Kirana tak pernah menyangka, bujukan sang suami pulang ke kampung halaman orang tuanya ternyata adalah misi terselubung untuk bisa menikahi wanita lain.
Sepuluh tahun Kirana menjadi istri, menemani dan menjadi pelengkap kekurangan suaminya.
Kirana tersakiti tetapi tidak lemah. Kirana dikhianati tetapi tetap bertahan.
Namun semuanya berubah saat dia dipertemukan dengan seorang pria yang menjadi tetangga sekaligus bosnya.
Aska Kendrick Rusady, pria yang diam-diam menyukai Kirana semenjak pertemuan pertama.
Dia pikir Kirana adalah wanita lajang, ternyata kenyataan buruknya adalah wanita itu adalah istri orang dengan dua anak.
Keadaan yang membuat mereka terus berdekatan membuat benih-benih itu timbul. Membakar jiwa mereka, melebur dalam sebuah hubungan terlarang yang begitu nikmat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mei-Yin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mertua kang drama
Kirana menyentuh pipinya yang terasa begitu panas dan perih. Pukulan Zidan begitu kuat, dia yakin besok pipinya akan terlihat lebam mengingat kulitnya yang sangat putih.
Setelah perdebatan keduanya, Zidan langsung bergegas meninggalkan Kirana dengan kemarahan yang mengumpul di kepala.
Waktu sudah menunjukkan pukul dua belas malam saat Kirana baru saja selesai mengompres pipinya. Tak lagi ada air mata yang keluar dari manik mata indahnya.
Kini bukan hanya hatinya yang terluka, bahkan fisiknya juga ikut dilukai.
Tubuhnya berbaring sambil menatap langit-langit kamar. Ranjang besar tempatnya mencari kenyamanan kini terasa begitu dingin.
...✿✿✿...
Keesokan paginya Kirana memandangi pantulan dirinya di cermin. Pipi putih bekas lebam ditutup sempurna dengan foundation agar tak dilihat anak-anaknya.
Hari ini ini dia tak berniat mengantarkan kedua anaknya sendiri. Meminta Joko—ojek panggilan yang mangkal di dekat sekolahan.
Menu sarapan hanya nasi dan telur mata sapi ditaburi kecap manis menjadi andalan.
Suasana hatinya buruk, bahkan bisa dikatakan sebenarnya Kirana malas sekali bangun. Jika saja ada mbak yang mengurus sudah pasti dia akan melakukannya. Mengurung diri di kamar, menangis dan mungkin saja meraung keras hanya untuk meredakan sakit hati yang dirasakan.
Luka akan pernikahan diam-diam suaminya saja belum usai, tetapi sudah ditambah luka baru.
“Ma—Mama kok diam?”
Kirana seketika menoleh dengan mata yang berkaca-kaca. “Enggak apa-apa. Oh, ya, pagi ini kalian diantar Pak Joko ya. Mama nggak enak badan,” dustanya.
“Mama sakit?” tanya Rina dengan mata bulat yang begitu menggemaskan.
Kirana mengangguk. “Sedikit.”
“Ya udah nggak papa, Mama di rumah aja. Jangan lupa makan dan minum obat ya. Mama cepet sembuh,” ucap Rina perhatian.
Kirana mengangguk dan mengantarkan kedua anaknya ke halaman saat suara klakson dari motor Joko sudah terdengar. Sebelum pergi dia menyelipkan beberapa lembar uang ke arah pria paruh baya yang masih semangat untuk tetap mengais rezeki.
“Tolong sekalian nanti dijemput ya, Pak. Saya lagi nggak enak badan,” ucap Kirana diiringi senyum tipis.
Pak Joko mengangguk. “Tapi ini terlalu banyak Mbak Kira,” tolaknya sungkan, wajah pria paruh baya tersebut agak menunduk mengingat ketika mengantar dua anak ini selalu dibayar lebih, bahkan nilainya hampir sama ketika harus mangkal beberapa hari.
“Rezeki nggak boleh ditolak, Pak.” Kirana meyakinkan.
Mata pria paruh baya tersebut berkaca-kaca sebelum akhirnya menunduk dan mengucapkan terima kasih.
Sesaat Kirana menatap laju motor yang kian menjauh sebelum kembali masuk ke rumah.
Memaksa diri untuk menelan makanan sebelum meminum obat sakit kepala. Mengabaikan rumah yang masih sedikit berantakan, tubuhnya kembali berbaring dengan mata terpejam.
Baru sempat terpejam beberapa saat, Kirana mendengar suara berisik dari depan rumah. Memaksa tubuhnya untuk bangun sambil memijat pelipis yang sedikit pusing.
Setelah menarik nafas panjang, kakinya melangkah ke depan. Gerbang rumahnya memang sengaja dikunci karena niatnya mau istirahat.
“Oh, ada apa, Bu?” tanya Kirana setelah melihat siapa yang membuat keributan.
Ibu mertua dan adik ipar.
“Dasar menantu nggak tahu diri, kerjanya kok malas-malasan. Pantes aja suaminya kepincut janda di depan rumah,” cecar wanita paruh baya itu menghina.
“Bu, jangan buat keributan,” ucap Kirana saat mendengar teriakan mertuanya yang mungkin bisa membangunkan tetangga kanan kirinya.
“Udah tahu ada mertua datang, bukannya disuruh masuk malah diajak berantem.”
“Siapa juga yang ngajak ibu berantem sih. Udah sini ayo masuk, ngomong dalam rumah aja.” Kirana segera menggeser tubuh dan memberikan ruang untuk wanita paruh baya itu lewat.
Tanpa bertanya Kirana gegas ke dapur dan membuatkan keduanya minuman. Tak lama dia kembali ke ruang tamu dengan membawa minuman dan beberapa brownies.
Duduk di depan ibu dan anaknya, Kirana menghela napas panjang sebelum kembali melanjutkan tanya, “Ngapain Ibu marah-marah di depan rumah? Dilihat orang nggak pantes Bu.”
“Salahmu sendiri, rumah dikunci segala. Ibu ke sini mau buat perhitungan sama kamu!” ucapnya, memberikan tatapan tajam.
“Ini semua juga gara-gara kamu, Mbak!” sahut Nina membentak.
Tubuh Kirana sampai tersentak, menoleh untuk melihat wanita muda yang telah membentaknya.
“Aku lebih tua darimu, Nina.”
“Umur tua, penampilan tua, tetapi pikirannya enggak tuh,” jawab Nina lagi.
Kirana hanya bisa mengembuskan napas berkali-kali. Menahan emosi dalam dada yang sejak tadi bergemuruh.
“Sebenarnya ada niat apa ibu datang ke sini? Tolong, Bu, jelaskan agar aku tahu.” Sebisa mungkin Kirana masih bersikap sopan walaupun selama ini dia tahu apa yang dilakukan tak pernah dihargai.
“Seharusnya kamu nggak perlu berantem sama Zidan hanya karena dia nikah lagi. Pria punya istri dua atau tiga, itu nggak dilarang dan nggak dosa. Kamu ini yang rewel! Udah nggak bisa kasih cucu laki-laki, banyak nuntut pula. Kamu jangan bikin anakku jadi pengen ceraikan kamu ya, jadi wanita kok nggak tahu diri banget. Ngaca kekurangan kamu dong!” Ucapan Ajeng seperti sembilu.
Sebelum menjawab Kirana menarik napas panjang. “Kekurangan? Aku bukan wanita yang enggak bisa kasih Zidan keturunan. Hanya karena jenis kelamin yang nggak sesuai, ibu ngomong tentang kekurangan. Bahkan kalau bisa aku minta anak-anakku lahir laki-laki biar kalian senang, tapi kalau titipan Tuhan udah begitu mau diapakan lagi, Bu? Kita masih muda, masih bisa punya anak lagi. Tapi kenapa harus memilih menikah lagi?” Nyaris saja bibir itu mengeluarkan teriakan andai tidak ingat siapa yang ada di depannya.
“Jelas karena kamu nggak akan bisa melahirkan keturunan laki-laki makanya aku minta Zidan nikah sama wanita yang udah terbukti bisa memberikan keturunan laki-laki,” sahut Ajeng masih mempertahankan wajah angkuh untuk mengintimidasi.
“Ngomong kayak gitu kayak ibu itu Tuhan aja yang menentukan semuanya.” Kirana menahan gejolak luapan emosi yang terus disiram bensin.
“Ngomong sama kamu itu nggak guna. Ngelawan terus! Jangan karena Zidan cinta, kamu bisa seenaknya menyetir kehidupan dia.”
“Aku enggak ada kayak gitu ya, Bu. Tanya sama dia, apa pun yang dilakukan aku selalu percaya. Bahkan saat kebohongan yang dikatakan aku tetap pilih percaya. Itu masih kurang?”
“Kok kamu malah nuduh anakku?!” sentak Ajeng kasar.
“Lho aku nggak nuduh, tapi ngomong kenyataan. Selama ini bukannya aku nggak tahu kalau ibu sering monopoli Zidan dengan berbagai alasan.”
“Wajar dia anakku!” Ajeng tak mau kalah dengan menantunya.
“Wajar juga dong dia suamiku, ayah dari anak-anakku,” balas Kirana juga tak mau mengalah.
Perdebatan Ajeng dan Kirana belum menghasilkan siapa pemenangnya. Masih panas dan sengit.
“Mbak Kira ini nggak ada sopan santun sama ibu. Dia ibu mertuamu, nggak pantes kamu ngajak dia berdebat kayak gitu.” Nina menimpali, jelas saja membela ibunya.
“Aku nggak ngajak debat, hanya meluruskan. Seharusnya sesama wanita kalian bisa berempati dikit, bukan malah melempar semua kesalahan padaku. Zidan menipuku, merayakan pernikahan di atas sakit hati yang diberikan. Kok tega?” Di ujung kata ucapan Kirana nyaris tak terdengar akibat bibirnya yang keluh.
Kok tega? Dua kata itu terdengar sederhana, tetapi terdengar luar biasa saat diucapkan dengan nada pilu dan wajah frustrasi.
Ajeng dan Nina tak lagi melanjutkan. Wanita itu melangkah meninggalkan ruang tamu tanpa pamit. Namun belum sempat Kirana bernapas lega, suara keributan kembali terdengar.
Gegas menghapus cairan bening yang menumpuk di pelupuk mata. Berjalan dengan sedikit gontai menuju sumber keributan.
“Ya Tuhan, salah apa aku dikasih mantu kurang ajar kayak Kirana. Ibu datang baik-baik malah diusir dan dihina. Ya Tuhan, hiks ... hiks ....”
To Be Continue ....