Namaku Arian. Usia? Ya... paruh baya lah. Jangan tanya detail, nanti aku merasa tua. Yang jelas, aku hidup normal—bekerja, makan, tidur, dan menghabiskan waktu dengan nonton anime atau baca manga. Kekuatan super? Sihir? Dunia lain? Aku suka banget semua itu.
Dan jujur aja, mungkin aku terlalu tenggelam dalam semua itu. Sampai-sampai aku latihan bela diri diam-diam. Belajar teknik pedang dari video online. Latihan fisik tiap pagi.
Semua demi satu alasan sederhana: Kalau suatu hari dunia ini tiba-tiba berubah seperti di anime, aku mau siap.
Konyol, ya? Aku juga mikir gitu… sampai hari itu datang. Aku bereinkarnasi.
Ini kisahku. Dari seorang otaku paruh baya yang mati konyol, menjadi petarung sejati di dunia sihir.
Namaku Arian. Dan ini... awal dari legenda Raja Arlan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BigMan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 8 - Aku, Bukan Lagi Arian—eh, Arlan yang Dulu
Aku duduk di kursi roda, masih setengah kering, dengan tubuh dibalut pakaian hangat yang dipilihkan langsung oleh Anya—yang entah kenapa tampak bangga sekali karena katanya “warna biru gelap ini menonjolkan aura kelelakian seorang pangeran pemikir.”
Kalau dia bilang aku mirip kucing liar kehujanan pun aku mungkin nggak bakal protes—karena ya, aku masih terlalu lelah untuk debat.
Di depanku, sebuah cermin tinggi berdiri tegak.
Pantulan di sana membuatku terdiam sejenak.
“...Siapa ini?”
Rambutku kini pendek rapi, menyisakan poni yang sedikit jatuh ke dahi. Jauh dari kesan “anak hilang dari hutan yang belum menemukan sabun.” Wajahku masih pucat, tapi mata ini... mulai memantulkan cahaya yang berbeda.
Anya berdiri di belakangku, memegangi sisir sambil menatap pantulan kami berdua.
“Gimana, Pangeran...? Anda terlihat... luar biasa,” katanya, nyaris berbisik, seolah takut memecah keheningan suci.
“Jadi ini... aku sekarang,” gumamku.
“Versi yang baru. Lebih bersih... lebih keren... dan... lebih bisa bikin aku tergila-gila,” tambahnya pelan sambil menutup mulut dengan kedua tangan.
Aku menoleh pelan. “Kamu barusan ngomong apa, yang terakhir?”
“Ng—enggak!” jawabnya reflek. “Itu cuma... efek gema cermin!”
“Cermin nggak punya fitur kayak gitu...”
“Teknologi baru? Sihir? Kupu-kupu dimensi?”
Aku menghela napas, lalu tertawa kecil. “Makasih, Anya.”
Dia tersentak. “Eh?”
“Serius. Kamu udah bantu aku banyak hari ini.”
Wajahnya memerah. “A-aku hanya menjalankan tugas...!”
“Tapi kamu melakukannya dengan tulus,” tambahku sambil kembali menatap cermin.
“Aku tahu aku belum kuat. Tapi kalau aku terlihat sedikit lebih baik hari ini... itu bukan karena sihir... itu karenamu.”
Aku menatap pantulan mataku.
“Aku cuma ingin bisa berdiri dengan caraku sendiri. Dan sepertinya... hari itu masih jauh. Tapi aku nggak keberatan menempuhnya, asal langkah pertama bisa kulakukan dengan senyuman.”
Anya diam.
Lalu, dengan perlahan, dia meletakkan sisir di pangkuanku.
“Kalau begitu... izinkan aku ada di langkah kedua, ketiga... dan seterusnya juga.”
Aku hampir tersedak air liur sendiri.
“Eh!?”
“Eh?” jawabnya balik. “A-aku maksudnya... sebagai pelayan! Sebagai pelayan, ya!”
“...Anya, napasmu ngos-ngosan, kamu habis sprint lari dari kenyataan, ya?”
“Aku berusaha keras tidak pingsan, itu saja!”
Aku tertawa. Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama... tawa itu terdengar ringan.
...----------------...
Mentari pagi menyusup lembut lewat jendela besar ruang makan kerajaan. Di tengah ruangan yang megah namun sepi itu, hanya ada dua orang.
Aku dan Ayah.
Aku duduk di kursi roda, rambut baruku terasa ringan seperti beban lama yang akhirnya dipotong bersama ujung-ujung kusutnya.
Penampilan baru ini membuatku sedikit kikuk... tapi juga segar. Aku belum terbiasa melihat diriku sendiri di cermin tanpa penampilan gembel.
“Pagi, Ayah,” sapaku, pelan.
Raja Argus menoleh. Wajahnya seperti biasa—tenang, kuat, dan penuh wibawa. Tapi ada sorot kelelahan di mata itu. Mata seorang pria yang terlalu sering bergadang memikirkan masalah yang tidak pernah ia bagi.
“Pagi, Arlan,” jawabnya, suara berat namun hangat.
Pelayan datang membawakan makanan. Menu pagi ini tampak mewah—roti panggang lembut, sup kaldu jamur, dan potongan daging asap dengan aroma menggoda. Tapi yang menarik perhatianku bukan makanannya, melainkan bagaimana Ayah terus melirikku.
Bukan dengan kekhawatiran, tapi dengan... rasa aneh. Seperti sedang mencoba mengenali anaknya kembali.
“Potongan rambut baru,” komentarnya.
Aku mengangguk. “Anya bilang rambutku mirip sarang burung gagak yang tersambar petir.”
Ayah tersedak supnya. Aku nyengir.
“Dia... cukup jujur, ya,” gumam Ayah sambil batuk pelan. Ada senyum tipis di wajahnya. Jarang sekali kulihat itu.
Kami mulai makan. Beberapa menit sunyi berlalu, hanya diisi suara sendok dan pisau. Tapi aku bisa merasakan... ada sesuatu yang ingin dikatakan Ayah. Seperti ada awan yang menggantung di atas kepalanya.
“Kau kelihatan... berbeda,” ucapnya tiba-tiba. “Tak seperti biasanya...”
Aku tersenyum, menatap roti di tanganku. “Mungkin karena aku merasa hidup sekarang.”
Ayah mengangguk pelan. Tapi ada sedikit getaran di wajahnya.
“Ada yang mengganggumu, Ayah?” tanyaku akhirnya.
Ia terdiam. Satu detik. Dua detik. Lalu...
“...Ada beberapa kerajaan kecil yang mulai bergerak aneh. Seperti... merapat satu sama lain. Ayah mencurigai ada potensi pemberontakan.”
Aku menatapnya, tapi tak menjawab. Ayah seolah sadar, dan mendesah.
“Ayah tidak seharusnya membahas ini padamu. Kau belum pulih.”
“Tapi aku juga bukan anak kecil lagi, Ayah.”
Ayah tertawa pelan. “Ibumu juga sering bilang begitu dulu.”
Hening sejenak. Aku menatap wajahnya. Ia tampak jauh lebih tua dari usianya. Tapi... untuk pertama kalinya, aku merasa ingin membantunya. Benar-benar membantu, bukan hanya jadi beban yang terbaring di ranjang.
“Kalau nanti aku sembuh... bolehkah aku ikut rapat kerajaan?”
Ayah mengangkat alis. “Untuk tidur di meja pertemuan?”
“Tidak! Untuk... mungkin menyumbang ide. Atau komentar sarkas.”
Ia terkekeh lagi. Kali ini lebih lepas.
“Kalau kau datang dengan komentar sarkas setiap pagi, mungkin itu justru yang kami butuhkan.”
Kami tertawa bersama. Rasanya aneh. Aneh tapi hangat. Dan untuk sesaat... beban yang ada di pundaknya tampak sedikit lebih ringan.
Aku tahu... aku belum siap memikul semuanya. Tapi... mungkin suatu hari nanti, aku bisa jadi seseorang yang membuat Ayah tidak merasa sendirian.
Raja Argus menatap piringnya yang sudah bersih, lalu meletakkan sendoknya perlahan. Tangannya menyentuh cangkir teh, namun ia tidak langsung meminumnya. Matanya menatap jauh ke arah jendela, seolah ada sesuatu yang hendak dikatakannya.
"Arlan," panggilnya akhirnya, dengan nada berat tapi lembut. "Besok siang, akan ada pertemuan kecil dengan para menteri dan penasihat kerajaan."
Aku mengangguk pelan, mendengarkan.
"Ayah tahu biasanya kau... tak begitu suka hal-hal semacam itu. Tapi jika kau ingin... kau bisa datang. Tak perlu terlibat. Duduk diam saja pun tak apa."
Nada suaranya terdengar ringan, seperti sebuah ajakan iseng. Tapi aku bisa menangkap sesuatu di baliknya. Sesuatu yang lebih dalam. Ia tidak benar-benar berharap aku datang. Karena, yah… Arlan yang ia kenal seumur hidup memang tak pernah mau ikut duduk bersama bangsawan atau berbicara tentang negara.
Selalu tertutup. Selalu menghindar.
Karena tubuh yang lemah ini—mungkin… Ia telah menjauhkan diri dari segalanya.
Tapi sekarang… aku bukan lagi "Arlan" yang dulu.
Aku menatap wajah ayahku yang serius namun tampak lelah. Dan untuk sesaat, kulihat harapan kecil bersembunyi di balik matanya yang tajam. Harapan yang tak pernah benar-benar ia ucapkan.
Aku hanya tersenyum kecil dan menjawab, “Baiklah, Ayah. Akan kupikirkan.”
Ia mengangguk, seolah puas dengan jawaban netral itu. Tapi aku bisa lihat sudut bibirnya sedikit terangkat.
Dan dalam hati, aku tahu… aku akan datang.