NovelToon NovelToon
JANGAN MADU AKU GUS

JANGAN MADU AKU GUS

Status: tamat
Genre:Tamat / Poligami / Dijodohkan Orang Tua / Penyesalan Suami / Pihak Ketiga
Popularitas:1.1M
Nilai: 4.8
Nama Author: HANA ADACHI

🏆🏅 Juara Harapan Baru YAAW Season 10🥳

Kalau nggak suka, skip saja! Jangan kasih bintang satu! Please! 🙏🙏

Hafsa tidak menyangka bahwa pernikahannya dengan Gus Sahil akan menjadi bencana.

Pada malam pertama, saat semua pengantin seharusnya bahagia karena bisa berdua dengan orang tercinta, Hafsa malah mendapatkan kenyataan pahit bahwa hati Sahil tidak untuknya.

Hafsa berusaha menjadi istri yang paling baik, tapi Sahil justru berniat menghadirkan wanita lain dalam bahtera rumah tangga mereka.

Bagaimana nasib pernikahan tanpa cinta mereka? Akankah Hafsa akan menyerah, atau terus berjuang untuk mendapatkan cinta dari suaminya?

Ikuti terus cerita ini untuk tahu bagaimana perjuangan Hafsa mencairkan hati beku Gus Sahil.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HANA ADACHI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

6. Kenyataan Pahit

Meskipun sedih karena menjadi sasaran kemarahan Gus Sahil seharian ini, Hafsa tetap merasa bersalah karena sudah merusak sarung kesayangan suaminya. Maka ia pun berniat untuk mengganti sarung tersebut.

Hanya saja Hafsa tidak tahu menahu kemana ia harus mencari sarung yang katanya harganya jutaan itu. Maka ia pun mencari Mabrur, yang untungnya pada hari itu tidak mengantarkan Gus Sahil mengisi pengajian.

"Mabrur," Hafsa memanggil Mabrur yang sedang sibuk mencuci mobil.

"Iya Ning?" Mabrur yang basah kuyup segera berlari mendekat.

"Itu, aku mau tanya sama kamu. Kemarin kan sarung kesayangannya Gus Sahil nggak sengaja rusak. Bisa nggak kalau sampean anterin saya ke toko sarungnya?"

"Bisa Ning, bisa," Mabrur mengangguk cepat. "Kebetulan saya sering ikut Gus Sahil kalau beliau lagi belanja sarung,"

"Yasudah, kalau begitu kamu siap-siap ya. Aku mau panggil mbak ndalem buat menemaniku,"

Mabrur mengangguk, segera melesat mengganti pakaiannya.

Hafsa sendiri sudah siap. Ia hanya tinggal mencari salah satu santriwati untuk menemaninya berbelanja. Dalam norma agama yang ia pelajari, seorang laki-laki dan perempuan muslim yang bukan mahram tidak diperbolehkan pergi berduaan saja. Maka untuk menghindari fitnah, dia juga harus membawa orang lain yang bisa menemani mereka.

Sampai di belakang, suasana terlihat sepi. Tidak ada satu batang hidung pun yang terlihat. Hafsa bergeser ke arah dapur yang jaraknya agak jauh dari ndalem. Dapur itu biasanya digunakan untuk memasak makanan para santri.

"Dulu aku kira yang bakal nikah sama Gus Sahil itu Mbak Roha loh," celetukan seorang santri lantas membuat langkah kaki Hafsa berhenti.

"Iya. Soalnya aku juga sering lihat Mbak Roha baca surat-surat dari Gus Sahil," suara lain menanggapi.

"Eh, eh, kalian pernah nyicip nggak kueh yang dikasih Gus Sahil ke Mbak Roha? Ya Alloh enak banget!"

"Iya, Mbak Roha juga udah sering dikasih kado sama Gus Sahil waktu ulang tahun. Yang terakhir kemarin aja Mbak Roha dikasih seperangkat alat sholat sama Alquran. Kita kira itu udah nyicil mahar!"

Suara cekikikan mereka membuat Hafsa mau tidak mau mengurungkan niatnya untuk masuk. Ah, bagaimana ini? Kenapa ia harus mendengarnya sekarang?

"Ning?" suara dari belakang Hafsa mengagetkan. Hafsa buru-buru menjaga raut wajahnya agar tidak terlihat muram. Seorang santri putri mendekat dan mencium tangan Hafsa.

"Saya Zulfa Ning, lurah putri pesantren ini. Ning ada apa kesini?"

(lurah putri: sebutan untuk ketua dari seluruh santri putri)

"Itu, sebenarnya—"

"Tapi kalau dilihat-lihat Mbak Roha sama Ning Hafsa itu cantikan mana ya?" suara-suara dari dalam dapur tidak henti-hentinya bergosip.

Zulfa yang mendengar perkataan itu lantas segera masuk ke dapur sambil berteriak marah,

"HEH! Bukannya masak malah gosip terus!"

Para santri yang terkejut melihat kedatangan Zulfa lantas menoleh. Bertambah terkejut ketika melihat Hafsa sudah berdiri di depan pintu dapur. Buru-buru mendekati Hafsa, berebut mencium tangan.

"Maafkan mereka ya Ning," Zulfa merasa bersalah. Para santri yang tadi asyik bergosip kini menunduk dalam-dalam, tidak berani menatap Hafsa.

"Sudah, nggak apa-apa mbak," Hafsa melambaikan tangan, tanda tidak masalah. "Oh iya, sampean sedang sibuk nggak ya Mbak? Bisa temani saya belanja?"

Zulfa mengangguk. Ia kemudian mengikuti Hafsa dari belakang. Sebelum itu ia terlebih dahulu memberikan kode pada para santri di dalam dapur untuk tidak berkata macam-macam.

...----------------...

Perkataan yang didengar Hafsa barusan jelas tidak bisa ia lupakan begitu saja. Tapi setelah sampai ke toko yang dikatakan Mabrur, segera saja fokus Hafsa teralihkan. Ia sibuk memilih motif sarung yang dirasa akan cocok. Bertanya pada Mabrur dan Zulfa seperti apa selera Gus Sahil.

Tak hanya itu, Hafsa juga turut memilih pakaian untuk Umi Zahra dan Abah Baharuddin. Bimbang memilih model dan warna apa yang lebih bagus.

"Yang ini bagus Ning," Zulfa menunjuk sebuah gamis berwarna pink salem. "Sepertinya cocok untuk dipakai njenengan,"

Hafsa melihat gaun yang dimaksud Zulfa. Benar, gamis itu bagus sekali. Pasti akan sangat cantik untuk dipakai mendampingi Gus Sahil mengisi pengajian. Tapi memikirkan Gus Sahil sekali lagi membuatnya kembali memikirkan perkataan para santri tadi. Benarkah hubungan Roha dan Gus Sahil sedekat itu?

"Brur, kamu turun ya. Tolong carikan roti buat Umi dan Abah," Hafsa mengulurkan uang pada Mabrur saat mobil mereka berhenti di depan sebuah toko roti.

"Roti apa Ning?"

"Apa saja. Belikan yang biasa dibeli Gus Sahil,"

Mabrur mengangguk, segera keluar dari mobil.

Di dalam mobil, tersisa Hafsa dan Zulfa. Zulfa tahu, Hafsa pasti ingin menanyakan sesuatu. Menyuruh Mabrur pergi hanya alasan agar mereka bisa bicara berdua saja.

"Tadi aku dengar sesuatu mbak," Hafsa memulai pembicaraan. "Katanya Mbak Roha sama Gus Sahil dulu ada hubungan spesial,"

Zulfa terdiam. Dia mulai berfikir, harus menjawab seperti apa?

"Apa yang aku dengar itu betulan Mbak?"

Zulfa masih terdiam.

"Nggak apa-apa Mbak, sampeyan bisa ceritakan semuanya sama saya,"

"Itu semua hanya masa lalu Ning," Zulfa berkata lirih. "Sekarang mereka sudah tidak ada apa-apa lagi,"

"Aku hanya ingin tahu Mbak. Supaya perasaanku jadi tenang, supaya tidak kepikiran yang macam-macam,"

"Tapi Ning?"

"Tolong Mbak. Sekali ini saja, tolong ceritakan padaku,"

Zulfa menghela napas berat. Hafsa sudah bertekad seperti itu, tentunya tidak ada alasan lain bagi dirinya untuk menghindar.

"Sebenarnya, hubungan mereka dimulai sejak tiga tahun lalu Ning,"

Hafsa mengerutkan kening heran. Tiga tahun? Itu kan sudah lama sekali.

"Saat itu Umi Zahra tiba-tiba masuk rumah sakit, dokter bilang beliau ada penyakit jantung. Gus Sahil yang waktu itu masih mondok di luar pulau cepat-cepat datang, rela tidak meneruskan pendidikan demi menemui uminya,"

"Saat itu juga, Mbak Roha mulai masuk sebagai abdi ndalem. Mbak Roha menjadi satu-satunya santri putri yang mengurus semua keperluan Umi Zahra,"

"Lama-lama, Gus Sahil dan Mbak Roha jadi sering ketemu. Entah saat mengantarkan Umi Zahra kontrol ke rumah sakit, atau saat menyiapkan sarapan Umi Zahra di ndalem. Saat itulah Gus Sahil mulai memperhatikan Mbak Roha. Setiap pulang dari luar kota, atau sekedar pulang dari pengajian, Gus Sahil pasti membelikan oleh-oleh untuk Mbak Roha,"

"Sebagai teman sekamar Mbak Roha, saya pikir itu adalah bentuk terimakasih Gus Sahil kepada Mbak Roha yang sudah mengurus Umi Zahra selama ini Ning, Tapi.. "

"..Suatu hari di dalam kotak oleh-oleh itu ada surat dari Gus Sahil. Saat itulah mereka berdua mulai bertukar surat,"

Hafsa menghembuskan napas panjang. Ia merasa bimbang sekarang. Haruskah ia lanjut mendengarkan cerita ini atau tidak?

"Terus bagaimana mbak?" Hafsa berusaha kuat. "Ceritakan semuanya sampai selesai,"

"Beberapa bulan kemudian, saat ulang tahun Mbak Roha, Gus Sahil memberikan hadiah ulang tahun. Sebagai ucapan terimakasih, Mbak Roha juga balas memberikan hadiah untuk Gus Sahil. Hadiahnya itu sarung mahal yang selama ini dipakai Gus Sahil kemana-mana. Mbak Roha sampai harus menabung berbulan-bulan untuk membeli sarung tersebut,"

Ah, sekarang Hafsa sepenuhnya mengerti. Sarung itu, bukan hanya sekedar sarung mahal yang disayangi Gus Sahil. Sarung yang kemarin ia rusak adalah kenang-kenangan, hadiah dari orang yang paling dicintai Gus Sahil.

Gawat, air matanya tidak berhenti menetes. Padahal masih ada Zulfa di sampingnya. Hafsa buru-buru memalingkan muka.

Zulfa yang mengerti keadaan Hafsa segera keluar dari mobil. Mencegah Mabrur yang sudah datang untuk masuk. Mengajak Mabrur pergi lagi, membiarkan Hafsa menghabiskan air matanya di dalam sana.

1
Dewi Oktavia
sadis x ,baru mulai baca
Murci Sukmana
Luar biasa
Arin
/Heart/
Anita Candra Dewi
klo ak lgsg tak ganti yg serupa😅
bibuk duo nan
😭😭😭😭
ALNAZTRA ILMU
sini aku tak tahan🥺🥺🥺
ALNAZTRA ILMU
knp tidak dari dulu buat program hamil.. tapi terburu2 carikan suaminya isteri baru sok kuat
ALNAZTRA ILMU
ini agak biadab ya.. sepatutnya, jangan suka ganggu
ALNAZTRA ILMU
🤣🤣🤣wahhh
ALNAZTRA ILMU
🤣🤣🤣
ALNAZTRA ILMU
berat ya ujian nya
ALNAZTRA ILMU
mundur saja
Izza Nabila
Luar biasa
PURPLEDEE ( ig: _deepurple )
hafsa kasian bnget😭
PURPLEDEE ( ig: _deepurple )
hai kak maaf bru mampir🤗
May Keisya
kamu nikah lagi karna nafsu dan mendzolimi istri...paham agama yg ky gmn Gus???
May Keisya
dia tambah setress gesrek egois😂
May Keisya
dia udah mulai ketar ketir...tapi maaf ya Gus aku udah kesel bin kurang suka km dr awal cerita🙄
May Keisya
😂😂😂...bagus ih jujurnya
May Keisya
km knp Gus? kepanasan...syukurin
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!