NovelToon NovelToon
Sisi Lain Dari Pagar Sekolah: Pengalaman Dan Penyesalan

Sisi Lain Dari Pagar Sekolah: Pengalaman Dan Penyesalan

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen / Romantis / Teen School/College / Slice of Life
Popularitas:3.9k
Nilai: 5
Nama Author: Atikany

Aku punya cerita nih, soal dunia ku yang banyak orang bilang sih kelam, tapi buat ku malah keren dan penuh dengan keseruan. Aku punya circle, sebuah geng yang isinya anak-anak yahut yang terkenal jahil dan berani. Seru abis pokoknya! Mereka itu sahabat-sahabat yang selalu ada buat ngelakuin hal-hal yang bikin adrenaline kita ngacir.

Kita sering hang out bareng, kadang sampe lupa waktu. Dari yang cuma nongkrong asyik di tempat-tempat yang biasa kita tongkrongin, sampe yang agak miring kayak nyoba barang-barang yang sebenernya sih, yah, kurang direkomendasiin buat anak muda. Tapi, yah, lagi-lagi itu semua bagian dari mencari identitas dan pengalaman di masa remaja.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Atikany, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Part 5

Awalnya pengen dengerin aja apa yang lagi dibicarakan sama Miranda dan teman-temannya. Tapi, dunia sepertinya punya rencana lain buat ku. Pas banget saat aku mau mulai mencerna omongan mereka, bel sekolah berbunyi nyaring, tanda masuk kelas sudah dimulai. Dan seperti biasa, semua pada loncat ke kursi masing-masing.

"Lisa, jangan salah paham ya," Miranda ngomong sembari ngambil posisi di bangkunya.

Aku sih, cuma bisa bengong. Balas ngomong juga enggak, tapi dalam hati kecil ku, pertanyaan udah mulai berkecamuk.

"Maksud kami tuh bukan ke hal negatif. Tapi gunain kecantikan untuk deket sama banyak cowok itu untuk seneng-seneng aja," lanjut Miranda, mencoba menjelaskan dengan nada yang kayaknya dia pikir bisa bikin aku paham dan legowo.

Aku cuma bisa mengerling sebal ke arah Miranda. Tapi belum sempat aku mau melayangkan protes atau apa, suasana kelas mendadak jadi formal gara-gara Bu Zia, guru Bahasa Indonesia kita, yang masuk dengan wibawa total.

"Kumpulkan tugas kalian," katanya tanpa basa-basi.

Aku yang tadinya udah siap-siap mau berdiri dan ngumpulin tugas sendiri, eh tiba-tiba Miranda dengan gesitnya ngambil tugas ku.

"Titip punya kami ya," ujarnya sambil tersenyum manis ke Harun, yang seolah jadi kurir dadakan.

"Ya," jawab Harun singkat dia melangkah maju ke depan kelas buat ngumpulin tumpukan buku tugas ke meja Bu Zia.

"Contohnya tuh kayak gini," katanya dengan enteng, sambil nunjuk ke aksi 'kurir' Harun tadi.

Aku hanya bisa geleng-geleng kepala. Serius deh, aku masih bingung, apa sih maksud beneran Miranda dengan semua 'strategi' kecantikannya itu? Apa iya cuma buat fun doang atau ada udang di balik batu?

"Lu cantik maka lu bakalan gampang hidupnya. Contohnya lu bisa nyuruh-nyuruh orang sesuka lu. Dan kalau lu bersikap manis lu bisa dapetin apa yang lu mau," ujarnya dengan nada yang terlalu percaya diri.

Kalimat-kalimat itu bikin bulu kuduk ku berdiri. Serius, ini mindset apa sih?

"Lambat laun lu bakalan ngerti kok," katanya, masih dengan senyum yang menurut ku, agak sinis.

Omongan itu seolah-olah dia yakin suatu saat aku akan menyadari dan menerima 'fakta' menurut versi dia.

\~\~\~

Begitu bel pulang sekolah berbunyi, aku langsung siap-siap buat cabut cepat-cepat dari kelas. Pengen cepet-cepet menghindar dari drama dan tingkah rombongan Miranda yang kadang bikin aku merinding.

Tapi kayaknya nasib ku enggak mendukung. Pas banget aku mau melenggang keluar dari kelas, secara tiba-tiba ada sepatu melayang yang nyaris kena kepala ku.

"Lu enggak papa?" tanya Gilang, sambil dia berjongkok ngambil sepatu yang mendarat di samping ku.

Aku cuma bisa mengangguk, "Iya, enggak papa," jawab ku, suara terdengar agak gugup.

Ini  pertama kali aku interaksi langsung sama Gilang, dan harusnya dalam keadaan yang lebih normal dari ini. Gilang itu sosok yang dikenal di sekolah, bukan hanya karena dia ketua kelas, tapi juga karena posturnya yang tinggi besar dan muka yang, ehm, cukup bikin orang dua kali pikir buat macem-macem sama dia.

Gilang langsung bertanya padaku dengan raut wajah yang penuh kekhawatiran, "Beneran?" Matanya memandangku, seolah mencari-cari tanda apakah aku benar-benar tidak apa-apa.

Ada rasa tidak nyaman saat menjadi pusat perhatian seperti itu, apalagi dalam situasi yang tidak terduga. Dalam keadaan itu, aku hanya bisa mengangguk pelan, berusaha keras menutupi rasa gugup yang mulai merayapi tubuhku.

"Iya, bener," jawabku, berusaha meyakinkan, sembari memberikan senyum terbaik yang bisa kuhasilkan.

Detik-detik itu kayaknya waktu berhenti sejenak saat aku dan Gilang saling tatap. Rasanya tuh kayak semesta lagi menguji, suara-suara sekitar mulai menghilang, dan semua gerak di sekitar jadi blur dan cepat, seperti adegan slow motion dalam film. Tapi tiba-tiba, suara nyinyir mengganggu moment itu.

"Cie-cie..." Dengar suara itu aja langsung bikin moodku jatuh. Aku melirik ke dalam kelas, beberapa anak masih ada yang ngobrol dan tertawa.

"Semangat Alisa!" teriak Fifin dari salah satu sudut ruangan.

Itu seharusnya kata-kata dukungan, tapi dalam konteks ini, terasa lebih seperti ejekan.

Dan Caca, dengan serunya menambahkan, "Pepet terus!" membuat segalanya semakin tidak nyaman.

Mereka berbicara seolah-olah memanfaatkan kecantikan untuk mendekati banyak cowok adalah semacam strategi permainan, dan itu membuatku frustasi.

Aku benar-benar tidak ingin terlibat dalam drama seperti ini.

"Apaan sih?" keluhku dengan nada kesal.

Itu semua terasa begitu absurd, seolah-olah nilai seorang individu hanya diukur dari seberapa jauh mereka bisa memanipulasi perasaan orang lain. Aku tidak bisa menerima itu, dan lebih dari itu, aku ingin menghindari segala bentuk manipulasi emosional tersebut.

Tanpa melihat ke belakang lagi, aku meninggalkan kelas, berusaha menutup telinga dari panggilan dan seruan yang masih mengudara, memanggil namaku. Langkahku cepat, mendekati lorong, meninggalkan semua kegaduhan itu di belakang.

\~\~\~

Ketika aku tiba di rumah, rutinitas harian langsung kuburu. Membersihkan, menyusun ulang barang-barang yang berantakan, semua itu kuberikan perhatian penuh—bukan hanya karena itu tugas yang harus diselesaikan, tapi juga sebagai cara untuk melepaskan kegelisahan.

Segera setelah itu, aku menyerah pada lelah, rebahan di kasur, menatap langit-langit kamarku sambil pikiran berkecamuk.

"Pengen pindah tempat duduk," keluhku dengan nada yang lebih kepada keputusasaan daripada kemarahan.

Rasanya, sejak mulai berinteraksi lebih sering dengan Miranda dan rombongannya, aku menjadi orang yang mudah tersulut emosi. Ini ironis, mengingat biasanya aku adalah orang yang paling pandai menahan amarah, selalu bisa menjaga kepala dingin di tengah situasi yang tidak mengenakkan.

\~\~\~

Malam itu, seperti rutinitas keluarga kami, semua berkumpul di ruang keluarga, sambil menikmati tayangan sinetron yang lagi hit. Lampu ruangan agak redup, hanya suara dari TV yang mengisi keheningan, sembari sesekali terdengar suara cekikikan atau komentar dari salah satu dari kami tentang adegan di sinetron tersebut.

Tiba-tiba, di tengah keseruan itu, Aries, datang dengan buku dan pensil di tangan. Dia duduk di sampingku dan dengan nada memelas berkata, "Mbak, ajarin aku dong. Aku ada PR matematika."

Mendengar itu, jujur saja, rasanya malas banget. Toh, aku sendiri punya tumpukan PR yang belum kusentuh dan berpikir mengerjakan PR sendiri aja sudah malas, apalagi harus mengajari dia.

Bapak yang duduk di kursi sebelah mendengar permintaan Aries lalu tanpa mengalihkan pandangannya dari TV, berkata, "Bantuin sana."

Dengan rasa malas yang masih menggelayut, aku hanya bisa mengangguk dan menjawab singkat, "Iya, Pak."

Yaudah, akhirnya aku bantuin Aries ngerjain PR matematikanya yang ternyata cuma tentang penjumlahan. Untungnya, nggak butuh waktu lama, dan selesai cepat.

Setelah itu, kami berdua langsung balik lagi nonton TV. Kembali ke drama sinetron yang udah nungguin, berharap gak ketinggalan banyak adegan.

Baru aja aku duduk enak-enaknya di sofa, langsung deh Bapak nanya, "Kamu enggak ngerjain PR apa?"

Aku jadi sedikit kaget, belum apa-apa udah ditanya. Mamak yang duduk di sebelahnya juga ikut nimbrung. "Iya, Mamak enggak pernah lihat kamu belajar tuh," katanya, sembari matanya masih tertuju ke layar TV.

Aries yang baru selesai dibantuin malah ikutan nyindir. "Iya, Mbak enggak pernah belajar, pantesan enggak pinter," canda dia sambil tertawa kecil.

1
Amelia
halo salam kenal ❤️🙏
Atika Norma Yanti: salam kenal juga ya😄
total 1 replies
Anita Jenius
5 like mendarat buatmu thor. semangat ya
Anita Jenius
seru nih mengangkat masalah pembullyan.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!