Andreas Wilton sudah terlahir dingin karena kejamnya kehidupan yang membuatnya tidak mengerti soal kasih sayang.
Ketika Andreas mendengar berita jika adik tirinya akan menikah, Andreas diam-diam menculik mempelai wanita dan membawa perempuan tersebut ke dalam mansion -nya.
Andreas berniat menyiksa wanita yang paling disayang oleh anak dari istri kedua ayahnya itu, Andreas ingin melihat penderitaan yang akan dirasakan oleh orang-orang yang sudah merenggut kebahagiaannya dan mendiang sang ibu.
Namun, wanita yang dia culik justru memberikan kehangatan dan cinta yang selama ini tidak pernah dia rasakan.
“Kenapa kau peduli padaku? Kenapa kau menangis saat aku sakit? Padahal aku sudah membuat hidupmu seperti neraka yang mengerikan”
Akankah Andreas melanjutkan niat buruknya dan melepas wanita tersebut suatu saat nanti?
Follow instagramm : @iraurah
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iraurah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Alasan Andreas Pergi
Senja mulai turun perlahan di atas kota Barcelona. Cahaya keemasan matahari mengalir melewati celah-celah bangunan tua dan membingkai jalan-jalan sempit di kawasan El Born dengan rona nostalgia. Di dekat pelabuhan tua, tempat kapal-kapal nelayan bersandar diam seperti binatang besi yang kelelahan, sebuah hotel kolonial berdiri sunyi, tampak tak mencolok di antara keramaian. Hotel itu menjadi saksi bisu dari awal langkah sebuah operasi yang akan mengguncang poros kekuasaan gelap Eropa.
Di seberang jalan, dua orang terlihat berjalan beriringan. Sekilas tampak seperti pasangan turis yang menikmati sore. Pria itu bertubuh tegap dan mengenakan jaket denim, sementara wanita di sampingnya bersyal merah dan memegang kamera. Namun sorot mata mereka tajam, pergerakan tubuh mereka tenang namun waspada. Mereka bukan wisatawan biasa.
Mereka adalah Mateo dan Lya, dua anggota utama dari jaringan operasi lapangan milik Arthur Bellucci. Di bawah naungan senja, mereka mengamati pola penjagaan di hotel itu selama hampir satu jam. Mereka mencatat rotasi penjaga, celah pengawasan kamera, serta letak pintu darurat yang tersembunyi di sisi barat bangunan. Hotel ini bukan sembarang penginapan—ini adalah lokasi persembunyian Elena Cruz, target utama operasi yang tengah dijalankan oleh Andreas Wilton.
Menjelang pukul sembilan malam, Mateo menyentuh jam tangannya dan menoleh ke Lya.
“Waktunya,” ucapnya pendek.
Keduanya segera beringsut ke belakang bangunan, memasuki lorong sempit menuju gudang penyimpanan hotel. Mereka telah menyiapkan akses masuk dari siang tadi—mengganjal pintu dengan magnet kecil dan menyabot sistem alarm menggunakan peralatan dari koper hitam Lya. Dalam hitungan menit, mereka sudah menyusup ke dapur hotel dan mulai bergerak naik ke lantai tiga melalui tangga darurat.
Di kamar nomor 305, Elena Cruz tengah duduk di depan meja, membaca ulang serangkaian data yang baru saja ia buka dari chip yang tertanam dalam liontin yang tergantung di lehernya. Wajahnya tampak tenang, namun di balik ketenangan itu tersembunyi ketegangan yang terus membakar pikirannya. Ia tahu waktunya tidak banyak. Ia tahu seseorang akan datang mencarinya. Pertanyaannya hanya, kapan?
Jawabannya datang saat suara dentuman keras menggema dari pintu kamarnya yang terbuka paksa. Dua sosok bertopeng dan bersenjata masuk serentak. Elena berdiri spontan, melempar pisau kecil yang telah ia sembunyikan di balik bantal. Lya berhasil menghindar, namun lemparan itu cukup mengalihkan perhatian mereka beberapa detik.
Dengan cepat, Elena berlari ke jendela dan melempar liontin berisi chip ke luar, berharap benda kecil itu mendarat di trotoar dan menghilang di tengah keramaian. Ia tidak sempat melihat ke mana tepatnya benda itu jatuh, karena tubuhnya mendadak lemas akibat peluru bius yang ditembakkan Mateo mengenai lengan kanannya. Segalanya menjadi kabur, suara gaduh di luar ruangan memudar, dan kesadarannya perlahan tenggelam dalam kegelapan.
Mateo segera melihat ke luar jendela. Liontin itu sudah tidak terlihat. Entah terbawa kaki pejalan kaki atau jatuh ke selokan jalan. Sambil mengumpat pelan, ia kembali membantu Lya mengangkat tubuh Elena. Mereka harus bergerak cepat—suara alarm kecil telah mulai terdengar dari lorong, dan mereka hanya punya beberapa menit sebelum keamanan hotel menyadari ada yang salah.
Dengan rute yang telah mereka hafal di luar kepala, Mateo dan Lya membawa Elena melalui dapur, lalu menyusup masuk ke saluran air tua yang terhubung langsung ke pelabuhan. Meski sempit dan berbau busuk, lorong itu menjadi satu-satunya jalur aman untuk meloloskan diri dari wilayah publik.
Di ujung lorong, sebuah kapal motor kecil telah menunggu. Mereka menaiki kapal dengan cepat, menempatkan tubuh Elena di bagian dalam yang tertutup terpal, dan memulai perjalanan laut menuju tempat yang telah ditentukan.
Tiga puluh enam jam kemudian, di kota Praga yang dingin dan berkabut, Elena terbangun di dalam ruangan asing. Lampu putih menyilaukan matanya, dan tubuhnya terasa lemas serta dingin. Kedua tangan dan kakinya diikat dengan sabuk kulit pada kursi besi. Ia mencoba menggerakkan tubuh, namun semua upaya sia-sia.
Seorang pria jangkung dengan jas putih berdiri di depannya. Wajahnya tirus, bermata kelabu, dan suara beratnya menyapa dalam bahasa Inggris beraksen Rusia.
“Selamat pagi, Nona Cruz,” kata Dimitri Volkov. “Maaf atas ketidaknyamanan ini, tapi kami perlu tahu apa yang Anda simpan.”
Elena mengangkat kepalanya perlahan. “Kalian terlambat. Chip itu sudah tidak bersamaku.”
“Kami tahu,” jawab Dimitri tenang. “Tapi chip hanyalah permukaan. Kami ingin tahu siapa saja yang sudah menerima data itu. Anda bukan hanya pembawa pesan. Anda adalah jantung dari jaringan Barack.”
Elena terdiam. Ia menatap pria itu dengan sorot mata penuh kebencian. “Aku tidak akan bicara.”
Dimitri menghela napas, lalu berjalan ke samping dan menekan tombol kecil di dinding. Dinding itu bergeser perlahan, menampakkan ruang pengawasan di balik kaca satu arah. Di sana berdiri Andreas Wilton dan Arthur Bellucci, keduanya memperhatikan tanpa kata.
“Dia keras kepala,” gumam Arthur.
Andreas tidak membalas. Matanya terpaku pada Elena. Ia sedang menganalisis bahasa tubuhnya, ekspresinya, dan getaran suaranya. Ia tahu bahwa perempuan ini adalah kunci, bukan hanya untuk melacak Barack, tetapi juga untuk memahami logika musuhnya. Seorang analis intelijen seperti Elena tidak akan bergerak tanpa skema yang terukur.
“Selamat datang di tempat teraman di dunia, Elena Cruz,” ucap Andreas dengan suara datar. “Di sini, kau bisa berkata sejujurnya… atau diam selamanya.”
Elena menatap tajam. “Kalau kau ingin menakutiku, kau gagal.”
Andreas tersenyum tipis. “Aku tidak perlu membuatmu takut. Aku hanya butuh apa yang ada dalam chip itu. Kau bisa menyerahkannya dengan sukarela, atau kita bisa menghabiskan beberapa hari ke depan dengan metode klasik milik Dimitri.”
Dimitri, yang berdiri tak jauh dari pintu, hanya tersenyum miring sambil memainkan jarum suntik kecil di tangannya.
“Jangan anggap remeh aku, Andreas,” kata Elena dengan nada rendah. “Kau tidak tahu seberapa dalam jaringan Barack. Jika aku tidak kembali dalam 48 jam, data dalam chip itu akan dikirim otomatis ke sepuluh media internasional dan interpol.”
Andreas mengangkat alis. “Aku tahu. Dan justru itu yang menarik bagiku.”
Ia berjalan perlahan, mendekati Elena.
“Karena aku tidak butuh chip itu. Aku butuh... kau. Barack bisa saja mengganti chip. Tapi dia tidak bisa mengganti kepercayaan. Jika aku mematahkanmu, aku mematahkan kekuatannya.”
Elena terdiam. Untuk pertama kalinya, ketegangan terlihat jelas di wajahnya.
Andreas menoleh ke arah Dimitri. “Mulai dengan dosis rendah. Aku ingin dia bicara... tanpa harus meninggalkan bekas luka.”
Dimitri mengangguk, melangkah mendekat.
Sementara itu, di tempat lain, sebuah pesan terenkripsi dikirim dari server aman milik Barack. Pesan itu hanya berisi satu kalimat:
“Elena hilang. Rencana darurat fase dua dimulai.”
sehat sehat Mak othor... maaf kan aku yg tamak ini .. crtmu bgs bingittt
aku baca yg sudah tamat dan ingat cerita ini pernah ku baca dulu