Lanjutan dari novel Reinkarnasi Pendekar Dewa
Boqin Changing, pendekar terkuat yang pernah menguasai zamannya, memilih kembali ke masa lalu untuk menebus kegagalan dan kehancuran yang ia saksikan di kehidupan pertamanya. Berbekal ingatan masa depan, ia berhasil mengubah takdir, melindungi orang-orang yang ia cintai, dan menghancurkan ancaman besar yang seharusnya merenggut segalanya.
Namun, perubahan itu tidak menghadirkan kedamaian mutlak. Dunia yang kini ia jalani bukan lagi dunia yang ia kenal. Setiap keputusan yang ia buat melahirkan jalur sejarah baru, membuat ingatan masa lalunya tak lagi sepenuhnya dapat dipercaya. Sekutu bisa berubah, rahasia tersembunyi bermunculan, dan ancaman baru yang lebih licik mulai bergerak di balik bayang-bayang.
Kini, di dunia yang telah ia ubah dengan tangannya sendiri, Boqin Changing harus melangkah maju tanpa kepastian. Bukan lagi untuk memperbaiki masa lalu, melainkan untuk menghadapi masa depan yang belum pernah ada.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Boqin Changing, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Katakan Dimana Mutiara Itu?
Ji Yayi memandang Boqin Changing dengan tatapan sinis, bibirnya mencibir dingin. Pemuda itu tampak seusia dengannya namun ia berani menggertaknya.
"Kau ini pemuda bodoh," katanya, suaranya bergetar oleh emosi. "Tidak tahu apa-apa, hanya bisa menebak-nebak tanpa bukti apa pun."
Boqin Changing tetap tenang, suaranya halus namun penuh keyakinan.
"Batu giok hijau itu memang indah," ujarnya sambil mengangguk ringan, "tapi itu hanyalah sampah. Tidak memiliki nilai sama sekali. Binatang Suci tidak akan repot-repot memerintahkan para siluman untuk menyerang kota hanya demi benda sepele seperti itu."
Ucapan itu membuat Ji Yayi semakin marah. Ia menatap pemuda itu dengan mata menyala, bibirnya bergerak dengan keras, melontarkan cacian.
"Sok tahu! Kau pikir kau siapa sampai berani menilai apa yang penting atau tidak bagi Binatang Suci?"
Boqin Changing tidak tergoyahkan. Ia mengalihkan pandangannya ke arah Ji Yayi dengan tatapan menusuk.
"Kalau begitu," katanya, suaranya tetap tenang, "langsung saja, dimana mutiara itu kau sembunyikan?"
Seketika itu juga, raut muka Ji Yayi berubah pucat. Kepanikan samar tersirat di matanya, meski ia berusaha menutupinya dengan marah dan sikap defensif. Sha Nuo, yang sejak tadi tampak bosan, tiba-tiba menegakkan tubuhnya, matanya berbinar dengan ketertarikan yang baru muncul. Ada sesuatu yang mengagetkannya, seolah Boqin Changing mengetahui sesuatu yang bahkan ia sendiri tak menyangka.
Ji Wei, Tetua Ai, dan Tetua Yu segera menangkap perubahan ekspresi di wajah Ji Yayi. Ada ketegangan yang menebal di udara, di mana anak muda itu tampak berusaha keras menutupi sesuatu, namun kegugupan dan ketakutan mulai terpancar.
"Aku… aku tidak tahu apa-apa!" bentak Ji Yayi, suaranya bergetar dan napasnya semakin cepat. Ia marah karena terus ditekan, rasa takutnya bercampur dengan arogansi. Tanpa pikir panjang, ia menghunuskan pedangnya dan menodongkan ujungnya ke arah Boqin Changing. Ujung pedang itu hanya beberapa centimeter dari leher pemuda itu.
Namun Boqin Changing tetap tenang, matanya menatap lurus ke mata Ji Yayi tanpa sedikit pun ragu. Tidak ada gerakan mundur, tidak ada ketakutan. Seolah dunia di sekitarnya berhenti, hanya menyisakan tatapan dingin dan fokus penuh.
Ji Wei, yang menyaksikan kelakuan putranya, terkejut. Ia segera bangkit, wajahnya tegang, mencoba menenangkan anaknya.
"Yi’er! Turunkan pedangmu! Kau tidak bisa bersikap seperti itu di hadapan tamu kita!"
Tetua Ai dan Tetua Yu terbelalak, menahan napas. Seorang tuan muda keluarga Ji, berani menodongkan pedang kepada Boqin Changing, pendekar terkuat di Kekaisaran Qin. Hal itu tidak hanya mengejutkan mereka, tetapi juga menimbulkan rasa ngeri samar.
Sha Nuo, yang duduk sedikit miring, menelan ludah tipis. Wajahnya memancarkan kombinasi antara aneh dan terkejut. Ia menatap Boqin Changing dan kemudian ke Ji Yayi, menyadari satu hal penting, pemuda itu telah memancing reaksi yang seharusnya tidak terjadi jika Boqin Changing tidak tahu rahasia lebih dalam.
Boqin Changing menghela napas tipis, suaranya tenang, penuh pengendalian, seolah menertawakan situasi itu dalam pikirannya sendiri.
"Sekali lagi, bocah," katanya perlahan, "dimana mutiara itu kau sembunyikan?"
Keheningan seketika menyelimuti aula. Semua mata tertuju pada Ji Yayi, pedangnya masih menodong, tubuhnya tegang, namun wajahnya tak lagi bisa menutupi kegelisahan yang tiba-tiba muncul. Ia menelan ludah, matanya berkeliling, mencari jalan keluar dari situasi yang mendadak menjadi sangat berbahaya.
Boqin Changing tetap duduk, tanpa bergerak sedikit pun, aura ketenangannya mengalir deras, menekan ruang di sekitarnya. Semua orang merasakan beratnya tekanan itu, seolah satu gerakan salah bisa memicu bencana. Ji Wei menggigit bibirnya, menahan rasa marah sekaligus prihatin pada putranya.
Sha Nuo berbisik pelan dengan setengah senyum di wajahnya.
"Akhirnya, permainan ini menjadi menarik."
Di sisi lain, Ji Yayi mengerutkan alis, napasnya tersengal, pedangnya masih menodong. Ia tahu tindakannya salah. Namun di dalam hatinya, rasa ego dan harga diri masih memaksa dia untuk bertahan, meski setiap detik semakin terasa menakutkan. Lagipula ayahnya adalah Tuan Kota Kashgar. Di kota ini ayahnya adalah penguasanya.
Suasana aula kini tegang, dan hanya satu pertanyaan yang menggantung di udara. Apakah Ji Yayi akan mampu menurunkan pedangnya atau apakah ketegangan ini akan meledak menjadi konflik yang tak terelakkan?
Tetua Ai menatap Boqin Changing dengan mata yang menahan gejolak perasaan. Ia ingin sekali membuka identitas pemuda itu di depan Ji Wei dan Ji Yayi. Menunjukkan bahwa pemuda itu yang membantu mereka untuk misi memberantas siluman kepada Tuan Kota.
Bagaimanapun juga, kota ini tidak akan mampu menahan kemarahan Boqin Changing jika ia menginginkannya. Napas Tetua Ai tercekat, tangannya terangkat hendak bersuara…
Namun sebelum kata-kata itu bisa keluar, Ji Yayi sudah menggerakkan pedangnya dengan kecepatan penuh, menodongkan ujungnya ke leher Boqin Changing. Sorot matanya membara, seakan membunuh adalah sesuatu yang wajar di kediamannya sendiri. Dengan ayahnya sebagai penguasa kota, ia merasa aman, bahkan tak menyadari siapa sebenarnya pemuda yang ia ancam.
Wajah Boqin Changing tetap tenang, matanya menembus jiwa Ji Yayi. Saat ujung pedang itu menyentuh lehernya… ledakan energi membekukan waktu seketika. Bilah pedang itu retak, kemudian hancur berkeping-keping, serpihannya beterbangan di udara, memercik cahaya yang menusuk mata semua orang di aula. Suasana mencekam, seolah alam ikut menahan napas. Semua yang hadir merasakan gelombang tekanan yang menakutkan itu.
Sha Nuo, yang semula duduk santai, berdiri seketika, matanya menyala penuh kemarahan. Ia ingin menghajar pemuda itu, namun sebelum tangannya sempat bergerak, Tetua Yu melompat ke depan dan menendang Ji Yayi terlebih dahulu. Anak muda itu terpelanting ke lantai, tubuhnya berguling, wajahnya memucat oleh rasa malu dan ketakutan.
“Bocah bodoh!” teriak Tetua Yu, suaranya menggema menembus aula. “Berani-beraninya kau mengancam tamu yang kekuatannya… bisa menumbangkan seluruh keluargamu!”
Ji Yayi tersungkur, napasnya tersengal, mata menatap Boqin Changing dengan campuran amarah dan ketakutan. Pedangnya hancur di tangan, tubuhnya seolah tak mampu bergerak. Setiap aura yang memancar dari Boqin Changing menekan hingga rasa takut membungkus hatinya. Satu gerakan salah, dan nyawanya mungkin akan melayang.
Boqin Changing mengangkat kepalanya perlahan. Suaranya pelan, tapi setiap kata seperti dibalut besi dingin yang menampar kesadaran Ji Yayi.
“Kau terlalu percaya diri,” ucapnya. “Di sini… di kediamanmu sendiri, kau pikir pedangmu bisa menentukan segalanya? Hanya karena kau putra tuan kota, kau merasa dunia ini aman bagimu? Salah. Terlalu salah.”
Sha Nuo menelan ludahnya. Ia sadar nasib pemuda ini sekarang hanya akan sia-sia, bahkan mungkin akan berakhir tragis di tangan Boqin Changing. Tetua Ai dan Tetua Yu saling menatap, napas mereka tercekat. Mereka tahu, siapa pun yang mencoba melawan Boqin Changing sekarang, akan menanggung akibat yang mengerikan.
Ji Wei maju, wajahnya tegang. Ia menggigit bibir, menahan amarah sekaligus rasa takut. Putranya, Ji Yayi, terlalu gegabah, dan sekarang hampir menimbulkan bencana. Tapi bahkan ia pun tak berani melangkah lebih jauh.
Boqin Changing sedikit mencondongkan tubuh, matanya tak pernah lepas dari Ji Yayi. Suaranya menembus keheningan, tajam dan menusuk.
“Jawab. Di mana mutiara itu kau sembunyikan?”
Ji Yayi menatap pemuda itu. Seluruh kesombongan dan rasa aman yang dulu ia banggakan kini terkoyak. Suasana aula terasa berat, setiap detik seakan melambat, napasnya tercekat. Ia sadar satu hal yang menakutkan. Pemuda ini bukanlah orang yang bisa ia ancam.
Keheningan mencekam menyelimuti aula. Dentuman bilah pedang yang hancur masih bergema di telinga, menjadi pengingat pahit bahwa pemuda yang datang bersama Tetua Sekte Awan Putih bukan sekadar pemuda biasa. Ia adalah badai yang siap menelan siapa pun yang menantangnya.
Di tengah semua itu, Ji Yayi hanya bisa menunduk, wajah memucat, napas tersengal, menelan pahitnya kesombongan yang hancur seketika.
💥💥💥💥
🔥🔥🔥