Anjani, gadis manis dari kampung, menikah dengan Adrian karena cinta. Mereka tampak serasi, tetapi setelah menikah, Anjani sadar bahwa cinta saja tidak cukup. Adrian terlalu penurut pada ibunya, Bu Rina, dan adiknya, Dita. Anjani diperlakukan seperti pembantu di rumah sendiri. Semua pekerjaan rumah ia kerjakan, tanpa bantuan, tanpa penghargaan.
Hari-harinya penuh tekanan. Namun Anjani bertahan karena cintanya pada Adrian—sampai sebuah kecelakaan merenggut janin yang dikandungnya. Dalam keadaan hancur, Anjani memilih pergi. Ia kabur, meninggalkan rumah yang tak lagi bisa disebut "rumah".
Di sinilah cerita sesungguhnya dimulai. Identitas asli Anjani mulai terungkap. Ternyata, ia bukan gadis kampung biasa. Ada darah bangsawan dan warisan besar yang tersembunyi di balik kesederhanaannya. Kini, Anjani kembali—bukan sebagai istri yang tertindas, tapi sebagai wanita kuat yang akan menampar balik mertua dan iparnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mira j, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 30
Di ruang keberangkatan, suasana terasa hening. Anjani berdiri di samping Kevin, berusaha menahan kesedihannya. Marco dan Elisabet menatap kedua anaknya dengan penuh kasih.
Elisabet melangkah mendekat, memeluk Anjani dengan lembut.
"Mami percaya kamu bisa menjaga diri sendiri... Jangan terlalu memikirkan masa lalu, fokuslah pada masa depanmu."
Anjani menunduk, suara tangisnya hampir pecah, tetapi ia segera menahannya.
"Terima kasih, Mami... Anjani akan berusaha."
Marco ikut memeluk putrinya, menepuk bahunya pelan.
"Kamu anak yang kuat... Kami akan segera kembali."
Kevin berdiri di samping, mencoba tegar meskipun matanya berkaca-kaca.
"Aku akan menjaga Kakak, Papi... Jangan khawatir."
Marco tersenyum bangga, menepuk kepala Kevin.
Setelah panggilan keberangkatan diumumkan, Marco dan Elisabet melangkah pergi. Anjani dan Kevin hanya bisa menatap mereka hingga bayangan kedua orang tua mereka menghilang di balik gerbang.
Kevin menggenggam tangan Anjani erat, memberikan dukungan tanpa kata.
"Kita akan baik-baik saja, Kak..."
Anjani mengangguk pelan, meski hatinya terasa berat. Setelah keluar dari lobi bandara Anjani meminta Kevin untuk pergi ke kantor william. Karena mereka sudah janjian untuk melihat rumah yang akan Anjani beli.
Di lobi kantor, suasana terasa canggung saat Anjani dan Kevin berhadapan dengan Clara. Clara memasang senyum sinis, matanya menatap Kevin dari atas ke bawah dengan penuh ejekan.
"Wah, sekarang bawa brondong, ya? Cepat juga move on-nya, Anjani." sindir Clara, bibirnya melengkung penuh kepuasan.
Kevin yang mendengar itu langsung melangkah maju, wajahnya merah menahan emosi.
"Jaga mulutmu, Mbak! Jangan asal ngomong!"
Anjani buru-buru meraih tangan Kevin, menahannya agar tidak terjadi keributan.
"Kevin, jangan buang energi buat orang seperti ini." bisik Anjani lembut.
Clara tertawa kecil, matanya menyipit licik.
"Kenapa? Malu, ya, ketahuan seleranya sekarang anak bau kencur?"
Kevin hampir saja membuka suara, tapi Anjani menatapnya tajam, memberi isyarat agar diam.
"Clara, aku nggak punya waktu meladeni omongan kosong kamu. Kalau kamu iri, lebih baik perbaiki diri daripada sibuk menjelekkan orang lain."
Clara terdiam sejenak, tidak menyangka Anjani akan berbicara setegas itu. Wajahnya memerah, tapi ia tetap berusaha terlihat santai.
"Aku cuma kasihan aja... Ternyata seorang janda seleranya turun ke brondong muda."
Kevin benar-benar geram, tetapi Anjani menepuk tangannya lembut.
"Ayo, Kevin... Orang yang suka merendahkan orang lain cuma menunjukkan betapa rendahnya dia sendiri."
Anjani melangkah pergi dengan anggun, meninggalkan Clara yang terdiam dengan wajah masam. Kevin mengikuti di belakang, masih menahan amarah, tapi mulai memahami sikap bijaksana kakaknya.
"Kakak keren banget tadi." bisik Kevin pelan.
Anjani menoleh dengan tatapan dingin, namun suaranya tetap lembut. ”Perempuan seperti itu perlu di kasih pelajaran sekali kali.”
Mereka terus berjalan menuju lift dan naik ke ruangan William berada. Sesampai di depan pintu Anjani mengetuk pintu itu.
“ Tok …tok…”
“Masuk ..”suara Wiliam terdengar.
William segera menghentikan aktivitasnya,ketika melihat Anjani dan Kevin dari balik pintu yang terbuka.
Anjani segera mendudukkan tubuhnya di kursi di depan Wiliam sedang Kevin berdiri di samping sang kakak.
“ Apa kamu sedang sibuk Wiliam , jika kamu berubah pikiran tidak masalah”. Kata Anjani ,tangan nya sambil membuka dan memeriksa dokumen yang berserakan di depan William.
William menarik nafas sebentar sambil tersenyum kecil melihat Anjani,ia menghempaskan tubuh kekarnya di kursi kebesarannya.
“ Apa yang tidak buat kamu sayang..?
Anjani segera melotot ke arah William mendengar ucapan itu ....ia segera menoleh ke arah Kevin dengan senyuman canggung.
“ Wah….kelihatanya aku mengganggu ya..?” Mata Kevin berkedip kearah anjani dengan senyum menggoda.
“ Apa sih Kevin..!” Wajah Anjani memerah,menahan malu .
William segera membereskan meja kerjanya. Dan segera berdiri menghampiri anjani.
“ Ayo kita berangkat….takut nya nanti kesorean “
Senyum William mengembang ketika Anjani melihat nya. Anjani mengguk dan segera berdiri segera berjalan di iringi kevin dan William keluar dari ruangan tersebut. Tak lama lif membawa mereka ke depan meja resepsionis.
saat mereka keluar Clara masih berdiri di depan meja resepsionis melirik tajam ke arah mereka. Wajahnya merah padam, tetapi ia hanya bisa menggigit bibir tanpa bisa berkata apa-apa.
Anjani tidak memperdulikannya. Dengan kepala tegak, ia melangkah keluar bersama Kevin dan William, meninggalkan Clara yang semakin terbakar iri di balik senyumnya yang penuh kepalsuan.
Clara yang merasa harga dirinya diinjak langsung berteriak kesal begitu Anjani dan William sudah cukup jauh. sedangkan Kevin agak tertinggal di belakang
"Dasar perempuan sok suci! Lihat saja, aku tidak akan membiarkanmu berlama-lama di sini!"
Suara Clara menggema di ruangan, membuat beberapa karyawan melirik ke arahnya. Namun, tidak ada yang berani menegur karena sudah biasa melihat sikap julid Clara.
Kevin yang mendengar teriakan itu hanya melirik sekilas ke arah Clara, lalu tersenyum tipis penuh ejekan.
"Kasihan... Nggak cuma mulutnya aja yang tajam, tapi otaknya juga tumpul." sindir Kevin pelan, namun cukup jelas untuk didengar Clara.
Wajah Clara semakin merah padam, tetapi ia tidak bisa membalas ucapan itu. Kevin melangkah pergi dengan santai mengikuti Anjani, meninggalkan Clara yang berdiri dengan tangan terkepal menahan amarah.
Dalam hati, Clara bersumpah tidak akan membiarkan Anjani hidup tenang di kantor itu.
Kendaraan melaju membelah panasnya siang itu, membawa Anjani, William, dan Kevin menuju mansion impian. Jarak dari perusahaan Wiliam ke mansion tersebut memakan waktu sekitar 30 menit. Sepanjang perjalanan, Anjani lebih banyak diam, pikirannya melayang membayangkan seperti apa rumah yang akan mereka lihat.
Kevin yang duduk di samping sopir melirik ke arah Anjani melalui kaca spion.
"Kakak, jangan terlalu serius. Belum lihat rumahnya aja udah kelihatan tegang begitu," canda Kevin, mencoba mencairkan suasana.
Anjani menoleh, tersenyum tipis.
"Aku cuma penasaran... seperti apa rumah yang katanya bagus itu."
William yang duduk di sebelah Anjani menatapnya lembut.
"Aku yakin kamu akan suka. Kalau nggak cocok, kita cari yang lain."
Sesampainya di depan mansion, mata Anjani membelalak takjub. Bangunan megah bergaya klasik modern berdiri kokoh di depannya. Taman hijau yang tertata rapi dan gerbang besi yang tinggi menambah kesan elegan pada mansion tersebut.
Anjani melangkah perlahan, seakan tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
"Ini... benar-benar indah," gumamnya pelan.
Kevin ikut turun dari mobil, matanya berbinar melihat bangunan di hadapannya.
"Wah, kak... kalau tinggal di sini, pasti nyaman banget!"
Pihak mansion sudah menunggu lebih dulu, siap memperlihatkan seluruh isi bangunan. Setiap ruangan yang mereka masuki membuat Anjani semakin jatuh cinta. Ruang tamu yang luas, dapur modern, dan kamar tidur dengan jendela besar yang menghadap taman belakang membuat hatinya bergetar.
Anjani menyentuh dinding ruangan dengan hati-hati, seolah memastikan tempat itu nyata.
"Aku suka rumah ini... sangat suka," ucapnya lirih.
William tersenyum melihat kebahagiaan di wajah Anjani.
"Kalau begitu, kita selesaikan transaksinya sekarang juga."
Kevin mendekat, menepuk pundak Anjani pelan.
"Selamat, Kak... rumah ini memang cocok buat kamu."
Anjani menoleh, matanya berbinar.
"Terima kasih... aku tak pernah bermimpi punya rumah seperti ini."
Ketika Anjani, Kevin, dan William tiba di kediaman keluarga Robert, sore mulai menjelang. Mobil berhenti di halaman rumah yang asri. Anjani turun sambil menggenggam erat map berisi dokumen rumah yang baru saja selesai diurus.
Kevin segera membuka pintu mobil dan turun dengan rasa puas . sementara William membukakan pintu untuk Anjani.
Tak lama, pintu rumah terbuka, menampilkan sosok Robert yang baru saja pulang dari kantor. Wajahnya tampak lelah, tetapi senyum tipis tersungging di bibirnya melihat kedatangan mereka.
"Kalian sudah pulang," ucap Robet dengan suara ramah. "Apa rumahnya sesuai harapanmu, Anjani?"
Anjani menunduk sopan, mencoba menyembunyikan rasa canggung di hatinya.
"Alhamdulillah, Pak... rumahnya sangat nyaman. Saya suka."
Kevin yang sejak tadi menahan diri, langsung berseru riang.
"Rumahnya besar, Pi ! Kak Anjani pasti sangat nyaman nanti."
Robert tertawa kecil, menepuk kepala Kevin dengan lembut.
"Itu bagus, Nak. Yang penting kamu dan Mama senang."
William hanya tersenyum tipis di samping mereka, ikut merasa lega melihat Anjani bahagia.
Anjani memeluk map di tangannya erat, seolah menyadari bahwa inilah langkah awal dari hidup barunya. Meski masa lalunya penuh luka, ia tahu perjalanan menuju kebahagiaan masih panjang.
Malam itu, mereka berkumpul di ruang tamu, menikmati teh hangat sambil berbincang ringan. Kehangatan yang perlahan hadir membuat Anjani mulai terbiasa dengan keluarga robert.
Mereka asyik bertukar cerita di ruang tamu, ditemani teh hangat yang mengepul. Obrolan ringan berubah menjadi lebih serius ketika Pak Robert tiba-tiba melontarkan pertanyaan yang membuat suasana sedikit kaku.
"Jadi... bagaimana sebenarnya hubungan kamu dengan Anjani, William?" tanyanya dengan nada lembut namun penuh rasa ingin tahu.
Anjani yang sedang menyeduh teh seketika menghentikan gerakannya. Wajahnya memerah, tak berani menatap siapa pun.
William yang duduk di sebelahnya menatap langsung sang papi. Dengan suara tenang tapi penuh ketegasan, ia menjawab,
"Saya memang sedang dekat dengan Anjani, Pi. Sejujurnya, rasa ini sudah ada sejak Anjani masuk ke perusahaan. Tapi saya memilih untuk menunggu waktu yang tepat... seiring berjalannya waktu, rasa sayang itu semakin tumbuh."
Anjani menunduk, jemarinya gemetar memegang cangkir. Ia tak menyangka William akan sejujur itu di depan semua orang. Perlahan, ia memberanikan diri melirik William, memperhatikan setiap kata yang diucapkan pria itu.
Pak Robert tersenyum tipis, seolah bisa merasakan ketulusan dari penuturan William.
"Yang terpenting adalah kalian saling menghargai dan menjaga satu sama lain," ucapnya bijak.
Kevin yang sedari tadi duduk di samping Anjani, tiba-tiba menoleh .
"Berarti William bakal jadi calon kakak ipar aku, dong..?"Wiliam dengan senyum mengembang di bibirnya.
Ruangan seketika sunyi. Wajah Anjani semakin merah, sementara William tersenyum lembut.
"Kalau papi mami kamu mengizinkan, Kevin," jawabnya penuh kasih sayang.
Anjani semakin tertunduk, hatinya berdebar-debar. Ia tahu William adalah pria baik, tapi ia masih diliputi kebimbangan akan masa lalunya yang kelam. Namun, kata-kata William dan dukungan dari Pak Robert mulai menyalakan harapan baru di hatinya.
Apakah orang tua dan janin akan merestui hubungan nya Dengan William…??
jng krn cinta trus ngorbanin keadilan yg jelas buat kakakmu.
wanita macam Alana mudah di cari bnyak pun, tp keadilan tidak bisa di cari kl kita tdk menegakkan. ingat jng lemah.
pa lagi Williams bnyak pikiran pasti mudah jenifer njebak.
smp hapal bner krn tiap penulis selalu bikin konflik bgini, jarang ada lelaki yg gk bisa di jebak pasti kebanyakan masuk jebakan 😂😂😂😂😂
hrs berani lawan lahhh