Raska dikenal sebagai pangeran sekolah, tampan, kaya, dan sempurna di mata dunia. Tak ada yang tahu, pendekatannya pada Elvara, gadis seratus kilo yang kerap diremehkan, berawal dari sebuah taruhan keji demi harta keluarga.
Namun kedekatan itu berubah menjadi ketertarikan yang berbahaya, mengguncang batas antara permainan dan perasaan.
Satu malam yang tak seharusnya terjadi mengikat mereka dalam pernikahan rahasia. Saat Raska mulai merasakan kenyamanan yang tak seharusnya ia miliki, kebenaran justru menghantam Elvara tanpa ampun. Ia pergi, membawa luka, harga diri, dan hati yang hancur.
Tahun berlalu. Elvara kembali sebagai wanita berbeda, langsing, cantik, memesona, dengan identitas baru yang sengaja disembunyikan. Raska tak mengenalinya, tapi tubuhnya mengingat, jantungnya bereaksi, dan hasrat lama kembali membara.
Mampukah Raska merebut kembali wanita yang pernah ia lukai?
Atau Elvara akan terus berlari dari cinta yang datang terlambat… namun tak pernah benar-benar pergi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
5. Ketika Menjadi Layak Lebih Penting dari Bahagia
Dokter Wira ragu sepersekian detik, lalu menjawab singkat.
“Elvara.”
Sunyi jatuh di antara mereka.
Nama itu menggantung di udara, membawa banyak pertanyaan yang tak terucap.
Nata akhirnya menarik napas panjang. Dadanya terasa berat, seolah ada beban lama yang kembali mengendap.
“Saya tidak menyangka,” gumamnya lirih. “Dia menikah di usia muda, tanpa memberitahu saya.”
Nada suaranya bukan marah. Lebih seperti terlambat.
Dokter Wira menghela napas pelan.
“Mereka berada dalam situasi di luar kendali,” katanya. “Takut tidak direstui. Takut dihakimi sebelum sempat menjelaskan. Karena itu, Raska memilih diam, dan menikah diam-diam.”
Nata memijit pelipisnya.
“Kehilangan ibunya,” katanya pelan. “Istrinya pergi tanpa menyelesaikan konflik. Lalu… kenapa harus memilih jalan sekeras itu? Kenapa tentara?”
Dokter Wira terdiam sejenak sebelum menjawab.
“Tidak hanya itu,” ujarnya hati-hati. “Ia juga hidup dalam relasi dengan figur otoritas yang menolak keberadaannya.”
Nata menatapnya. “Mertua?”
Dokter Wira mengangguk. “Sejak awal.”
“Kenapa?” Nata bertanya, suaranya tertahan. “Apa karena latar belakang Raska—”
“Karena harapan,” potong Dokter Wira tenang. “Ibu mertua mengidamkan menantu tentara.”
Nata terdiam.
Lalu, untuk pertama kalinya sejak tadi, ia tersenyum kecil. Bukan bahagia. Tapi mengerti.
“Jadi… itu sebabnya,” gumamnya.
Dokter Wira mengangguk pelan. “Menjadi tentara,” katanya, “memberi Raska sesuatu yang tidak ia dapatkan di rumah: legitimasi. Status. Identitas yang diakui.”
Ia berhenti sejenak, membiarkan kata-kata itu meresap.
“Bagi Raska,” lanjutnya lirih, “seragam bukan pelarian. Tapi cara membuktikan bahwa ia layak, bahkan ketika orang-orang terdekatnya memilih pergi.”
Ruangan itu kembali hening.
Untuk pertama kalinya sejak lama, napas Nata terasa sedikit lebih longgar.
“Jadi…” suaranya bergetar samar. “Dia tidak akan hancur?”
Dokter Wira menggeleng pelan. “Tidak, jika ia dibekali kesadaran, pendampingan, dan tujuan yang jelas.”
Ia menambahkan, suaranya lebih lembut,
“Disiplin militer justru bisa menjadi struktur yang selama ini dicari Raska. Dunia dengan aturan jelas. Hitam dan putih. Tidak abu-abu seperti rumah tangga orang tuanya dulu.”
Kalimat itu menusuk tepat sasaran.
Nata tersenyum pahit “Apa dia ingin sembuh… atau menghukum dirinya sendiri?” tanya Nata lirih.
“Tidak sepenuhnya salah satu,” jawab Dokter Wira jujur. “Tapi ia ingin hidup tanpa terus dihantui masa lalu.”
Dokter Wira menarik napas pelan. “Kadang,” katanya, “keinginan untuk sembuh dan dorongan untuk menebus diri berjalan bersamaan.”
Ia lalu menatap Nata lebih lama. Terlalu lama untuk sekadar tatapan dokter pada wali pasien.
“Pertanyaan sebenarnya,” katanya pelan, “bukan tentang Raska.”
Nata mengangkat wajah.
“Anda,” lanjut Dokter Wira, “masih hidup dalam rasa bersalah yang sama sejak tujuh tahun lalu.”
Kata-kata itu jatuh tanpa nada menuduh, justru terlalu tenang untuk dihindari.
“Dan jujur saja,” sambungnya lebih lembut, “yang belum benar-benar sembuh… bukan hanya Raska.”
Nata terdiam.
“Anda juga membawa trauma,” kata Dokter Wira. “Anda hidup di dalam penyesalan. Di dalam kata seandainya. Itu juga bentuk luka.”
Nata tertawa kecil. Pahit. Kosong. “Ini hukuman saya,” katanya pelan. “Dan saya pantas menerimanya.”
Dokter Wira tidak membantah.
“Hanya satu yang saya harapkan,” katanya. “Jangan jadikan penyesalan Anda sebagai beban tambahan bagi anak Anda.”
Ia berhenti sejenak, memastikan kalimat berikutnya didengar, bukan sekadar didengar telinga.
“Yang bisa Anda lakukan sekarang,” lanjutnya, “berhenti menjadi sumber luka. Dan mulai menjadi tempat pulang, jika suatu hari Raska membutuhkannya.”
Nata menunduk.
Di balik dada yang penuh sesal itu, untuk pertama kalinya, tumbuh satu harapan kecil.
Mungkin anaknya tidak sedang berlari menuju kehancuran. Mungkin ia sedang berjalan menuju cara hidup yang selama ini tak pernah ia dapatkan.
Dan kali ini, Nata memilih tidak menghalangi.
Ia tetap menunduk.
Mungkin jalan yang dipilih Raska bukan yang paling aman.
Tapi mungkin…
itu satu-satunya jalan yang membuatnya tetap hidup.
***
Di ruang VIP restoran itu, Asep, Vicky, dan Gayus sudah duduk rapi.
Asep gelisah sejak lima menit lalu. Matanya tak berhenti berkeliling, menatap lampu gantung kristal, meja kayu mengilap, dan pramusaji yang bahkan langkahnya terasa mahal.
“Kenapa Om Nata manggil kita ke sini, sih?” gumamnya pelan. “Ini restoran… satu menu aja kayak uang belanja emak gue sebulan.”
Vicky menyandarkan punggung, menyeringai. “Ya pasti soal Raska, soal apa lagi.”
Asep berdecak. “Iya, gue juga tahu. Maksud gue tuh, spesifiknya apa. Masa iya Om Nata mau nanya siapa pacar kita?”
Gayus menghela napas pelan. “Secara logika, Asep benar. Tapi karena kita sama-sama nggak tahu, ya tunggu aja.”
Belum sempat Asep membalas, pintu VIP terbuka.
Wijanata masuk.
“Maaf membuat kalian menunggu,” ucapnya tenang.
“Ah, nggak kok, Om,” sahut Asep cepat, refleks.
“Kami juga baru sampai,” timpal Vicky menyusul.
Gayus berdiri, menarikkan kursi. “Silakan, Om.”
“Terima kasih.”
Nata tersenyum tipis. Hangat. Senyum yang jarang ia perlihatkan sejak istrinya meninggal.
“Sudah pesan?” tanyanya.
“Belum, Om,” jawab Asep jujur, agak malu.
“Jangan sungkan. Pesan apa saja.” Ia menatap mereka satu per satu. “Kalian sahabat Raska dan selalu menjaganya. Saya sudah menganggap kalian seperti anak sendiri.”
Gayus menunduk sedikit. “Kami hanya melakukan yang seharusnya, Om. Dan akan tetap menjaga Raska, dengan atau tanpa permintaan.”
“Iya,” Asep mengangguk. “Itu mah pasti.”
Mereka memesan makanan, terlihat jelas memilih yang paling aman di harga.
Tanpa komentar, Nata menambah beberapa menu lain.
Setelah pramusaji pergi, Nata menatap mereka bertiga.
“Saya yakin kalian tahu tentang Elvara.”
Ketiganya saling pandang.
“Saya ingin tahu,” lanjut Nata, suaranya tetap tenang, “siapa Elvara itu. Dan… mengapa Raska menyukainya.”
Sunyi turun.
Bukan karena tak tahu jawaban. Tapi karena mereka sadar, ini bukan pertanyaan biasa.
Nata menunggu jawaban.
Gayus yang pertama kali membuka suara, tapi tidak langsung menjawab. “Om tahu soal Elvara… dari mana?” tanyanya hati-hati.
Nata tidak tersinggung. “Dokter Wira.”
Asep, Vicky, dan Gayus saling pandang.
Tak ada kata. Namun ketiganya paham. Kalau Dokter Wira yang bicara, berarti ini bukan gosip.
Dan berarti… mereka boleh jujur.
Asep yang paling tak tahan membuka suara lebih dulu. “Teman sekolah, Om. Satu angkatan sama kami.”
Vicky menyambung santai, nyaris terlalu santai. “Pintar. Cerdas. Rangking satu terus dari TK sampai sekarang.”
Asep nyeletuk tanpa mikir. “Dan paling gendut.”
Hening sepersekian detik.
Vicky dan Gayus menoleh bersamaan.
Asep nyengir, refleks menggaruk tengkuk. “Eh… gue nggak gosip.”
Nata justru tersenyum tipis. “Dia yang selalu mengalahkan Raska sampai Raska stagnan di peringkat dua?”
Gayus mengangguk.
“Iya, Om.”
Ia menambahkan dengan nada tenang, terukur. “Tahun ini kami belajar bareng Elvara. Nilai kami naik semua. Dan untuk pertama kalinya… Raska rangking satu.”
Asep mengangguk semangat. “Kembar,” katanya singkat.
Nata menyandarkan punggung ke kursi. “Jadi karena belajar bersama, naik rangking, lalu Raska menyukainya?”
...🔸🔸🔸...
...“Tidak semua orang ingin dicintai....
...Sebagian hanya ingin merasa layak diakui.”...
...“Ia tidak memilih jalan yang paling aman....
...Ia memilih jalan yang memberinya identitas, meski penuh pertaruhan.”...
..."Nana 17 Oktober"...
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Semangat Terus Kak Nana, Uonya kak 🙏🙏🙏
Kak, up lagi donk 🤭
membuatku srlalu memejamkan Mata sejenak untuk meresapi maknanya
lanjutkan ka...
Tapi... Yang nggk di sadari Orang tua yang bilang begitu, anak laki-laki kan juga manusia biasa. Bukan Robot, yang nggk bisa menangis dan terpuruk. Laki-laki juga pernah menangis juga dan terpuruk, sama Seperti Wanita. Jadi Salah, kalau ada yang bilang laki-laki itu, nggk boleh nangis dan Rapuh Seperti Perempuan. Laki-laki juga manusia biasa 😁😁😁🙏
Nangis Saja Rava, kalau kamu mau nangis, nggk papa kok 😁😁😁🙏
tapi wajahmu gak berubah kan Vara??