NovelToon NovelToon
MENJADI PILIHAN KEDUA SAHABATKU

MENJADI PILIHAN KEDUA SAHABATKU

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Pengantin Pengganti / Nikah Kontrak
Popularitas:3.1k
Nilai: 5
Nama Author: Ibu Cantik

Sadewa dan Gendis sudah bersahabat dari kecil. Terbiasa bersama membuat Gendis memendam perasaan kepada Sadewa sayang tidak dengan Sadewa,dia memiliki gadis lain sebagai tambatan hatinya yang merupakan sahabat Gendis.

Setelah sepuluh tahun berpacaran Sadewa memutuskan untuk menikahi kekasihnya,tapi saat hari H wanita itu pergi meninggalkannya, orang tua Sadewa yang tidak ingin menanggung malu memutuskan agar Gendis menjadi pengantin pengganti.

Sadewa menolak usulan keluarganya karena apapun yang terjadi dia hanya ingin menikah dengan kekasihnya,tapi melihat orangtuanya yang sangat memohon kepadanya membuat dia akhirnya menyetujui keputusan tersebut.

Lali bagaimana kisah perjalanan Sadewa dan Gendis dalam menjalani pernikahan paksa ini, akankah persahabatan mereka tetap berlanjut atau usai sampai di sini?.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ibu Cantik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

5

Bianca menarik napas panjang.

Setelah semua yang terjadi, ia tahu bertahan di sana hanya akan menambah sesak. Tidak ada yang perlu ia jelaskan, dan tidak ada yang sanggup ia pura-purakan lebih lama lagi.

Ia menoleh pada kedua orang tuanya, matanya tenang namun lelah. Dengan suara pelan, ia menyampaikan keputusannya bahwa ia ingin pulang dulu ke rumah.

"Ma aku pulang ke rumah ya." ucap Bianca.

"Ayo nak, sampai kapanpun kamu adalah putri kecil mama dan papa, pulang lah kapanpun kamu mau."

Lestari langsung mengangguk. Ia memahami, tanpa perlu penjelasan panjang. Hendrawan menepuk bahu Bianca dengan penuh pengertian.

Mereka berpamitan singkat pada keluarga Sadewa. Hanum sempat menahan langkah Bianca, memeluknya sekali lagi pelukan yang sarat rasa memiliki sekaligus rasa bersalah. Bianca membalasnya sopan, senyum tipis terjaga, meski hatinya remuk.

Tanpa menoleh ke belakang, Bianca melangkah keluar dari rumah Sadewa.

Karena rumah mereka berseberangan, jarak yang ditempuh begitu dekat namun hari itu terasa sangat jauh. Setiap langkah menuju rumah sendiri seperti membawa pulang beban baru yang belum ia pahami bentuknya.

Sesampainya di rumah, Bianca masuk ke ruang tamu bersama kedua orang tuanya. Pintu ditutup perlahan, menyisakan keheningan yang menenangkan sekaligus menyakitkan.

Di balik dinding rumah itu, ada seorang pria yang kini sah menjadi suaminya.

Namun untuk saat ini, Bianca memilih jarak karena berada dalam satu ruangan dengannya terlalu canggung, terlalu luka, dan terlalu dini untuk dihadapi.

Hari ini, Bianca pulang bukan sebagai anak semata.

Ia pulang sebagai seorang istri yang belum tahu bagaimana caranya menjadi istri lebih tepatnya istri yang tidak diinginkan oleh suaminya sendiri.

Menjelang sore, rumah Bianca kembali ramai.

Seorang make up artist datang membawa koper besar berisi perlengkapan rias dan gaun pengantin. Lestari menyambutnya dengan senyum yang dipaksakan, sementara Bianca berdiri agak menjauh, hatinya sudah terasa berat sebelum apa pun dimulai.

“Mbak Bianca ya,” sapa sang perias ramah. “Kita mulai persiapannya, ya. Semua sudah diatur oleh Mama Hanum.”

Kalimat itu membuat dada Bianca semakin sesak.

Di dalam kamar, sebuah gaun pengantin sudah tergantung rapi. Putih, elegan, dengan detail halus yang tak bisa disangkal keindahannya. Gaun itu begitu sempurna terlalu sempurna,gaun dengan belahan dada yang begitu rendah seolah ingin memamerkan isinya, berbanding balik dengan selera Bianca yang simpel tapi sopan.

Bianca mengenalinya.

Itu pilihan Sarah.

Gaun yang dulu pernah Sarah ceritakan dengan mata berbinar, saat mereka masih duduk berdua di teras rumah, berbagi mimpi tentang masa depan. Gaun yang seharusnya dikenakan sahabat masa kecilnya wanita yang kini justru menjadi penyebab kekacauan ini.

Bianca memalingkan wajah. Tenggorokannya tercekat.

Lestari mendekat, menggenggam tangan putrinya. “Kalau kamu nggak sanggup, kita bisa bilang—”

Bianca menggeleng pelan.

“Tidak apa-apa, Ma,” ucapnya lirih. “Bianca bisa.”

Namun kata-kata itu terasa hampa.

Saat perias mulai bekerja, Bianca menatap pantulan dirinya di cermin. Satu per satu sentuhan rias mengubah wajahnya menjadi sosok pengantin yang anggun. Tapi di balik kecantikan itu, ada pengkhianatan yang melekat di setiap detail gaun.

Hari ini, Bianca bukan hanya menikahi sahabatnya.

Ia juga mengenakan mimpi seorang wanita yang dengan kejam meninggalkannya.

Dan di situlah rasa sesak itu paling menyakitkan karena bahkan di hari pernikahannya sendiri, Bianca masih harus hidup di bawah bayang-bayang Sarah.

Setelah riasan selesai, Bianca berdiri perlahan. Gaun pengantin itu kini membalut tubuhnya dengan sempurna anggun, berkilau, nyaris tak bercela. Setiap orang yang melihatnya akan mengira ia adalah pengantin paling bahagia hari itu.

Padahal di balik kain putih itu, hatinya terasa penuh luka.

Bianca dituntun keluar rumah. Langkahnya pelan, terukur, seolah setiap pijakan membutuhkan keberanian. Jalan kecil yang memisahkan rumahnya dan rumah Sadewa kembali ia lewati jarak yang biasanya hanya beberapa langkah, namun sore itu terasa seperti jurang.

Di halaman rumah Sadewa, Hanum langsung mendekat begitu melihat Bianca.

Wajah wanita itu berbinar. Tangannya menutup mulutnya, matanya berkaca-kaca oleh haru.

“MasyaAllah…” ucapnya lirih. “Cantik sekali, Nak.”

Hanum memeluk Bianca penuh kebanggaan, menatapnya seolah melihat mimpi yang akhirnya menjadi nyata. Baginya, Bianca dalam balutan gaun pengantin itu adalah jawaban dari doa-doa yang ia simpan bertahun-tahun.

Namun tidak dengan Sadewa, melihat Bianca memakai gaun yang seharusnya di gunakan oleh saran membuat amarah Sadewa memuncak.

Sadewa berdiri beberapa langkah di belakang, mengenakan setelan resepsi yang rapi. Matanya berhenti pada gaun yang dikenakan Bianca lalu mengeras.

Ia mengenali gaun itu.

Gaun yang seharusnya dikenakan Sarah.

Rahangnya mengatup kuat. Ada amarah yang mendidih, bercampur luka dan kebencian yang tak terarah. Dalam benaknya, gaun itu menjadi simbol pengkhianatan, simbol kekacauan, simbol wanita yang meninggalkannya tanpa penjelasan.

Dan kini, Bianca memakainya.

Tatapan Sadewa dingin, tajam, sama sekali tak menyimpan kekaguman. Bukan karena Bianca tidak cantik justru karena ia terlalu cantik dalam sesuatu yang bukan miliknya.

Bianca menangkap tatapan itu. Dadanya kembali terasa sesak. Namun ia memilih menunduk, menyembunyikan luka di balik sikap tenang yang dipaksakan.

Sore itu, di bawah cahaya yang mulai meredup, dua orang yang kini terikat pernikahan berdiri saling berhadapan yang satu bahagia karena mimpinya terwujud,

yang satu menyimpan amarah,

dan yang satu lagi belajar bertahan di tengah kebencian yang bukan kesalahannya.

Mobil melaju dalam sunyi yang menyesakkan.

Sadewa duduk di sisi kiri, menatap lurus ke depan. Rahangnya mengeras, tangannya terkatup di paha. Bianca duduk di sampingnya, gaun pengantin mengembang rapi, punggungnya tegak terlalu tegak untuk seseorang yang sedang rapuh.

Tidak ada percakapan.

Tidak ada sapaan.

Bahkan tidak ada lirikan singkat.

Suara mesin mobil menjadi satu-satunya pengisi ruang di antara mereka.

Bianca sempat menarik napas, seolah ingin mengatakan sesuatu apa pun. Tapi kata-kata itu berhenti di tenggorokan. Ia menoleh sekilas, berharap Sadewa menoleh juga.

Tidak.

Sadewa tetap diam, seolah Bianca hanyalah bayangan di kursi sebelahnya.

Mobil berhenti di depan gedung resepsi yang megah. Lampu-lampu menyala terang, karpet merah terbentang, tamu-tamu penting mulai berdatangan.

Belum sempat sopir membuka pintu sepenuhnya Sadewa langsung turun.

Tanpa menoleh.

Tanpa menunggu.

Tanpa sepatah kata pun.

Pintu mobil tertutup kembali dengan bunyi pelan, namun bagi Bianca terdengar seperti dentuman keras di dadanya.

Di kejauhan, Hendrawan menyaksikan semuanya.

Wajah pria itu mengeras. Tangannya mengepal, rahangnya menegang. Dadanya naik turun menahan amarah yang nyaris tak terbendung.

“Kurang ajar…” gumamnya pelan. “Kalau bukan karena ini acara besar, Papa—”

Langkahnya maju satu, niatnya jelas.

Namun sebuah tangan menahan lengannya.

“mas… tolong,” suara Hanum terdengar cemas. “Jangan. Ini bukan waktunya.”

Hendrawan menoleh tajam. “Hanum, lihat anak saya. Dia diperlakukan seperti bukan siapa-siapa.”

Hanum menunduk, suaranya melemah. “Saya tahu. Saya salah. Tapi kalau mas Hendra membuat keributan sekarang, Bianca yang akan semakin tersakiti.”

Hendrawan menahan napas panjang. Dadanya terasa panas, tapi matanya tak lepas dari mobil tempat Bianca masih duduk sendirian.

Ia mendekat.

Pintu mobil dibuka kembali. Bianca masih di sana, tangannya mencengkeram kecil kain gaunnya. Ketika ia mengangkat wajah, matanya berkaca-kaca.

Untuk sesaat, ia bukan pengantin.

Ia kembali menjadi putri kecil Hendrawan.

Tanpa berkata apa-apa, Hendrawan mengulurkan tangannya.

“Ayo, Nak,” ucapnya lembut, jauh berbeda dari amarah barusan. “Papa di sini.”

Bianca menatap tangan itu. Tangannya bergetar saat perlahan mengulurkannya juga. Begitu jari mereka bertaut, air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya jatuh.

“Pa…” suaranya pecah. “Maaf.”

Hendrawan menggeleng cepat. “Kamu nggak salah apa-apa.”

Ia membantu Bianca berdiri, menguatkan pegangan seolah takut putrinya runtuh di langkah pertama. Lestari mendekat dari sisi lain, menggenggam bahu Bianca dengan lembut.

“Pegang Papa,” bisik Lestari. “Kamu nggak sendirian.”

Bianca mengangguk pelan.

Di depan gedung resepsi yang gemerlap, Bianca melangkah masuk bukan di sisi suaminya, melainkan diapit oleh kedua orang tuanya.

Dan di detik itu, satu hal menjadi jelas:

jika pernikahan ini dimulai tanpa cinta,

setidaknya Bianca masih memiliki rumah di dua tangan yang tak pernah melepaskannya.

1
Dewi Susanti
lanjut kak
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!