Ketika Naya, gadis cantik dari desa, bekerja sebagai babysitter sekaligus penyusui bagi bayi dari keluarga kaya, ia hanya ingin mencari nafkah jujur.
Namun kehadirannya malah menjadi badai di rumah besar itu.
Majikannya, Ardan Maheswara, pria tampan dan dingin yang kehilangan istrinya, mulai terganggu oleh kehangatan dan kelembutan Naya.
Tubuhnya wangi susu, senyumnya lembut, dan caranya menimang bayi—terlalu menenangkan… bahkan untuk seorang pria yang sudah lama mati rasa.
Di antara tangis bayi dan keheningan malam, muncul sesuatu yang tidak seharusnya tumbuh — rasa, perhatian, dan godaan yang membuat batas antara majikan dan babysitter semakin kabur.
“Kau pikir aku hanya tergoda karena tubuhmu, Naya ?”
“Lalu kenapa tatapan mu selalu berhenti di sini, Tuan ?”
“Karena dari situ… kehangatan itu datang.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nuna Nellys, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13. Mengambil Asupan setelah olahraga
...0o0__0o0...
...Ruang gym meninggalkan aroma keringat tipis dan napas hangat Naya yang masih tersangkut di udara. Gadis itu duduk di bangku panjang, tubuhnya sedikit membungkuk sambil mengusap wajah dengan handuk kecil....
...Pipinya merah, rambutnya basah, dan dadanya naik-turun cepat—dan entah kenapa, pemandangan itu membuat seluruh sisi gelap dalam diri Arya bangun perlahan....
...“Ayo sini.” Suara Arya rendah, lebih berat dari biasanya....
...Naya mendongak. “Tuan… aku capek banget,” keluhnya,...
...Tapi Gadis itu tetap menghampiri Arya, langkah-nya kecil dan menurut. Hingga Naya berdiri di depan duda berbuntut satu itu....
...Arya memegang kedua bahunya, gemetar halus karena latihan barusan. “Kerja bagus,” gumam-nya sambil mengusap tengkuknya, ibu jarinya menggambar garis pelan ke bawah tulang selangka. “Aku suka lihat kamu ngelakuin sesuatu dengan serius.”...
...Naya menunduk malu, napasnya masih memburu. “Aku… Hanya berusaha keras kok, tuan.”...
...“Aku Tahu.” Aku meraih handuk besar, lalu menyampirkan-nya di bahunya. “Duduk.” Titah-nya datar....
...Naya duduk patuh, dan Arya jongkok di depan-nya, mengeringkan keringat di kakinya, perlahan dan sengaja....
...Setiap kali tangan kekarnya menyentuh kulit gadis itu, tubuh Naya refleks menegang — bukan takut… tapi sadar. Terlalu sadar. Maksud di balik sentuhan itu....
...Matanya menatap Arya, berbinar. “Tuan… aku bisa sendiri.” kata Naya lembut. Namun dalam hatinya berjingkrak kesenangan....
...“Aku tahu,” jawab Arya datar, tanpa berhenti. “Tapi aku mau bantu.” Sambung-nya tenang....
...Setelah selesai, Arya membantu Naya berdiri, menariknya mendekat hingga tubuh mereka hampir bersentuhan. Nafas keduanya mengenai bibir masing-masing, lembut, goyah....
...“Capek ?” tanya Arya pelan. Suranya rendah, ngebas serak....
...Naya mengangguk singkat. “Banget…” bisiknya. wajahnya terpaku meremang....
...Arya mengusap rahang Naya, menaikkan wajahnya agar tatapan-nya terkunci tanpa gadis itu bisa lari....
...“Tapi kamu suka kan ?" Tanyanya....
...Tatapan mata duda itu masih terfokus pada wajah cantik Naya. Terlihat menggoda dengan kondisi berpelu dan bercampur rona merah di pipinya....
...Naya tersenyum kecil, manis dan sedikit malu. “Iya, Tuan. Aku kan mau kurus…”...
...“Berhenti ngomong begitu.” Nada Arya menurun—tajam, tapi hangat. “Kamu sempurna. Dan bentuk tubuh mu yang sekarang…” Jemarinya menyentuh pinggang Naya, membuat gadis itu tersentak kecil. “…cukup ideal.”...
...Wajah Naya memerah. Ada sengatan kecil yang merayap dari sentuhan itu hingga ke seluruh tubuhnya....
...Hening....
...Seakan waktu bergerak lambat dari detik jarum jam....
...“Aku mau ambil jatahku,” ucap Arya sambil menarik perlahan pergelangan tangan gadis itu menuju matras. “Kamu pilih: mau buka sendiri… atau mau aku yang lakukan ?”...
...Naya berhenti di tempat. Bibirnya sempat terbuka seakan hendak tersenyum—lalu menutup lagi karena gugup....
...“…Tuan Arya pilih mana ?” tanya'nya lirih, manis, dan sedikit menggoda....
...Keberanian kecil itu justru membuat senyum gelap muncul di wajah Arya....
...Arya mencondong-kan tubuh-nya, bibir'nya menyentuh telinga gadis itu. “Aku pilih yang bikin kamu lupa diri.”...
...Naya meremang seketika. Napasnya bergetar....
...Arya benar-benar tahu cara membuat gadis itu kehilangan kontrol, dan godaan itu terlalu mematikan untuk di abaikan begitu saja....
...“Sekarang ikut.” Bisik-nya tak sabaran....
...Naya menurut tanpa perlawanan—langkah kecil, patuh, sepenuh-nya berada dalam genggaman tangan lebar Arya....
...Mereka kini berdiri di samping matras, saling berhadapan. Tatapan mereka terkunci lama....
...Hening yang menegangkan....
...Hingga suara Naya pecah pelan, “Tuan yakin mau ambil jatah sekarang ? Aku belum mandi… tubuhku masih berkeringat.”...
...Sret—!...
...Arya menarik sport bra Naya begitu cepat hingga gadis itu terkejut. Ia melemparkan-nya sembarangan ke lantai. Tangan-nya kemudian mengusap peluh di leher gadis itu, perlahan… namun penuh otoritas....
...“Kamu tahu aku tidak suka menunggu,” bisiknya. “Dan tubuhmu tetap wangi. Keringat mu cuma bikin aku makin kehausan.”...
...Tanpa memberi kesempatan Naya memahami kata-kata itu, Arya langsung mengangkat tubuh-nya dan menurunkan-nya ke matras....
...Naya melongo. Kaget, tapi jelas bahagia. “Dasar duda berbuntut satu…” gerutunya dalam hati. “Gak sabaran banget.” Tapi wajahnya justru memerah senang....
...Arya menunduk—tatapan-nya tertuju pada dada sintal Naya yang kini terekspos. Ada sesuatu di matanya: lapar, menguasai, dan nyaris membuat gadis itu kehilangan napas....
...Arya menelisik dada Naya yang terhampar di depan-nya, bukan dengan tergesa, tetapi dengan kontrol yang justru membuat jantung gadis itu memukul rusuknya sendiri....
...Naya ingin menutup diri, ingin mengangkat tangan menahan dada… tapi tatapan Arya menahan semua gerakan-nya....
...Tatapan yang memerintahkan. Tanpa mau menerima penolakan sedikit pun....
...“Naya…” suara Arya rendah, berat, dan nyaris seperti ancaman manis. “Lihat aku.”...
...Gadis itu mengangkat wajah pelan. Dan seketika tubuhnya melemas....
...Ada sesuatu di mata Arya—campuran lapar, kepemilikan, dan sabar yang tipis sekali sebelum berubah menjadi sesuatu yang jauh lebih berbahaya....
...Sesuatu yang membuat Naya justru berani menantang balik dengan senyum kecil di sudut bibirnya....
...“Jadi…” Naya menelan ludah. “…Tuan mau ambil jatah tanpa kasih aku kesempatan bersiap ?”...
...Arya mengusap sisi rahang gadis itu dengan ibu jarinya, lambat, seolah menandai wilayah-nya....
...“Aku mau sumber kehidupan ku,” bisiknya. “Dengan cara yang cuma aku yang boleh tahu.”...
...Jari Arya menelusuri pinggang Naya—cukup untuk membuat gadis itu menahan napas, cukup untuk membuat tubuhnya bergetar tipis....
...“Dan percaya sama aku,” lanjutnya, bibirnya menyentuh kening Naya, “kamu bakal siap… bahkan sebelum kamu sadar kamu menginginkan-nya.”...
...Mata Naya memejam, tubuhnya menegang oleh sensasi yang berlapis-lapis....
...Arya menurunkan bibirnya dekat telinga gadis itu. “Sekarang…” suaranya turun satu oktaf. “…aku akan menguras sumber candu ku.”...
...Naya hanya bisa memegang kuat lengan Arya ketika laki-laki itu menunduk, mengambil apa yang sejak tadi dia incar. Dan seluruh dunia Naya perlahan menghilang, di gantikan desir gairah dan kendali sepenuh-nya di tangan laki-laki itu....
...Mulut Arya bergerak cepat, menghisap rakus pucuk-nya yang mengalirkan sumber asi. Membuat dahaga-nya yang tadi kering menjadi basah....
...Dan setelah itu—semua bergeser ke keheningan yang hanya mereka berdua tahu....
...Naya memejamkan matanya rapat. Menikmati setiap hisapan yang Arya lakukan. "Sssstt...tua pelan-pelan. ASI-nya tidak akan kabur." Desis-nya lirih....
...Arya menatap wajah Naya dari bawah, bibir-nya masih bergerak mengambil sumber asi yang sejak awal ia incar—membuat dunia Naya perlahan mengabur dalam kendali penuh pria itu....
...Arya sudah hilang kendali bahkan sebelum Naya sadar apa yang terjadi. Tangan-nya memilin-milin pucuk satunya, sebagai pertahanan agar tidak berkeliaran kemana-mana....
...Begitu melihat dada Naya terekspos, sesuatu di dalam dirinya seperti patah—bukan perlahan, tapi meledak. Tatapan-nya berubah liar, nafas'nya berubah dalam, dan aura tubuhnya menekan gadis itu sampai tidak bisa bergerak....
...“Naya…” suaranya rendah, hampir bergemuruh. “Aku udah kehausan terlalu lama.”...
...Gadis itu belum sempat menjawab ketika Arya mencengkeram pinggang-nya, menarik tubuhnya mendekat dengan kekuatan yang membuat Naya memekik kecil....
...“Tuan A–Arya… apa—”...
...“Aku nggak mau dengar apa pun.” Suaranya datar. Dingin. “Aku cuma mau sumber asi mu.”...
...Arya menurunkan tubuhnya begitu cepat, menghisap begitu rakus, sampai Naya merasa dunia berputar....
...Nafas panas Arya menyentuh kulitnya—dan bukan lagi seperti pria yang menggoda… tapi seperti seseorang yang akhirnya menemukan “sumber hidupnya” setelah bertahun-tahun tersesat....
..."Eurghhh... Tuan Arya, Pelan-pelan."...
...Tubuh Naya menegang spontan. Tangan-nya memegang bahu Arya, tapi bukan untuk menolak—lebih ke karena ia tidak bisa menahan guncangan yang muncul dari dalam dirinya....
...Arya menggeram pelan, mendengar lenguhan tipis halus, namun meng-goda secara bersamaan. Suara rendah itu bergetar di kulit Naya....
...“Pelan-pelan ?” Arya mencibir pendek. “Aku sudah nggak punya itu untuk kamu.” Ia menarik Naya lebih dekat, lebih keras, sampai gadis itu terangkat sedikit dari matras....
...“Tuan A—Arya…!” Naya melengkung, suaranya pecah dan tak berdaya....
...Arya menyedot tidak perlahan. ...
...Tidak lembut. ...
...Tidak menunggu. ...
...Gerakan-nya intens, dalam, haus, liar....
...Bukan seperti pria yang menikmati… tapi seperti pria yang benar-benar membutuhkan....
...“Lihat aku.” Arya memerintah, suaranya datar....
...Naya membuka mata dengan susah payah—dan langsung menahan napas....
...Mata Arya hitam. Bukan gelap—hitam. Seperti seseorang yang kehilangan kendali diri karena satu hal,...
...Babysitter Putranya....
...“Aku nggak mau kamu lupa…” Arya mendekatkan wajahnya, napasnya keras, “...kalau cuma aku yang boleh begini sama kamu.”...
...Naya gemetar. “Tuan… aku—”...
...“Diam.” Arya mencengkeram rahang Naya, memaksa gadis itu menatapnya. “Rasain setiap sapuan dan hisapan ku.” ia langsung menyedot kembali pucuk sumber kehidupan-nya....
...Dan Naya merasakan....
...Seluruhnya....
...Tanpa ruang untuk bernapas....
...Tanpa ruang untuk berpikir....
...Tanpa ruang untuk apa pun selain Arya....
...Liar....
...Haus....
...Menguasai sampai ke tulang....
...Tubuh gadis itu jatuh kembali ke matras, lemas, terseret dalam sensasi yang begitu kuat hingga ia tidak tahu apakah ia masih bicara atau hanya mengeluarkan suara....
...Arya menunduk lagi, mengambil apa yang ia mau ke sisi yang satunya, lebih dalam, lebih gelap, lebih liar—sampai seluruh dunia berubah menjadi kilatan panas dan desir tak terucap....
...Setelah itu… semuanya tenggelam....
...0o0__0o0...
...Pada awalnya, Naya hanya bisa memejam kuat—bukan karena sakit, tapi karena tubuhnya benar-benar tidak mampu menerima rasa yang begitu besar sekaligus. ...
...Napasnya patah-patah, naik-turun terlalu cepat sampai Naya sendiri terkejut....
...“Tuan A—Arya… tunggu… aku—” Suara itu tidak keluar utuh. Lebih mirip bisikan yang terjeda oleh gelombang sensasi yang memutuskan setiap kata....
...Tangan Naya mencengkeram matras, keras—lalu berubah, bergerak mencari bahu Arya seperti refleks untuk bertahan. Tapi begitu jarinya menyentuh kulit pria itu, tubuhnya justru bergetar lebih keras....
...Arya menahan pinggang-nya. Tarikan yang kuat membuat Naya memekik kecil, tapi justru dari sana—wajah gadis itu mencair, merah, dan pasrah....
...“Tuan… rasanya… aku…” Ucapan-nya gagal lagi. Tubuhnya terlalu sibuk merespons apa pun yang Arya lakukan....
...Pipinya memanas, lehernya bergetar halus, dan setiap kali Arya menyedot sedikit saja, tubuh Naya bereaksi lebih cepat dari pikiran-nya....
...• punggung Naya melengkung sendiri...
...• kedua pahanya menegang, kemudian melemas...
...• napas pendeknya berubah jadi erangan kecil yang Naya coba tahan tapi gagal setiap kali...
...Namun bukan ketakutan yang tampak di wajah gadis itu. Bukan penolakan....
...Yang ada justru ekspresi yang membuat Arya semakin kehilangan kendali:...
...Naya menikmati semuanya....
...Tubuhnya jelas kaget, tapi bukan melawan—justru menginginkan lebih....
...Naya menggigit bibir bawah ketika sensasi berikutnya menghantam-nya lebih keras dari sebelum-nya. Bahunya terangkat sedikit, tangan kirinya secara refleks menangkap lengan Arya dan tidak melepaskan-nya....
...“Tuan… jangan berhenti…”...
...Ucapan itu keluar pelan, rapuh, tapi jujur—tanpa Naya sadari....
...Arya membeku satu detik. Tatapan-nya turun ke wajah gadis itu. Masih dengan mulut yang terus bergerak menghisap....
...Dan melihat bagaimana pipi Naya merah, bagaimana matanya setengah terbuka dengan pandangan basah dan bergetar, bagaimana tubuhnya menyesuaikan diri dengan gerakan Arya meski ia sendiri terengah-engah…...
...…Arya tahu gadis itu bukan hanya menerima. dia ingin. Sangat menginginkan....
...Naya menghindari tatapan Arya sesaat, malu, tapi tubuhnya tetap merespons tanpa bisa di suruh berhenti. Setiap kali Arya mendekat, ia meraih napas; setiap kali Arya semakin liar, ia justru makin kehilangan suara....
...Sampai akhirnya mata Naya memejam lagi, kedua tangan mencengkeram bahu Arya erat—bukan karena takut jatuh, tapi karena dirinya tidak ingin lepas....
...“Tuan Arya…” Kali ini bukan memanggil karena terkejut. Tapi karena Naya menikmati setiap detik yang pria itu berikan....
...Dan setelah itu, Naya tidak lagi bicara. Ia hanya merasakan—sepenuhnya....
...Tanpa menolak....
...Tanpa malu....
...Tanpa sisa kendali....
...Hanya menyerah pada apa yang Arya lakukan padanya… dan menikmati semuanya....
...0o0__0o0...