NovelToon NovelToon
Adharma

Adharma

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Horror Thriller-Horror / Kriminal dan Bidadari
Popularitas:2.1k
Nilai: 5
Nama Author: Saepudin Nurahim

Di Kota Sentral Raya, kejahatan bukan lagi bayangan yang bersembunyi—ia adalah penguasa. Polisi, aparat, hingga pemerintah berlutut pada satu orang: Wali Kota Sentral Raya, dalang di balik bisnis ilegal, korupsi, dan kekacauan yang membelenggu kota ini.

Namun, ada satu sosok yang tidak tunduk. Adharma—pria yang telah kehilangan segalanya. Orang tua, istri, dan anaknya dibantai tanpa belas kasihan oleh rezim korup demi mempertahankan kekuasaan. Dihantui rasa sakit dan dendam, ia kembali bukan sebagai korban, tetapi sebagai algojo.

Dengan dua cerulit berlumuran darah dan shotgun di punggungnya, Adharma tidak mengenal ampun. Setiap luka yang ia terima hanya membuatnya semakin kuat, mengubahnya menjadi monster yang bahkan kriminal pun takut sebut namanya.

Di balik topeng tengkorak yang menyembunyikan wajahnya, ia memiliki satu tujuan: Menumbangkan Damar Kusuma dan membakar sistem busuk yang telah merenggut segalanya darinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pembicaraan Di Warung Kopi

Matahari sudah mulai tenggelam ketika Darma melihat Doni keluar dari gedung kantornya. Wajahnya tampak lelah, namun masih ada sorot waspada ketika ia melihat Darma berdiri di seberang jalan. Tanpa banyak kata, mereka berjalan berdampingan menuju sebuah warung kopi kecil di pinggir jalan.

Darma memesan kopi hitam, sementara Doni memilih teh manis panas. Mereka duduk di sudut warung, agak jauh dari pengunjung lain. Warung ini cukup sepi, hanya ada suara televisi tua yang menyiarkan berita malam dan suara motor yang sesekali melintas di jalanan.

Doni meletakkan tas kerjanya di lantai dan bersandar ke kursi. "Gue udah nebak lo bakal ngajak ketemu," katanya sambil mengaduk tehnya. "Lo keliatan beda, Dar. Sejak kejadian itu..."

Darma hanya diam, menatap cangkir kopinya yang beruap. Dia tahu Doni masih sulit menerima perubahan dirinya.

"Ada yang harus gue selesaikan," jawab Darma akhirnya. "Dan kali ini, gue butuh bantuan lo."

Doni mengernyit. "Bantuan? Lo mau gue ikut-ikutan perang lo?"

"Bukan perang," Darma membetulkan. "Gue butuh informasi. Soal Pak Jaya."

Doni terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang. "Lo beneran masih ngincer dia?"

Darma mengangguk. "Dia bukan cuma supervisor biasa. Lo juga tahu dia terlibat korupsi di perusahaan. Dan gue yakin dia punya koneksi ke Raden Wijaya, atau bahkan lebih dari itu."

Doni mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja, berpikir. "Gue gak bisa bilang banyak... Tapi ada sesuatu yang aneh sama dia. Beberapa bulan terakhir, dia sering keluar masuk kantor wali kota. Dan lo tahu siapa wali kota Sentral Raya, kan?"

Darma mengangkat alisnya. "Jadi dia memang berhubungan sama mereka?"

Doni mengangguk pelan. "Gue cuma tahu segitu. Tapi kalau lo mau cari tahu lebih dalam, lo harus berhati-hati. Mereka bukan orang biasa, Dar."

Darma tersenyum tipis. "Gue udah kelewat jauh buat berhati-hati."

Doni menggeleng. "Lo udah gila."

Darma mengambil cangkir kopinya, menyesap pelan, lalu menatap Doni lurus. "Gue gak gila. Gue cuma udah gak punya apa-apa lagi."

Suasana di antara mereka menjadi sunyi. Hanya suara sendok yang mengaduk teh dan berita di televisi yang terdengar. Malam ini, Darma sudah mendapat satu petunjuk baru. Pak Jaya dan wali kota.

Sekarang, dia hanya perlu menentukan langkah berikutnya.

Doni menatap Darma dengan ekspresi sulit dijelaskan. Ada kemarahan, ketakutan, sekaligus rasa kehilangan di matanya. Dia menaruh gelas tehnya ke meja, mencondongkan tubuhnya ke depan, lalu berbicara dengan suara rendah tapi tegas.

“Darma… lo sadar gak sih apa yang lo lakuin?”

Darma tetap diam. Dia hanya memandangi cangkir kopinya yang sudah hampir habis. Pandangannya kosong, seperti seseorang yang sudah kehilangan tujuan hidup.

Doni melanjutkan, suaranya mulai bergetar. “Gue ngerti lo sakit hati. Gue ngerti lo kehilangan keluarga lo. Gue ngerti dunia ini brengsek dan gak adil. Tapi lo mau jadi apa sekarang? Monster?”

Darma akhirnya mengangkat kepalanya, menatap Doni lurus-lurus. Mata itu… kosong. Tidak ada amarah yang meledak-ledak, tidak ada gejolak emosi. Hanya kehampaan yang dalam.

“Gue udah mati, Don,” suaranya datar, dingin, tanpa emosi. “Yang hidup sekarang bukan lagi Guntur Darma yang lo kenal. Yang tersisa cuma… sesuatu yang udah kehilangan segalanya.”

Doni menggeleng, matanya mulai memerah. “Gue gak percaya itu. Lo masih Darma, lo masih manusia! Lo gak harus ngelakuin ini!”

Darma mendengus kecil, lalu bersandar di kursi dengan tenang. “Gue gak bisa berhenti, Don. Lo tahu itu. Gue harus ngelakuin ini. Mereka yang bunuh keluarga gue… mereka gak bakal berhenti. Kalau gue gak ngelawan, mereka bakal terus hidup, terus berbuat dosa, terus nginjak-injak orang yang lebih lemah.”

Doni mengepalkan tangannya, menggigit bibirnya dengan frustrasi. Dia ingin berteriak, ingin meninju Darma agar sadar. Tapi dia tahu, Darma yang duduk di depannya sekarang bukan lagi sahabat yang dulu ia kenal.

“Lo mau nyulik Pak Jaya?” Doni akhirnya bertanya dengan suara pelan.

Darma mengangguk. “Gue butuh dia buat buka mulut. Dia pasti tahu sesuatu tentang Raden Wijaya dan orang di baliknya.”

Doni menghela napas panjang. “Dan kalau dia nolak ngomong?”

Darma menatap Doni, dan dalam sekejap, Doni tahu jawabannya. Tidak perlu kata-kata.

Doni meremas rambutnya dengan frustrasi. “Lo beneran udah gila, Dar.”

Darma tersenyum tipis, senyum yang terasa dingin dan menakutkan. “Mungkin.”

Malam semakin larut, tapi percakapan mereka masih menggantung di udara. Di luar, jalanan mulai lengang, dan lampu-lampu kota berkedip redup.

Doni menghembuskan napasnya perlahan. Dia tahu dia tidak bisa menghentikan Darma. Tapi dia masih berharap, di suatu tempat jauh di dalam diri sahabatnya, masih ada secuil kemanusiaan yang tersisa.

Namun, saat melihat mata kosong Darma… harapan itu semakin memudar.

Darma menyesap kopi hitamnya yang sudah mulai dingin. Dia meletakkan cangkir itu perlahan di atas meja kayu yang sudah mulai lapuk. Matanya menatap kosong ke arah jalanan sepi di luar warung kopi. Lampu jalan redup, menerangi kota yang terasa semakin busuk di matanya.

Doni masih menatapnya dengan sorot mata penuh kebingungan dan ketakutan. “Jadi… ini bukan cuma soal balas dendam?”

Darma menghela napas panjang, lalu mengangguk pelan. “Gue udah muak, Don. Gue udah capek lihat kota ini dikuasai sampah-sampah yang gak takut hukum. Korupsi di mana-mana, penjahat yang seharusnya dihukum malah dilindungi. Polisi? Hakim? Mereka cuma boneka. Kota ini udah lama mati. Dan kalau gak ada yang membersihkannya…”

Doni terdiam. Dia tahu arah pembicaraan ini. Dia tahu Darma bukan sekadar ingin membalas dendam atas kematian keluarganya. Dia ingin lebih dari itu.

“Jadi lo mau jadi pahlawan?” Doni bertanya dengan nada sarkas.

Darma tertawa kecil, tapi tanpa humor. “Pahlawan? Enggak, Don. Gue bukan pahlawan. Gue gak peduli dipandang baik atau jahat. Gue cuma mau satu hal: mereka yang mengotori kota ini harus dilenyapkan.”

Doni menatapnya dengan ekspresi sulit dijelaskan. “Lo mau jadi hakim, juri, dan algojo sekaligus?”

Darma mengangkat bahu. “Kalau hukum gak bisa bertindak, maka gue yang bakal bertindak.”

Doni menutup matanya sesaat, mencoba memahami logika sahabatnya. “Darma… gue ngerti rasa muak lo. Gue juga benci lihat orang-orang brengsek itu bebas berkeliaran. Tapi lo sadar gak, kalau lo ngelakuin ini, lo bakal masuk ke dalam kegelapan yang lebih dalam? Lo bakal berubah jadi monster, sama seperti mereka.”

Darma menatap Doni dalam-dalam. “Gue udah jadi monster sejak malam itu, Don.”

Hening.

Doni tahu dia tidak bisa menghentikan Darma. Dia bisa merasakan aura berbeda dari sahabatnya. Ini bukan sekadar kemarahan atau kesedihan. Ini adalah seseorang yang sudah kehilangan segalanya dan tidak takut lagi kehilangan apa pun.

Doni menghela napas berat. “Lo serius mau ngelanjutin ini?”

Darma menatapnya tanpa ragu. “Serius.”

Doni menatap ke bawah, berpikir keras. Akhirnya, dia bersuara, meskipun lirih. “Kalau gitu… gue harap lo tahu apa yang lo lakuin.”

Darma tersenyum tipis, lalu berdiri dari kursinya. “Kota ini butuh seseorang yang berani membersihkannya. Dan gue siap jadi orang itu.”

Dengan langkah tenang, Darma meninggalkan warung kopi, membiarkan Doni duduk di sana, masih bergelut dengan pikirannya sendiri.

1
NBU NOVEL
jadi baper ya wkwkwkk
Xratala
keluarga Cemara ini mah /Smirk/
NBU NOVEL: wkwkwkwk versi dark ny
NBU NOVEL: wkwkwkwk versi dark ny
total 3 replies
Xratala
waduh ngena banget /Chuckle/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!