Eilaria gadis yang hidupnya penuh tekanan kini harus mampu memutuskan hubungan dengan keluarga Drake, hanya saja Davian Drake tak akan bisa melepas Eila begitu saja. Bagaimana pria red flag itu mengejar mati-matian gadis kesayangannya? Akan kah Eila dapat menerima Davian bersama nya?
- WARNING !!! Kalian bisa membaca dari BAB 51 - BAB 58 jika tidak suka alur maju mundur.
Ini untuk mempermudah pembaca yang tidak suka cerita rumit. Terima kasih semua yang sudah support. BIG LOVE
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yuan La, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
Eila kini duduk diruang tengah, ia kembali mengerjakan jurnalnya. Sesekali ia melihat ruang kerja Davian, tak ada yang berubah. Lampunya masih menyala dan pintu tertutup rapat.
ZIP!!
Beberapa pesan masuk dari Jillian dan Dallen yang menanyakan kabar Eila. Termasuk Mia juga menghubunginya.
Eila tidak menggubris pesan dari dua pria itu. Ia sangat stres menghadapi Davian malam itu. Hingga ia terpikirkan mengirim pesan kepada Reynald.
E : Apa dia sedang sibuk dengan kerjaannya?
R : Kau bersamanya sekarang, kenapa tanya aku.
E : Dia diruang kerja, aku takut menganggunya.
R : Seingatku kau selalu mengganggu kerjaannya.
E : Aku harus bagaimana? Dia mendiamiku.
R : Apa kau sudah mengakui kesalahan mu?
E ; Dia diam. Aku bisa apa. Aku takut.
R : Minta maaflah… meski aku tidak tahu kau salah atau tidak. Tapi redakan lah emosinya.
R : Kau berbuat salah apa emangnya.
E : Handphone ku mati. Aku tidak tahu, itu bukan salah ku.
E : Dia menghubungi ku berkali-kali.
E : Aku juga memperkenalkannya ke teman-teman ku.
E : Sebagai kakak ku.
R : 😱.
R : Dia tunangan mu Eil.
E : Dia tidak pernah mengakui hal itu. Dia juga tidak pernah mengakui ku. Aku kira itu yang dia inginkan.
R : Temui dan minta maaflah.
Semua percakapan itu jelas Davian mengetahuinya. Ia menyadap semua akses sosial media berikut ponsel dan laptop milik Eila. Tidak satu hal pun yang terlewat oleh Davian.
Eila kembali melihat ruang kerja Davian. Lampunya sudah padam namun pintunya masih tertutup rapat. Ia melihat lampu kamarnya juga sudah padam.
“Apa dia sudah tidur?”
Eila melangkah menuju kamarnya, namun Davian tidak ada didalam kamar tidur. Perlahan ia turun kebawah menuju ruang kerja Davian, membuka pintunya perlahan. Namun Davian juga tidak ada, bahkan makan malamnya tidak di sentuh.
E : Rey dia tidak ada dirumah. Kunci mobilnya tidak ada.
R : Aku akan menghubunginya.
R : Udara disini sangat dingin, kau jangan keluar. Tunggu dia didalam.
Eila tidak menggubris pesan dari Rey. Ia bergegas mengambil jaketnya dan keluar rumah. Benar saja, Davian pergi malam itu dengan mengendarai mobilnya. Ia menunggu Davian malam itu diluar rumah.
BIIP!!
“Hai?” Sapa Eil saat Ivy menghubunginya melalui layanan video call bersama Emily.
“Kau lagi diluar?” Tanya Ivy.
”Ya…”
”Kenapa kau diluar?” Tanya Emily.
”Tidak apa, aku hanya bosan. Kau sedang apa Em?”
”Mengerjakan tugas kuliah ku, saat aku wisuda apa kau bisa datang bersama Davian?” Tanya Emily.
”Tahun ini?”
”Ya…”
”Entahlah aku tidak yakin. Aku baru pindah kerja, bisa cuti atau tidak aku belum tahu.”
HATCHII!!
“Hei kau lagi flu kenapa mencari angin diluar. Masuklah.” Cemas Ivy.
”Udara disini memang sedikit lebih dingin. Kau kapan kesini?” Tanya Eila pada Ivy.
”Bulan depan. Aku baru selesai tugas kerja ku akhir bulan ini.”
Mereka bertiga mengobrol cukup lama. Namun Eila tidak menceritakan masalahnya saat ada Emily. Entah kenapa ia merasa ada hal yang disembunyikan Emily padanya mengenai keluarga Drake. Namun bagaimanapun Emily juga sudah sangat baik padanya.
“Guys… sudah dulu ya bibi Drake menghubungi ku.” Eila segera mengakhiri panggilan tersebut.
“Bibi…” Sapa Eila.
”Sayang bagaimana kabar mu?”
”Baik. Maaf belum menghubungi mu kembali bibi, seharian ini aku…”
”Tunggu… suara mu terdengar? Kau flu?”
”Ah iya sedikit. Disini cukup dingin.”
”Kemana anak bodoh itu. Apa dia tidak bisa menjaga mu?”
”Bibi ini hanya flu biasa. Aku bawa tidur juga akan segera pulih.”
”Jam berapa sekarang disana?”
”Jam 10 malam.”
”Kalau begitu tidurlah, bibi tidak akan menganggumu lagi. Kabari aku jika terjadi sesuatu. Oke sayang.”
”Baik bibi. Kau juga jagalah kesehatan, salam untuk paman dan Nevan.”
Tak begitu lama Eila sayup-sayup melihat mobil Davian. Sorot lampu jauh mobil Davian menyoroti Eila yang berdiri kedinginan. Davian tepat menghantika mobilnya dihadapan Eila. Ia dapat melihat jelas pipi dan hidung Eila memerah karena menahan dingin.
Eila segera mematikan ponselnya, saat Davian datang menghampirinya.
“Apa yang kau lakukan diluar?” Kesal Davian menarik tangan Eila masuk kedalam lift. Bahkan tangan wanita itu beku. Kedinginan.
”Kau darimana? Kenapa aku tidak tahu kau keluar?”
Davian tidak menjawab, ia bergegas masuk dan seperti biasa. Membasuh muka dan tangannya.
HATTCHII!!
Davian kembali melangkah menghampiri wanita bodoh itu. Elia demam kembali.
“Duduk.” Pinta Davian menunjuk sofa besar diruang tengah.
”Kau masih marah?”
Davian tidak menjawab, tatapannya tajam menghujam kedua mata Eila. Paham yang dimaksud, Eila bergegas duduk disofa.
“Minum obatnya.” Davian memberikan obat flu dan vitamin dengan segelas air hangat.
Eila menerima gelas tersebut. Terasa hangat ditangannya.
“Maafkan aku.” Lirih Eila menatap gelasnya.
”Untuk?” Ketus Davian.
Eila tidak menjawab. Sebenarnya ia juga bingung kenapa Davian harus marah. Apa salah menyebutnya sebagai kakak, toh selama ini dia juga tidak pernah mengakui Eila sebagai tunangannya. Kalau ponselnya mati, bukan salahnya juga. Bukan dia yang menciptakan teknologi itu, jika dia bisa, ia akan buat ponsel yang tidak pernah habis daya baterainya.
“Yang terjadi hari ini.” Jawab singkat Eila.
Davian tahu bahwa Eila tidak akan pernah menyadari perasaan yang ada untuknya. Ia juga gengsi jika harus mengatakan ia cemburu bahwa Eila dikelilingi banyak pria. Pria itu sangat arogan. Mencintai Eila dengan caranya sendiri.
”Obat itu tidak akan berefek kalau cuma kau pandangi.”
”Aku tidak bisa meminumnya.” Air mata Eila mulai membasahi wajahnya, “Kenapa obatnya besar seperti ini. Ini racun apa obat.” Kesal Eila ia tidak tahu kenapa harus menangis.
“Apa kau harus nangis untuk minum obat.”
”Aku juga tidak tahu kenapa aku nangis. Kau jangan memarahi aku terus. Aku sudah sakit seperti ini.”
Tangis Eila semakin menjadi. Devian menghela nafas dan mengambil sendok, menggerus obat tersebut untuk Eila.
“Aku tidak mau minum. Itu pahit.”
”Eila…” Suara dingin Davian mulai menggema dalam ruangan tersebut.
Eila menatap kedua mata Davian yang tajam, air matanya bahkan tidak berhenti berderai.
“Berjanjilah tidak mendiami ku lagi. Aku tahu aku salah tidak mengabari mu. Aku juga tidak ingin handphone ku mati. Sudah cukup aku di marahi profesor Duan dan sekarang kau juga. Aku sudah cukup pusing beberapa hari ini, aku bahkan belum mulai bekerja dan kuliah.” Tangis Eila mulai kembali.
“Iya baiklah… baiklah… sekarang minum obatnya.”
Eila bergegas mengambil permen diatas meja ruang tamu tersebut dan saat Davian menyulang obatnya dengan buru-buru Eila meminum air dan mengemut permennya.
“Lain kali belikan obat khusus anak-anak. Aku akan meminum dosis yang setara dewasa.”
“Mmm…” Jawab Davian datar menyalakan siaran tv nya.
”Kau habis dari mana tadi?” Tanya Eila menyeka air matanya.
“Kenapa tidak bilang? Aku tidak melihat mu pergi tadi.”
Davian tidak menjawab, sibuk mendengarkan siaran tv dan memainkan ponselnya. Ia terlihat sangat fokus dan mengabaikan Eila saat itu.