tau ya, padahal kita juga pastk balik lagi, mau ngeliat siapa yang menang. Emang pelitnya udah mendarah daging tuh panitia.” Nylam membalas sama julidnya.
Lail yang hendak lanjut menjulid langsung menelan kembali seluruh kata-katanya. Pantas saja dia merasa tidak enak. Duduk di depan gerobak tukang gado-gado, ternyata ada Wiyan bersama teman-temannya makan di sana. Bukan itu yang jadi masalahnya, tapi semenjak lomba selesai, Wiyan tak pernah memandangnya ramah. Seperti sekarang ini, tatapannya seolah menembus badan Lail.
Yang lain akrab sama lawannya, masa aku enggak sih?!
Lail menggerutu dalam hati. Dia ikut saja ke mana Erlangga membawa rombongan mereka. Namun, telinganya menangkap obrolan di meja Wiyan. Langkah kaki Lail seketika terhenti.
“Anjir, si culun kok bisa sih bareng cewek sekolah sebelah?!” siswa yang duduk di depan Wiyan mulai mengejek.
“Iya cuy, dia pake pelet apaan?” tanya siswa lainnya.
“Bukan pelet itu, ngab. Pasti tuh cewek-cewek kasian ngeliat dia sendirian.” Timpal siswa pertama menerka-nerka.
“Haha! Iya juga! lagian cewek mana yang suka loser kayak dia?”
“Dia mah banci!”
Gelak tawa mereka memecah keheningan kantin. Para peserta lomba banyak yang gugup menanti hasil. Jadi mereka semua hanya makan tanpa diiringi obrolan. Tapi tawa mengejek dari teman-teman Wiyan terdengar mendominasi seisi kantin.
Bening menatap Erlangga, “Mereka temen kamu, bukan?”
Erlangga hanya mengangguk dalam diam.
Temen macam apa itu?
Lail tak ikut campur lebih lanjut. Matanya berpendar menyusuri kantin untuk menemukan jajanan yang enak dan mengenyangkan. “Gak ada yang enak ‘kah?”
“La, ada batagor tuh!” Nylam menunjuk pedagang batagor di samping gerobak gado-gado.
“Gak mau, bukan Mang Pundi. Masa aku selingkuh? Lagian batagornya Mang Pundi tuh udah yang paling best!” Lail langsung menolak.
“Ada sorabi weh, aku mau beli itu aja.” Nylam memutuskan membeli sorabi.
“Ikut!” Lail menengok ke arah Bening yang berjalan ke warung nasi ayam.
“Ning, aku sama Nylam beli sorabi dulu, ya!”
“Iya.”
...****...
Istirahat makan siang berakhir. Seluruh peserta beserta guru pendamping juga panitia berkumpul di aula luar ruangan sekolah ini. Terpajang di bagian depan aula, berderet puluhan tropi dan medali. Di tengah-tengahnya, ada podium tiga tingkat. Seperti biasa, hanya si nomor 1, 2, dan 3 yang akan dipanggil ke depan.
Bening memegangi tangan Lail dan Isvara yang ada di sampingnya. Nylam sendiri kelewat santai, berbanding terbalik dengan Bening. Gadis itu sibuk menghabiskan snack yang dibagikan untuk para peserta.
"La, kamu mau risolnya gak?” Nylam menunjuk risol di kotak snack milik Lail.
“Nih, buat kamu aja.” Lail pun menyerahkan risol miliknya pada Nylam.
“Untuk kategori pertama, lomba aritmetika.” Suara moderator di depan aula menggema karena mikrofon.
Mendengarnya, Lail memperbaiki posisi duduknya. Nylam memperlambat kunyahan risolnya.
“Juara ketiga, diraih oleh Davian Ardianto!”
Davian berdiri dari kursinya, berjalan menuju podium sambil diiringi tepuk tangan peserta terutama teman-teman satu sekolahnya. Lail mencuri lihat ke arah Wiyan yang bermuka masam.
“Juara kedua, diraih oleh Wiyan Farras Wijaya!”
Tepuk tangan kembali bergemuruh. Nylam mempercepat kunyahan risolnya. Dia menelannya tanpa air minum, terasa seret di kerongkongan. Nylam menoleh ke arah Lail dengan pandangan tak percaya.
“Jangan-jangan...”
“Dan juara pertama, mari kita sambut... Lail Erya Ruzain!”
"Katanya kamu gak menang!” protes Nylam, namun Lail mengabaikan ocehan temannya itu dan maju ke podium dengan wajah bangga.
Sebenarnya, dia juga tak menyangka akan menang dari Wiyan. Davian sudah kalah di sesi kedua karena hanya menjawab dengan benar 8 dari 15 soal yang diberikan. Sementara Lail dan Wiyan lagi-lagi memimpin dengan skor seri karena sama-sama menjawab 13 soal benar.
Di sesi ketiga, perkalian. Sesi penentuan. Ada 20 soal yang diberikan. Lail menang telak karena berhasil menjawab benar 16 soal, jauh meninggalkan Wiyan yang hanya mampu menjawab benar 10 soal. Makanya sejak keluar dari ruangan sampai istirahat makan siang di kantin, Wiyan selalu menatap kesal Lail yang mengunggulinya. Padahal ‘kan ini bukan soal keberuntungan melainkan kemampuan.
Lail juga mengeluh pada Nylam bukan karena dia kalah. Melainkan karena otaknya dipaksa bekerja keras sampai rasanya lelah sekali. Tapi Nylam salah mengira kalau Lail telah kalah.
Pengawas lomba aritmetika adalah orang yang memberikan mereka bertiga tropi, medali, beserta sertifikatnya. Kemudian sesi pemotretan. Lail tentu meragakan pose dua jari andalannya. Turun dari podium, Lail tetap memasang wajah penuh rasa bangganya yang membuat Wiyan semakin jengkel.
“Kategori lomba selanjutnya adalah cipta puisi. Juara ketiga, selamat kepada Ade Jian Airlangga!”
Lail, Nylam dan Bening hanya menatap datar pada Isvara yang bertepuk tangan lebih kencang daripada teman satu sekolahnya Ade. Jelas itu menarik perhatian banyak orang karena Isvara bahkan sampai berdiri saking senangnya dia mengetahui bahwa Ade menang.
“Wah, jadi nih.” Bisik Nylam pada Lail.
“Yoi.” Lail mengangguk setuju.
“Lagian bisa cinlok gitu.” Nylam menambahkan. Dia bertanya-tanya karena kisah cintanya kenapa tidak semulus orang-orang. Melihat teman-temannya yang putus dalam sebulan punya pacar baru tentunya membuat Nylam panas.
Namun, senyum Isvara agak memudar mendengar namanya tak kunjung dipanggil. Dia gagal menyabet medali kemenangan. Tapi tak apa, perlombaan bukan hanya tentang menang. Tetapi juga tentang pengalaman. Bening menepuk pundaknya, menguatkan.
Pembacaan pemenang setiap kategori lomba dibacakan. Nylam berhasil mencuri medali perunggu. Di sisi lain, Bening meraih medali perak. Sekolah mereka memenangkan dua emas, dua perak dan empat perunggu. Itu jumlah yang banyak. Akan tetapi sekolah tetangga jauh lebih unggul dengan tiga emas, empat perak dan dua perunggu. Yang menjadikan mereka sebagai juara umum.
“Oh?”
Lail melirik Bening, memberikan tanda tanya.
“Kakak aku ada di depan gerbang sekolah, ternyata dia jemput. Tumben baik.” Ujar Bening agak curiga melihat surel yang masuk.
“Udah dijemput masih aja curiga! Gue juga harus nelpon Mamah nih, minta jemput.” Timpal Isvara, ia mengeluarkan ponsel dari sakunya.
“Aku duluan ya, mau ngambil motor di parkiran.” Pamit Nylam.
“Yeah.” Lail melambai pada Nylam.
Jadi, cuma aku nih yang nunggu angkot?
Lail, Bening dan Isvara berjalan ke gerbang sekolah. Karena sekolah mereka berhadapan dengan sekolah ini, tidak ada guru yang mendampingi karena sibuk mengajar. Peserta dari sekolah lain masing-masing datang dengan mobil pick up ataupun angkot yang sudah disewa agar muat satu rombongan.
Teman-teman satu sekolah Lail pun semuanya bawa motor, ada juga yang dibonceng teman lainnya. Siswa dari sekolah tetangga semuanya punya motor karena faktor mereka adalah lelaki, jadi sangsi kalau PP dengan angkot. Meninggalkan Lail sendiri yang harus menunggu angkot. Sayangnya, jam pulang sekolahnya masih dua jam lagi, dia tak bisa berharap banyak.
“Duluan!” Bening pamit pulang duluan dibonceng kakaknya.
“Tungguin ya, La? Mamah gue kayaknya masih lama datangnya.” Pinta Isvara.
Lail mengiyakan, Lagi pula tidak mudah angkot untuk lewat. Tak lama, Nylam lewat dengan motornya. Dia menekan klakson, pamit duluan pada Lail dan Isvara.
15 menit menunggu, tak ada satupun angkot yang lewat. Lail mulai mengeluh. Mamah Isvara datang menjemput sebelum Lail berhasil mendapatkan angkotnya.
“Gak apa-apa gue tinggal?” tanya Isvara, dia tak tega meninggalkan Lail menunggu sendirian di trotoar.
“Gak apa-apa.”
“Ya udah, gue duluan ya!”
“Ya!”
Lama Lail menunggu, tapi angkot tak kunjung ada. Dia mulai putus asa. Tapi Lail enggan ke sekolahnya dan mengikuti pelajaran. Karena mengikuti lomba, dia ingin pulang duluan. Lail menyerah, dia memutuskan berjalan sampai halte terdekat yang jaraknya 500 meter dari sini.
Lail terus berjalan, tapi belum berjalan jauh, sebuah sepeda hitam melaluinya dan berhenti memblokir jalan Lail. Pengendara sepeda itu menoleh menatapnya, itu Wiyan.
“Pulang ke mana?” tanya Wiyan, kali ini dia bertanya dengan suara yang lebih ramah dari sebelumnya.
“Perumahan Cempaka.” Jawab Lail.
“Searah, mau ikut gak?” tawar Wiyan.
Lail menimang-nimang, angkot tidak akan datang dalam waktu dekat karena masih lama untuk anak sekolahnya pulang. Dengan senang, Lail menerima tawaran Wiyan.
“Tas lo, sini gue bawa. Lo pake tas gue.” Wiyan mulai melepaskan tas yang tersampir di punggungnya. “Pake di depan.” Wiyan menyerahkan tasnya pada Lail.
“Huh? Emangnya kenapa?”
“Tas lo berat, entar susah bawa sepeda kalau bebannya di belakang, apalagi kalau ketemu tanjakan. Mending lo pake tas gue aja nih, tapi pakenya di depan biar seimbang. Lo pake celana panjang gak?” jelas Wiyan, tak tahan ditatap aneh oleh Lail.
“Ouh... enggak.”
Lail menurut saja, apalagi ini tumpangan gratis. Manusia mana yang tidak tergiur dengan kata gratis? Dia memberikan Wiyan tasnya. Wiyan menautkan alisnya ketika tas Lail sudah ada di tangannya.
“Isinya apa aja sih?” keluh Wiyan.
“Payung, botol minum, tropi, medali, sertifikat sama buku.”
“Huh? Ngapain bawa buku?” Wiyan menaikkan sebelah alisnya.
“Buat dibaca lah!”
Wiyan tak merespons.
“Lagian tumben pake sepeda. Gak punya motor ‘kah?”
“Gak, tapi mobil punya. Cuma gue aja yang belum punya SIM A.” Wiyan menjawab datar.
“Pamer.” Lail mencibir.
Perjalanan pulang Lail pun hanya diisi keheningan. Dia membiarkan Wiyan fokus menggowes pedal sepedanya. Namun, ada sesuatu yang mengganggu penglihatan Lail. Berdiri di antara gang sempit. Ada Jelika dan seorang lelaki bersamanya. Ini janggal, karena sekolah belum bubar. Jelika juga mengenakan seragam. Kenapa dia malah berada di luar lingkungan sekolah?
Tapi satu yang pasti Lail ketahui, pakaian yang dikenakan si lelaki.
Seragam sekolah tetangga. Aneh, padahal dia bukan perwakilan sekolah kayak Wiyan sama Erlangga. Harusnya selain yang ikut lomba, mereka belajar di rumah.
Lail menggelengkan kepalanya. “Fyuh...”
Berprasangka buruk adalah keahliannya.
TBC